Alia Swastika berjalan ke banyak tempat di dunia sejak 2005. Hal yang paling membikin ceritanya berbeda adalah profesinya: kurator seni rupa.
Ada banyak travelog yang bisa kita nikmati. Tapi yang ditulis seorang kurator seni rupa, setahu saya, hanya karya Alia ini. Bahkan sejatinya sedikit sekali travelog yang dinisbahkan dengan profesi penulisnya. Cerita hadir karena penulisnya memang ingin melihat tempat atau budaya lain. Bukan karena “keharusan” pekerjaan.
Kisah perjalanan Agustinus Wibowo yang kondang itu, misalnya, disusun karena ia ingin bertualang. Tak ada profesi khusus yang melekat dalam perjalanan tersebut. Tentu ini sah-sah saja, apalagi Agustinus pandai membikin tulisan yang memikat.
Di travelog Alia, perjalanan itu mendapat bumbu lain yang membuatnya kian lezat, bergizi, dan (sekali lagi) berbeda, yaitu perspektif sebagai seorang kurator seni yang tengah melakukan “kunjungan kerja.”
Direktur Biennale Jogja Foundation ini berbagi kisah usai menjelajahi Sao Paolo, Cape Town, New York, Dresden. Juga setelah mengunjungi Sharjah (Uni Emirat Arab), Istanbul, Venezia, Kagawa (Jepang), dan sejumlah tempat di Tanah Air.
Kisah-kisah perjalanan yang dibukukan dalam Di Balik Kubus Putih (tanda baca 2021) ini terkait dengan pekerjaan Alia. Beberapa kali ia menjadi kurator mukiman (curator in residency), program yang disediakan kurator untuk belajar atau menyerap pengalaman kesenian di negara lain atau berbagi pengalaman kuratorialnya di seminar atau konferensi di negeri orang.
Bukan hanya perspektif seorang kurator yang hadir, tapi juga kesadaran etis seorang manusia muncul di sana-sini. Usai mengunjungi Inhotim, museum seni terbesar di Brasil, ia merenung. Museum tersebut dibangun Bernardo Paz, seorang pengusaha tambang emas. Sangat mengagumkan karena dikelola dengan profesional. Tapi, Paz bukan orang bersih. Belakangan ia dicokok karena korupsi.
“…ada pertimbangan etika yang membuat kami seperti menahan diri untuk tidak memuji-muji,” tulis lulusan Komunikasi UGM ini di ujung esainya.
Perjalanan ke Dresden, Jerman, menyeret kita ke sepenggal riwayat pelukis Raden Saleh yang tinggal di sana pada 1839-1845. Kota ini sedang berupaya terpilih menjadi ibukota budaya Eropa pada 2025. Salah satu kampanye yang dilakukan adalah mengundang seniman Uji “Hahan”Handoko untuk berpameran seusai menapaktilasi kisah Raden Saleh di Dresden. Dengan mengundang Hahan, ingin dikirim pesan: Dresden merupakan kota yang terbuka sejak dulu, arif menerima sang liyan seperti Raden Saleh.
Bersama Gintani Swastika, Alia mendampingi Hahan di Dresden. Maka ia pun ikut menyambangi sejumlah tempat yang pernah ditinggali atau disinggahi Raden Saleh. Pun bertemu beberapa peneliti yang mempelajari pelukis yang berangkat ke Eropa atas beasiswa pemerintahan Belanda tersebut.
Alia murah hati soal informasi. Pada banyak kesempatan, ia menaruh catatan kaki mengenai tokoh atau tempat. Ini strategi yang menarik. Di satu sisi tak menghalau kelancaran bercerita, di sisi lain memenuhi kebutuhan informasi pembaca.
Terakhir, ada sedikit yang mengganggu. Perjalanan ke pantai utara Jawa dan Jalan Raya Pos paling tipis elemen “misi keseniannya.” Alia ke sana bukan berangkat dari pekerjaannya sebagai kurator seni. Alhasil, kisah-kisah itu sedikit mengganggu benang merah tematik yang sebenarnya sudah terjulur elok sejak awal.
Alia memang berjalan ke sana setelah beberapa kali bersirobok dengan narasi tentang Jalan Raya Pos di berbagai pameran. Tapi, sebatas itu. Selanjutnya, Alia sekadar menjadi “turis biasa” dan bukan kurator seni yang sedang bekerja.
Di luar gangguan tersebut, kisah perjalanan Alia bikin iri orang seperti saya yang jarang ke mana-mana.