bowden mampir di kwitang

Havel,

Kemarin siang, ketika matahari memanggang Kwitang, aku menemukan Killing Pablo: The Hunt for the World’s Greatest Outlaw. Fisiknya masih lumayan bagus, aku membawanya pulang dengan menyerahkan selembar fulus bergambar WR Supratman.

Buku ini berkisah tentang perburuan pemerintah AS dan Kolombia atas Pablo Escobar, pemimpin kartel narkotika di Kolombia. Uniknya, di kalangan rakyat jelata negeri itu, Escobar justru banyak dikenang sebagai seorang dermawan. Tolong diingat, pada 1989, majalah Forbes meletakkan Escobar di posisi ketujuh dalam daftar orang-orang tertajir sedunia. Empat tahun kemudian, kepala Escobar tertembus peluru.

Penulis Killing Pablo adalah Mark Bowden. Beberapa tahun silam, Black Hawk Down pernah singgah ke Indonesia dalam format pita seluloid. Film itu merekam “kedunguan” pasukan AS dalam menghadapi perang kota di Somalia pada 1993. Ridley Scott, sang sineas, mengangkatnya dari kisah yang ditulis Bowden (Aku belum membaca, baru menontonnya).

Bowden menyusun Black Hawk Down sebagai cerita bersambung untuk The Philadelphia Inquirer. Menjelang pemuatan, Max King, Redaktur Eksekutif koran itu, konon pernah berujar,”Aku tak tahu apakah ini akan diterima. Jika tak seorang pun tertarik, kami bakal terlihat sebagai si tolol yang cantik dengan sebuah serial yang berjalan hari demi hari selama satu bulan… Jika sebuah kisah seperti ini tak laku, aku tak yakin ingin terlibat dalam jurnalisme lagi.”

King tak perlu pensiun dini. Kisah itu diresepsi dengan baik. Bahkan, membuat tiras The Philadelphia Inquirer sempat melonjak. Bowden, kelahiran Missouri pada 1951, lantas mulai disejajarkan dengan nama-nama harum di ranah jurnalisme naratif: John Hersey, Truman Capote, atau Gay Talese. Ketika dibukukan, Black Hawk Down pun mengalirkan banyak duit ke kocek penulis dan penerbitnya.

Pada 2001, lahir Killing Pablo. Empat tahun dibutuhkan Bowden untuk menggarapnya. Ia menyimak dokumen-dokumen rahasia, berbincang dengan puluhan narasumber, termasuk Cesar Gaviria, presiden Kolombia di momen dramatis itu. Aku baru mulai menikmatinya—barangkali sambil bermimpi bisa melakoni kerja seperti ini juga, suatu hari kelak.

Satu hal, aku yakin, Bowden tak berselera untuk menjadi pengeras suara Washington. Aku sempat mengintip paragraf terakhir. Di sana, Bowden mengutip Joe Toft, mantan kepala perwakilan DEA di Bogota. Toft berkata, “I don’t know what the lesson of the story is. I hope it’s not that the end justifies the means.”

roy dan gong

Havel,

Hangat mentari musim semi, mandikan ini
dengan cahayamu
Hangat angin selatan, hembuskan napasmu
perlahan
Dan rumput hijau di atas, tegaklah tenang
damai
Selamat malam, yang tercinta, selamat malam.

(Mark Twain)

Senantiasa tersaji puisi untuk membuka kisah Balada Si Roy. Atau deretan kalimat bijak. Atau pepatah lama. Salah satunya adalah nukilan di atas. Senantiasa memuncratkan impresi. Para lelaki seusiaku, yang menginjak masa remaja di pengujung 1980-an di Jakarta atau kota besar lain, bisa dipastikan mengenal cerita rekaan Gola Gong itu. Bahkan, konon, tak sedikit yang tersihir. Lalu, figur Roy menjadi model identifikasi diri.

Aku memergoki kembali sekeping kenangan ini di atrium Depdiknas, pekan lalu. Dan, memungutnya.

Seiring jeda, ada celah untuk mencerna ulang. Menurut seorang penulis muda, membaca Balada Si Roy adalah juga belajar tentang cara menjadi lelaki. Masalahnya, “Yang penting dari lelaki adalah menjadi berani: berani untuk memilih; berani untuk memiliki;…” tulisnya. Perempuan tidak demikian? Wow, para feminis bisa keki karena kaum lelaki mengalami mistifikasi.

