cinta di braga

Banyak upaya mengekalkan ingatan pada sepotong jalan itu. Acep Zamzam Noor menulis  “Lagu Malam Braga”pada 1984 ketika becak masih boleh melintas. Nukilannya:

Deru kendaraan yang sesekali/ Keloneng becak/ Bagai gumam yang dingin// Deretan pintu/ Dan barisan tiang listrik yang bisu//

Kini becak sudah tiada. Sepeda motor dan mobil ramai melaju, bukan sesekali. Kami berjalan kaki di trotoarnya beberapa malam lalu. Menghirup kenangan.

Udara gerah. Bandung sejuk mungkin tinggal cerita. Dulu, pada 1990-an, saya tidur mesti berselimut jika tak mau kedinginan. AC? Kamar kos di Bandung zaman itu tak ada yang ber-AC.

Di perempatan, kantor ANTARA Biro Jawa Barat masih ada. Kami pernah magang kerja di sana. Ketika kampus mengharuskan para mahasiswa untuk belajar langsung kepada para jurnalis.

Saat mendekat, ternyata terkunci pintunya. Aneh juga bahwa kantor media tutup ketika senja baru turun.

Kafe-kafe tumbuh, semakin banyak. Toko Buku Djawa musnah digantikan tempat ngopi juga. Dulu saya suka singgah ke toko buku itu, mendapati buku-buku lawas yang sudah menyingkir dari rak-rak di Gramedia.

Braga tak pernah kedaluwarsa. Mereka yang usianya jauh di bawah kami asyik mengawetkan momen via kamera telepon genggam, kiranya menabung konten untuk media sosial.

Lalu kami mampir di Braga Permai. Memesan bitterbalen dan pisang goreng, menikmati secangkir teh dan kopi tubruk. Memilih meja di udara terbuka. Di belakang, sepasang pria dan perempuan ngobrol, sebotol bir tersaji.

Konon restoran ini merupakan salah satu yang tertua di Bandung. Berdiri sejak 1923, awalnya bernama Maison Bogerijen. Ketika semangat anti-kolonialisme bergelora, namanya diubah.

Teman satu sekolah Acep di Seni Rupa ITB, Kurnia Effendi, malah punya beberapa cerpen dengan meminjam Braga sebagai latar tempat. Kalau tidak keliru ada lima versi dan semua berjudul “Sepanjang Braga.”  Semua beraroma percintaan. Versi pertama meluncur pada 1988 dan meraih juara pertama lomba cerpen majalah Gadis.

Dengan deretan bangunan kolonial dan kafe, Braga boleh jadi memang tempat yang pas untuk para kekasih bercengkerama. Termasuk mereka yang kelak dibekap melankolia, seperti dalam cerita-cerita Kurnia, lantaran harus kembali ke pasangan sah masing-masing.

Teman satu generasi  Acep dan Kurnia, Soni Farid Maulana, menulis “Malam Braga.” Petikannya:

Aku akan pergi, itu pasti/ Meninggalkan kabut dan cuaca yang kelam/ Bersama malaikat berwajah segar/ Bersama cinta yang tumbuh ramah di dada//

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *