nachtwey

Havel,

Hanya dengan delapan ribu perak, aku memperoleh War Photographer. (Ssst, jangan bilang pada teman-temanku. Malu. Banyak di antara mereka sudah menontonnya di Jiffest 2002). Film dokumenter karya Christian Frei ini merekam beberapa penggal pengalaman James Nachtwey di lapangan. Luar biasa.

Banyak orang bilang, Nachtwey adalah fotografer perang nomor satu sejagat. Lahir pada 1948, pria Amerika ini telah terjun di banyak kancah konflik, termasuk Indonesia. Tapi, jangan silap: Nachtewy bukan pemuja “darah.” Cermati ideologi antiperang dari kredo dia di bawah ini.

Why photograph war?

There has always been war. War is raging throughout the world at the present moment. And there is little reason to believe that war will cease to exist in the future. As man has become increasingly civilized, his means of destroying his fellow man have become ever more efficient, cruel and devastating.

Is it possible to put an end to a form of human behavior which has existed throughout history by means of photography? The proportions of that notion seem ridiculously out of balance. Yet, that very idea has motivated me.

For me, the strength of photography lies in its ability to evoke a sense of humanity. If war is an attempt to negate humanity, then photography can be perceived as the opposite of war and if it is used well it can be a powerful ingredient in the antidote to war.

In a way, if an individual assumes the risk of placing himself in the middle of a war in order to communicate to the rest of the world what is happening, he is trying to negotiate for peace. Perhaps that is the reason why those in charge of perpetuating a war do not like to have photographers around.

It has occurred to me that if everyone could be there just once to see for themselves what white phosphorous does to the face of a child or what unspeakable pain is caused by the impact of a single bullet or how a jagged piece of shrapnel can rip someone’s leg off – if everyone could be there to see for themselves the fear and the grief, just one time, then they would understand that nothing is worth letting things get to the point where that happens to even one person, let alone thousands.

But everyone cannot be there, and that is why photographers go there – to show them, to reach out and grab them and make them stop what they are doing and pay attention to what is going on – to create pictures powerful enough to overcome the diluting effects of the mass media and shake people out of their indifference – to protest and by the strength of that protest to make others protest.

The worst thing is to feel that as a photographer I am benefiting from someone else’s tragedy. This idea haunts me. It is something I have to reckon with every day because I know that if I ever allow genuine compassion to be overtaken by personal ambition I will have sold my soul. The stakes are simply too high for me to believe otherwise.

I attempt to become as totally responsible to the subject as I possibly can. The act of being an outsider aiming a camera can be a violation of humanity. The only way I can justify my role is to have respect for the other person’s predicament. The extend to which I do that is the extent to which I become accepted by the other, and to that extent I can accept myself.

James Nachtwey

(sumber: www.war-photographer.com)

simpang dago, cikapundung, mcdonald’s

Havel,

Tiba-tiba, aku kangen Bandung. Setahun lebih aku tak menginjakkan kaki di kota ini. Masih kuingat suasana Simpang Dago, subuh itu, saat kita keluyuran–sementara ibumu masih terlelap. Pedagang sayur di satu titik, penjual kupat tahu di titik lain. Dan, di ujungnya, aku menyerah saat kamu menunjuk gerai McDonald’s seraya merengek.

(Uh, McDonald’s…Ketika aku sekolah, raksasa makanan cepat saji itu belum merambah Bandung–demikian pula factory outlet. Tapi, siapa yang bisa menahan ekspansinya? Sebuah survei bilang, 96% anak-anak Amerika mampu mengidentifikasi siapa Ronal McDonald’s. Sosok fiksi lain yang mengalahkannya hanya Santa Claus alias Sinterklas. Eric Schlosser menulis di Fast Food Nation, “Lengkung-lengkung emas lebih gampang dijumpai ketimbang salib Nasrani.)

Ada banyak sudut lain Bandung yang menyulut kenangan. Tapi, apa kabar Cikapundung dan sekitarnya? Dulu, aku sering menempuh malam di sana untuk berburu majalah seken: Prisma, Tempo, Matra, Jakarta-Jakarta, atau terbitan lain. Terkadang pergi bersama teman, kerap sendirian.

