Kafka lagi membaca Laut Bercerita. Dia agaknya terpana, setengah tidak percaya. “Beneran ceritanya, Yah?” ujar dia beberapa hari lalu.
Novel laris karya Leila S. Chudori itu berkisah tentang anak-anak muda yang diculik dan dilenyapkan karena alasan politik. Pada “Ucapan Terima Kasih,” Leila mengungkapkan, ide novel ini tumbuh setelah dia meminta Nezar Patria menuliskan pengalaman diculik aparatus militer Orde Baru pada Maret 1998. Keduanya pernah sama-sama bekerja di majalah TEMPO.
Tulisan itu kemudian terbit di edisi khusus majalah TEMPO dengan judul menggetarkan: “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.”
Saya menuju tumpukan majalah di rumah, mencari edisi yang memuat tulisan tersebut, edisi pasca-kematian Soeharto pada 27 Januari 2008. Niatnya mau menyodorkan ke Kafka, biar dia punya wawasan lain soal “tema hitam nan getir” ini. Ketika anak Desa Kemusuk itu wafat, Kafka belum genap satu warsa.
Majalah yang dicari raib entah ke mana. Oke, ada marketplace. Taraaa…masih tersedia di sejumlah lapak. Sebagai homo economicus, tentu sambar yang termurah.
Setiba di rumah beberapa jam lalu, edisi tersebut teronggok di bufet. Saya langsung memburu cerita Nezar.
“Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur,” demikian mantan Sekjen Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) itu berkisah.
Tak berhenti di sana. Satu mesin setrum disiapkan. Kepala Nezar dijungkirkan. Aliran listrik pun dikirim dari paha sampai dada. Dia berteriak, “Allahu Akbar!” Tapi mulutnya diinjak. Getih mengucur lagi.
Dari proses interogasi, tuduhan untuk Nezar dan kawan-kawan adalah mau menggulingkan Soeharto.
“Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap,” tulis lulusan Filsafat UGM tersebut.
Nezar tak menemui ajal di tangan para interogator. Tapi sejumlah aktivis mahasiswa lain tak pernah pulang ke rumah sampai hari ini. Sudah 23 tahun berlalu…
Orde Penyiksa akhirnya disapu sejarah. Semoga tak pernah lagi singgah. Biar edisi khusus ini saja yang kembali dan bisa saya sodorkan ke Kafka.