simpang dago, cikapundung, mcdonald’s

Havel,

Tiba-tiba, aku kangen Bandung. Setahun lebih aku tak menginjakkan kaki di kota ini. Masih kuingat suasana Simpang Dago, subuh itu, saat kita keluyuran–sementara ibumu masih terlelap. Pedagang sayur di satu titik, penjual kupat tahu di titik lain. Dan, di ujungnya, aku menyerah saat kamu menunjuk gerai McDonald’s seraya merengek.

(Uh, McDonald’s…Ketika aku sekolah, raksasa makanan cepat saji itu belum merambah Bandung–demikian pula factory outlet. Tapi, siapa yang bisa menahan ekspansinya? Sebuah survei bilang, 96% anak-anak Amerika mampu mengidentifikasi siapa Ronal McDonald’s. Sosok fiksi lain yang mengalahkannya hanya Santa Claus alias Sinterklas. Eric Schlosser menulis di Fast Food Nation, “Lengkung-lengkung emas lebih gampang dijumpai ketimbang salib Nasrani.)

Ada banyak sudut lain Bandung yang menyulut kenangan. Tapi, apa kabar Cikapundung dan sekitarnya? Dulu, aku sering menempuh malam di sana untuk berburu majalah seken: Prisma, Tempo, Matra, Jakarta-Jakarta, atau terbitan lain. Terkadang pergi bersama teman, kerap sendirian.

Berangkat dari Sekeloa, turun angkot di Asia-Afrika, kaki diayunkan menyusuri lebuh bersejarah itu. Di salah satu pertigaan, silakan belok kanan. Di situlah pasar majalah bekas Cikapundung. Beberapa pekan lalu, ketika menyaksikan Arief Budiman menerima Achmad Bakrie Award dari Freedom Institute, ingatanku merayap ke Cikapundung. Dari Prisma bekas yang kuperoleh di sana, aku coba mengenali Arief yang lagi antusias menjajakan pendekatan struktural dalam ilmu sosial.

Jika ke Bandung lagi, kita sempatkan menyambangi Cikapundung. Cuma, tak usah kamu mencari McDonald’s di sana….

0 thoughts on “simpang dago, cikapundung, mcdonald’s”

  1. memang terlalu banyak kenangan di kota yang satu ini… seperti lagu slank, ‘terlalu manis untuk dilupakan’. niatnya mau nyela, kok jadi speechless ya :PPP btw, kok foto-fotonya menghilang pak?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *