Jalaluddin Rakhmat sangat menguasai teknik bercerita, baik secara lisan maupun dalam tulisan.
Pada kolom ini (TEMPO 19 Juli 1986), ia sebenarnya “hanya” mau bilang: pemikiran keislaman Nurcholish Madjid yang saat itu dominan (mungkin karena juga di-support rezim) segera menemui devian-deviannya.
Ide tersebut dibungkus dalam dialog antara dirinya dengan Tuparev. Teman ngobrol ini digambarkan Kang Jalal secara menarik: gagah, bersih, sehat, — profil mahasiswa kini yang makan dengan gizi “Orde Baru.”
Mereka ngobrol di mobil, usai menyimak ceramah Nurcholish di ITB. Tuparev penasaran dan kecewa lantaran Kang Jalal tak memanfaatkan forum untuk mendebat Cak Nur. Tuparev tahu, Kang Jalal pernah bilang bahwa paham Nurcholish bukan satu-satunya cara memandang Islam.
Lalu dengan meminjam filsafat sejarah Ali Syariati, Kang Jalal coba meyakinkan Tuparev: tenang saja, ide-ide alternatif niscaya selalu hadir.
Percakapan berakhir saat mereka tiba di rumah Kang Jalal. Tuparev pun pamit.
Kemarin sore Kang Jalal pamit. Linimasa riuh dan penuh dengan eulogi. Almarhum yang biasa bercerita, dengan sangat piawai, kini jadi subjek cerita teman-teman saya.
Al Fatihah.