Musim berganti, kisah itu tak terbit lagi. Gong juga berubah. “Setelah menikah, hidup saya sebagai lelaki sudah selesai. Kini saya sebagai suami dan ayah,” ujarnya. Karya-karyanya kini banyak menyemburkan aroma relijiusitas. Teduh dan santun. Niscaya, tak memprovokasi para remaja untuk bangga ketika tinggal kelas atau mengisap ganja–yang diakui Gong memang terjadi dan menjadi impak buruk Balada Si Roy.

Ia telah membiarkan Roy pergi.

Pergilah ke barat, anak muda,
dan tumbuhlah bersama alam

(Horace Greeley)

dalam sakit

waktu lonceng berbunyi
percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputmu berangkat berduka

di ruangan ini kita gaib dalam gema. Di luar malam hari
mengendap, kekal dalam rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi.

(Havel, suasana dalam sajak Sapardi Djoko Damono di atas jauh lebih mencekam. Sementara, aku cuma dihajar virus flu keparat ini. Terkapar memang. Ah, sesekali, tubuh boleh saja tak sehat. Namun, pikiran jangan sekali-kali berkarat…)

in memoriam: pram


Waktu kami tiba di Buru, sebenarnya yang pertama-tama ingin saya (
Soemitro, YA) temui adalah pengarang Pramoedya Ananta Toer yang banyak dipertanyakan orang sewaktu saya di Eropa dalam perjalanan pulang dari Aljazair itu. Tapi, hari itu saya tidak bisa menemuinya. Katanya, ia sedang diisolasi, karena malam sebelumnya ia berontak dan merebut senjata. Jadi, ia dipegang dan dimasukkan ke dalam sel, diisolir.

(Ramadhan K.H., Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Sinar Harapan, 1994)

Waktu rumah saya diserbu orang, ada dua puluh naskah saya yang sudah siap untuk diterbitkan. Semua itu kini hilang,” ujar Pramudya. Di Tefaat satu-satunya bacaan yang diizinkan bagi para tapol ialah buku-buku agama, maka saya bertanya,”Baca buku apa di sini, Pram?”
“Catholic Digest,” jawabnya.
“Sudah menemukan Tuhan di sini, Pram?” tanya Mochtar Lubis tanpa tedeng aling-aling.
“Tuhan yang mana?” balik bertanya Pramudya.

(H. Rosihan Anwar, Perkisahan Nusa: Masa 1973-1986, Grafitipers, 1986)

Saja mentjoba menebak sikapnja, ketika saja kebetulan berhasil memperoleh kesempatan berbitjara dengannja tanpa pengawal sore itu di depan Barak XIX. Umurnja 44, saja ingat, tapi di bawah rambutnja jang terlalu tjepat memutih itu sorot matanja tetap seperti dulu, tjampuran keangkuhan dan kepahitan, tangkas, tjerdas, dan keras, tidak djuga redup, memandang sekitarnja tanpa senyum, tanpa ketenteraman dan dengan segaris kebimbangan.

(Goenawan Mohamad, Suatu Hari dalam Kehidupan Pramudya Ananta Toer, dimuat di Potret Seorang Penjair Muda Sebagai Si Malin Kundang, Pustaka Jaya, 1972)

seribu mil lebih sedepa


gubuk sunyi di pinggir danau

diam-diam tersenyum dipeluk mentari senja
yang juga nakal meraba-raba
ujung bunga rerumputan

lagu alam memang sunyi, sayang
apalagi sore ini:
sore ini sore sabtu, sore biasa kita berdua
membelai mentari senja
ujung jalan bandung utara

mentarinya yang ini juga, sayang
cuma jarak yang memisah kita
seribu mil lebih sedepa
seribu mil pun lebih sedepa

lagu alam memang sunyi, sayang
lagipula bukan puisi
cuma bahana yang diam-diam
lalu bangkit dari dalam hati

gubuk sunyi di pinggir danau
lagi jarak yang memisah kita
seribu mil lebih sedepa
seribu mil pun lebih sedepa

lagu dan lirik: Iwan Abdulrachman

(Abah Iwan menggelar konser hari ini, Havel. Tak banyak lagi yang ingat karya-karyanya yang puitis, mengiris-iris. Ah, nostalgia selalu mencari celah untuk menyapa. Suatu ketika, aku ingin mengajakmu mengunyah suasana Lembang dan Dago Pakar. Tentu, tanpa jarak yang memisah kita…)

tuan-tuan yang terlampau bersemangat

Havel,

Puluhan tahun silam, Bertrand Russel menyusun esai bertajuk The Recrudescence of Puritanism. Pada 1988, Mochtar Pabottingi menerjemahkannya untuk antologi karya-karya Russel yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia. Empat tahun kemudian, aku menemukannya. Di hari-hari ini, tulisan filsuf Inggris itu demikian relevan untuk dicerna kembali. Berikut nukilannya:

“Kita harus belajar untuk saling menghormati kebebasan pribadi dan tidak memaksakan kaidah-kaidah moral kita atas orang lain. Kaum Puritan membayangkan bahwa kaidah-kaidah moral mereka itulah kaidah-kaidah moral sejati. Ia tidak menyadari bahwa zaman-zaman serta negeri-negeri, bahkan kelompok-kelompok sosial lain di negeri sendiri, mempunyai kaidah-kaidah moral yang berbeda, yang juga merupakan hak mereka…..Marilah kita berharap bahwa suatu pendidikan yang lebih merata dan suatu pengetahuan yang lebih luas atas umat manusia akhirnya berangsur-angsur akan meredakan semangat tuan-tuan kita yang terlalu bajik.”

mesti berbagi

Havel,

Terkadang, kita tak bisa meraup semua. Ada kepentingan-kepentingan lain yang menuntut pula. Juga keras, bahkan mungkin lebih tegas. Pepatah itu benar belaka: rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda.

Akhirnya, negosiasi dan saling menggelontorkan konsesi menjadi solusi. Kita mesti berbagi. Kompromi. Bersikukuh mutlak-mutlakan? Maaf, itu jalan lempang menuju kehancuran kolektif. Dan, itu terlihat naif jika kita meyakini bahwa kehidupan bukan medan ilmu pasti, melainkan ajang interaksi ribuan kemungkinan.

(Tentu, ada yang tak layak dibagi. Suami, misalnya. Enak beneeeer…ente yang kagak tahan godaan, orang lain yang kudu berkorban.)

Mudah-mudahan, batu pendirian ini mendarat tak jauh dari sebuah titik samar bernama sikap rendah hati. Kesempurnaan memang hanya milik surga.

NB: ibumu mengajakku nonton “Berbagi Suami.” Kamu main dengan Deandra saja, oke?

playboy asoy geboy

Havel,

Maret di depan mata. Aku lagi menanti terbitnya Playboy Indonesia. Kepada salah seorang pengelolanya, aku pernah menyampaikan via e-mail, “Gua sih bisa dipastikan akan cari, minimal, edisi perdananya.”

Tumbuh semacam rasa penasaran. Barangkali lantaran aku tak tahu banyak tentang majalah ini. Salah satu serpihan pengetahuan yang ngumpet di benak adalah Matra mendapuk Playboy sebagai acuan, sebagaimana Tempo memosisikan Time sebagai “kiblat” di tahun-tahun pertama.

Dulu, seraya menghirup udara malam Cikapundung, aku suka berburu Matra bekas. Ya, demi wawancara-wawancara yang mencerahkan, feature-feature yang memikat, esai-esai yang menggugah, cerpen-cerpen yang menggoda. Last but not least, rubrik konsultasi seks Naek L. Tobing yang membombardirkan banyak inspirasi..he..he..

Kemarin sore, ketika menyambangi dunia maya, ada informasi baru: Hugh Hefner, pendiri Playboy, menyusun The Playboy Philosophy pada 1962. “Pledoi” itu dirilis sembilan tahun setelah majalah tersebut terbit pertama kali. Di sana, ia bukan melulu bicara tentang seks, melainkan juga hal-hal lain: kebebasan individu, sensor, represi sosial, dan agama.

Dan, ia tak tanggung-tanggung: manuskrip itu memuat kira-kira 200 ribu kata. Sekadar perbandingan, teks berita satu halaman majalah mengandung 600-700 kata.

Empat puluh tahun kemudian, saat diwawancarai CNN, Hefner, mengatakan, “I’ve never thought of Playboy, quite frankly, as a sex magazine. I always thought of it as a lifestyle magazine in which sex was one important ingredient.

Begitulah. Kapan-kapan, asyik juga mungkin jika kita ngobrol soal isi Playboy Indonesia sambil mengunyah kudapan di beranda belakang. Jangan sekarang. Benda itu belum datang…