Pernah dengar nama Georg Eberherd Rumpf? Ia lahir di Hanau, Jerman, pada 1627. Dari ayahnya, ia belajar matematika, bahasa Latin, dan teknik menggambar mekanik. Tapi ia tak mengikuti jejak sebagai insinyur sipil. Rumpf memilih melanglang buana. Termasuk, akhirnya, menetap di Maluku.
Bosan jadi serdadu, Rumpf alias Rumphius terpikat untuk mempelajari alam tropis. Rumpf kelak dikenal sebagai pakar botani masyhur yang menulis D’Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705) dan Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741).
Jauh sebelumnya, pada 1670, Rumpf buta karena glukoma. “Tanpa penglihatan, Rumphius mengandalkan indra-indranya yang lain buat memahami dan menggambarkan temuannya. Ia menyentuh, mencecap, dan menghidu aroma spesimen-spesimennya dengan perhatian lebih, dan upaya itu melengkapi ingatannya yang kuat atas warna dan keterampilannya menciptakan perumpamaan visual,” tulis Dea Anugerah dalam esai Orang Buta Berpandangan Jauh.
Empat tahun sejak kebutaan datang, istri dan putri Rumpf tewas karena gempa besar. Rangkaian tregadi ini tak meremukkannya. Ia melanjutkan penelitian. Tiga belas tahun kemudian, api memusnahkan rumah, termasuk perpustakaan, Rumpf. Gambar-gambar yang akan melengkapi Herbarium Amboinense, manuskrip tentang kerang-kerang dan siput-siput (bakal buku D’Amboinsche Rariteitkamer), dan koleksi spesimennya ludes terbakar. Yang selamat hanya naskah Herbarium Amboinense. Tetap tak surut, ia mengerjakan ulang naskahnya.
Rumphius merupakan salah satu sosok yang dipaparkan Dea dalam Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya. Di luar itu, kita diajak bertemu tokoh-tokoh kondang seperti Clint Eastwood atau Ernest Hemingway. Dibujuk pula menyimak kisah mereka yang jauh dari terkenal, tapi menarik, seperti mantan tahanan politik Rosidi atau penulis cum penerjemah Nurul Hanafi.
Membaca hikayat Eastwood, kita bisa sedikit tenang: menjadi tua tak identik dengan nestapa. Lihat, sampai usia 30-an, ia adalah aktor kelas dua di Hollywood. Makin ke sini, makin moncer. Sejumlah penghargaan Oscar mampir ke tangannya. “…Eastwood adalah bagian dari sekelompok kecil sutradara istimewa yang membuat para penonton berpikir, ” kutip Dea dari Clint Eastwood’s America karya Sam B. Girgus.
Beberapa paragraf dibentangkan secara atraktif sebagai pengantar. Pada akhirnya, Dea menyusun daftar sejumlah film Eastwood yang disebut sebagai “pengantar buat mengenal dunia sinematik” pria yang pernah jadi simbol machoisme itu.
Kita, eh saya, tercenung: anak Bangka ini “berbahaya” lantaran punya kejelian sudut pandang, kepiawaian bertutur, dan kerja riset yang serius. Satu lagi: stok humor getir di sana-sini. Mau contoh? “Demi masa, sesungguhnya tak ada kewajiban pada siapa pun untuk meniru Amien Rais atau Taufiq Ismail. Dunia ini cukup luas untuk menampung orang-orang tua yang gembira dan menggembirakan,” tulis lulusan Filsafat UGM itu pada bagian awal esainya tentang Eastwood.
Saya sungguh menikmati kumpulan karya nonfiksi (esai dan feature) Dea yang pertama dan sebagian besar telah terbit di Tirto.id tersebut. O iya, ini buku terbitan 2019. Namun saya baru menyentuhnya pada awal tahun yang begitu mencemaskan dan menggamangkan ini.
Managing editor di Asumsi.co ini tak melulu mengisahkan “tokoh.” Ia juga menulis tentang “pokok.” Misalnya, soal industri pisang, sejarah pemusnahan buku, konflik Israel-Palestina, atau perseteruan antar penulis. Untuk tema terakhir, hadir esai “Di Mana Ada Penulis, di Situ Ada Cemooh.” Dea menuturkan cemooh William Faulkner pada Ernest Hemingway, Mark Twain yang mengejek Jane Austen, dan cerita-cerita serupa di Eropa atau Amerika Utara. Pun memaparkan cemooh cerpenis Idrus untuk Pramoedya Ananta Toer: “Pram, kamu itu tidak menulis. Kamu berak!”
“Cemooh antar penulis, terutama di dunia berbahasa Inggris, lumrah diklipingkan sebagai dokumen kebudayaan yang penting. Di dalamnya kerap terkandung rekaman pertentangan ideologi, estetika, dan lain-lain. Dan yang nilainya tak kalah besar, saling cemooh adalah pertunjukan keterampilan mengolah kata-kata,” tulis Dea yang kumpulan cerpennya, Bakat Menggonggong, menjadi salah satu Buku Indonesia Terbaik 2016 versi majalah Rolling Stone Indonesia itu.
Ia juga meriwayatkan, ehm, soal masturbasi. Ia menjelajahi tema yang jarang diulik di luar rubrik kesehatan ini, mendedahkan kembali pendapat mereka yang kontra maupun yang pro. Dari kalangan yang kontra, salah satunya, Dea mengutip Bapak Pandu Sedunia, Robert Baden Powell, yang bilang cara terbaik mencegah masturbasi “ialah dengan merendamnya dalam air sedingin es setiap pagi.”
Bacalah cerita-cerita Dea. Semoga Anda mendapat anugerah, seperti saya, berupa pengetahuan baru atau perspektif segar atas sebuah persoalan atau hal lain. Dari kisah Georg Eberherd Rumpf, misalnya, kita belajar: jangan jadi pencundang yang cuma meratap ketika dihimpit keterbatasan dan nasib buruk.