Berangkat dari Sekeloa, turun angkot di Asia-Afrika, kaki diayunkan menyusuri lebuh bersejarah itu. Di salah satu pertigaan, silakan belok kanan. Di situlah pasar majalah bekas Cikapundung. Beberapa pekan lalu, ketika menyaksikan Arief Budiman menerima Achmad Bakrie Award dari Freedom Institute, ingatanku merayap ke Cikapundung. Dari Prisma bekas yang kuperoleh di sana, aku coba mengenali Arief yang lagi antusias menjajakan pendekatan struktural dalam ilmu sosial.

Jika ke Bandung lagi, kita sempatkan menyambangi Cikapundung. Cuma, tak usah kamu mencari McDonald’s di sana….

shai agassi

Havel,

Deadline tiba lagi. Beban kerja kembali menekan. Di sela-sela itu semua, tertumbuklah mata pada kutipan inspiratif ini:

This is the beauty of being human. You can have two conflicting thoughts at the same time and not go crazy.

O, iya, bukan seorang filsuf yang mengucapkannya, melainkan eksekutif di sebuah perusahaan peranti lunak ternama, SAP. Nama dia Shai Aggasi.

sebelas pekan

Havel,

Ini petikan kabar tentang adikmu. Kita memperolehnya dari pengelola situs www.bayi.us yang mengirimkan email ke ibumu.

Struktur tubuh dan organ dari bayi Anda sudah mulai berfungsi. Jari jemari tangan dan kaki bayi Anda mulai terpisah dan sudah menjadi bentuk sempurna tangan dan kaki yang juga sudah lengkap dengan kuku yang juga mulai tumbuh. Selain itu, rambutnya pun telah mulai tumbuh. Pada minggu ke 11 ini jenis kelamin bayi Anda mulai terbentuk sebagai laki-laki atau perempuan. Seiring bekerjanya organ bayi Anda, bekerja pula ginjal…dengan menghasilkan cairan amniotic yang terdiri dari air dan juga mulai menghasilkan urine. Berat bayi Anda 7-8 gram dengan tinggi 4,1-4,2 cm.

PS: Aku sedikiiiit menyuntingnya, demi kemudahan mencerna belaka.

nostalgia

Havel,

Lama bermukim di Amerika, seorang teman mudik sejenak ke Indonesia. Kami–belasan orang– lalu berhimpun, ditingkahi dentam musik dan seafood yang menggugah selera. Suasana hangat dengan gurau canda.

Bernostalgia, kami mengungkit lagi kisah-kisah semasa sekolah. Melulu nostalgia. Tapi, apa yang salah? Hari ini dan esok mustahil eksis tanpa hari kemarin. Persoalannya cuma dosis. Apa saja yang terlampau banyak tentu dekat dengan mudarat.

Dan, seorang Amir pun mesti menapaktilasi sejarah pribadinya. Di Afghanistan, negeri yang letih oleh konflik berkepanjangan itu, ia harus menghadapkan wajah ke belakang. Padahal, hanya perih dan sedih di sana. Simaklah kisahnya di The Kite Runner (Aku baru tuntas membacanya pekan lalu. O, iya, terima kasih buat Khaled Hosseini yang telah menghadirkan cerita amat menyentuh ini).

anyer, bukan pangandaran

Havel,

Kamu berguling-guling di pasir. Sementara, kami mesti menghadapi nenek penjual emping, anak muda penjaja otak-otak. Anyer, siang itu, sunyi. Barangkali kita tiba terlampau dini. Laut terhampar. Ombak menampar-nampar. Cahaya matahari membasuh. Keelokan yang utuh.

Waktu berlari, rindu pantai lagi. Sedihnya, kemarin, di pesisir Selatan, dari laut, maut datang menjemput….

menyala

Havel,

Kegembiraan bisa menyala kapan saja. Pekan ini, titik apinya adalah kedatangan Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Langit karya Bondan Winarno. Ini buku yang lama kuinginkan. Ini buku yang membuatku malu hati karena belum menyimaknya meski banyak orang menyeru: Bre-X adalah salah satu sampel terbaik praktik jurnalisme investigatif di Indonesia.

Bre-X berfokus pada dugaan skandal cadangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Berita soal Busang menghiasi koran-koran kita pada akhir 1996 sampai awal 1997. Selesai dicetak awal Juli 1997, buku yang dikerjakan hanya dalam dua bulan itu baru bisa diedarkan seusai Orde Baru makzul. Seorang pejabat memanggil Bondan dan menitahkan agar barang itu tak keluar gudang.

