Akhirnya kesampaian juga saya berkunjung ke Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di BSD, Tangeran Selatan.
Pria berdarah Aceh, Azmi Abubakar, mendirikannya pada 2011. Ia mengumpulkan buku, koran, dan bahan tertulis lain soal Tionghoa sejak 1998.
Kerusuhan Mei 1998, dengan banyak keturunan Tionghoa menjadi korban, memicunya untuk mencari tahu: mengapa mereka menjadi sasaran.
Sebagian besar isi museum diperoleh Azmi dengan merogoh kantong sendiri. Sebagian kecilnya adalah hasil sumbangan. Ada sekitar 30 ribu item pustaka di sana dan terus bertambah. “Yang tertua dari tahun 1600-an,” ujar insinyur sipil ini.
Majalah TEMPO edisi 9 Maret 2019 menaruh judul “Manusia Langka dari Serpong” untuk reportase yang membahas kiprah pria murah senyum tersebut. Edisi itu membahas sejumlah calon legislatif dengan rekam jejak keren yang berniat maju ke Senayan. Salah satunya: Azmi.
Sejauh ini Azmi menolak bantuan berupa uang untuk museumnya. Ia tak mau terikat dan tergantung pihak lain.
Telah banyak peneliti dan mahasiswa yang memetik manfaat. Juga para pengunjung lain yang tertarik meski tanpa motif akademis.
Kini ruko dua lantai tersebut sudah sesak. Bahkan, di tangga juga teronggok buku-buku.
“Ada rencana mau pindah, sudah gak muat. Aku masih cari-cari lokasi. Yang pasti tetap di Tangsel atau Tangerang,” kata Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Banten itu.