Buku ini tak beredar lagi di pasar. Tak juga di bursa buku seken seperti di TIM atau Kwitang. Aku memesan langsung ke penulisnya.

Kini, publik lebih mengenal Bondan sebagai pakar kuliner. Kolomnya, Jalansutra, terbit reguler di Suara Pembaruan dan Kompas Cyber Media. Beranjak dari itu, terbentuklah milis Jalansutra yang telah beranggotakan lebih dari lima ribu orang. Pria kelahiran Surabaya ini juga memandu acara kuliner di sebuah stasiun televisi.

Agaknya sedikit yang masih ingat bahwa pria yang sekolahnya berantakan ini juga cerpenis dan kolumnis manajemen. Di rumah Cinere, kita menyimpan dua jilid antologi tulisan Bondan tentang manajemen di Tempo di bawah nama Kiat pada era 1980-an. Fiuuuhh, di sana kita tak perlu cemas bakal “tersesat” di belantara teori dan angka, dengan jidat berkerut.

Kita juga mengoleksi Pada Sebuah Beranda, kumpulan cerpennya yang mengingatkanku pada Umar Kayam di Seribu Kunang-kunang di Manhattan: gaya bercerita dan latar kisah yang kebanyakan di mancanegara. Perihal cerpen-cerpen Bondan, Goenawan Mohamad pernah menulis, “Bagi saya, banyak yang dihasilkan Bondan lebih enak saya ikuti ketimbang novel-novel penuh filsafat atau cerita-cerita penuh problem sosial – yang isinya cukup berharga dan bermanfaat – tapi tak kunjung bisa memikat sejak awal.”

Hmm, kegembiraan memang bisa menyala kapan saja. Boleh jadi, titik apinya adalah bacaan-bacaan yang mengasyikkan…

lagu gadis itali

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur

(Havel, sepupumu bertambah satu. Perempuan, seperti kakaknya. Namanya: Ferarri Milano. Ehm, Italia banget, padahal ayahnya asli Kutoarjo. Kupilih sajak opung Sitor Situmorang di atas untuk mengantarkan kita pada ujung perhelatan terakbar sejagat tahun ini. Jika Italia gugur, hatiku pun hancur..he..he..)

brave heart

Havel,

Aku berjumpa seorang kawan lama. Tak sengaja. Dulu, kawan ini dikenal sebagai demonstran di kampus. Saban ada unjuk rasa, bisa dipastikan dia ada di baliknya. Kami tak terlalu akrab, bahkan beberapa kali bersilang pendapat soal aktivisme mahasiswa. Kita sebut saja dia: Fulan.

“Apa kabar, Fulan?” aku menyapa.

“Ya, beginilah, namanya juga penganggur,” ujar Fulan, merendah.

Aku mafhum, dia tak bisa dikategorikan sebagai penganggur. Diam-diam, aku mengamati: t-shirt-nya lusuh, begitu pula sandal kulit itu. Kami tenggelam dalam perbincangan, beberapa menit. Dia belum berubah. Tetap asyik di jalur politik. Hari-hari ini, Fulan sibuk membantu seorang bakal kandidat kepala daerah.

Setelah kami berpisah, aku tercenung: barangkali ini semacam anakronisme. Teman-teman lain telah hidup cukup mapan, Fulan masih “bertualang di jalanan.” Niscaya, itu bukan sebuah kesalahan, apalagi jika itu merupakan pilihan. Tapi, aku tak pernah berani bertanya: apa yang membuat elu memilih jalan ini? Sampai kapan?

Terus terang, aku agak khawatir dengan langkah-langkah kawan seperti Fulan. Aku mendengar, seorang karibnya –sesama demonstran di masa mahasiswa–sempat menjadi “ajudan” tokoh politik lokal di Bandung. Sayangnya, tokoh itu tak memiliki rekam jejak yang “putih” sebagai politisi.

Dari latar belakang keluarga, Fulan terbilang sejahtera. Meski juga anak rantau, dia tak pernah terlihat kekurangan uang. Ah, aku jadi ingat: aku masih berutang beberapa belas ribu rupiah padanya. Duit itu kugunakan untuk menikmati Brave Heart —film yang dibintangi Mel Gibson–di Kiara Condong bersama ibumu (saat itu, kami baru resmi bebogohan..he..he..).

Ya, semoga, aku meminjam dari seseorang yang juga memiliki brave heart. Pun, sampai kini….