ibadah sehari-hari buldanul khuri

Saksi Mata  melambungkan nama Seno Gumira Ajidarma lebih tinggi ke langit kesusastraan Indonesia. Di sampul belakang tertulis, “Buku ini berisi tiga belas cerpen tentang perjuangan manusia untuk mempertahankan atau menyempurnakan kemanusiaannya.”

Dihiasi gambar Agung Kurniawan, desain sampul dibikin Buldanul Khuri – biasa disapa Buldan. Nama terakhir bukan hanya berurusan dengan sampul. Ia adalah otak di balik Bentang Budaya, penerbit kumpulan cerpen tersebut.

Bentang adalah salah satu “monumen budaya” dari  dekade 90-an. Masih lekat di ingatan beberapa  buku  penting dan menarik dari Bentang. Misalnya, Senjakala Kebudayaan (kumpulan esai Nirwan Dewanto yang memuat makalahnya di Kongres Kebudayaan 1991) atau Zaman Peralihan (kumpulan esai Soe Hok Gie). Juga kumpulan surat pelukis Nashar yang diterbitkan ulang di bawah judul Nashar oleh Nashar  dan terbitan ulang novel masyhur Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit.

Buldan dengan Tiga Bukan ini adalah catatan ringkas penyair Dorothea Rosa Herliany yang merekam kiprah Buldan sebagai “orang buku” sejak 1992, saat berada di puncak  maupun di nadir. Diterbitkan secara indie oleh Mata Angin, buku ini memantik rasa penasaran saya sejak pertama kali dipromosikan di media soaial.

Tentu, hampir seluruh halaman mengisahkan Buldan dalam membesarkan Bentang – meski penerbit itu tak lagi miliknya sejak 2004.

Periode 1994-1998 adalah masa-masa sulit untuk Buldan. Saking keteterannya, ia harus berjualan kaktus di Bundaran UGM.  “Selama empat tahun itu, Bentang berada dalam belitan utang yang terus menumpuk. Para karyawan Bentang yang rata-rata teman sehari-harinya, satu per satu pergi kerena gaji terbengkalai,” tulis Rosa.

 Saksi Mata, Senjakala Kebudayaan, dan Zaman Peralihan  terbit pada periode saat Buldan harus pontang-panting menghidupi perekonomian keluarganya tersebut. Tak meleset kiranya jika frasa dari Rendra disematkan ke Buldan: gagah dalam kemiskinan. Ia menerbitkan karya-karya kaliber juara meski hidupnya memprihatinkan.

Nasib tak selamanya kelam. Pada awal 1998, naluri bisnisnya bekerja dengan baik saat memutuskan untuk menerbitkan ulang karya Kahlil Gibran,  Cinta, Keindahan, Kesunyian. Buku terjemahan ini pertama kali meluncur pada November 1997. Eh, ternyata laris.

Sampai Maret 1998, buku itu dicetak enam kali, dengan total 16 ribu eksemplar. Bentang lalu menerbitkan terjemahan karya-karya Gibran yang lain. Eh, disambut pasar juga.  Bentang bersinar, Buldan pun merangkak ke titik puncak. Ia membeli rumah, mobil, juga pelesir ke luar negeri.

Selain buku-buku Gibran, bantuan dana dari Ford Foundation juga menghidupkan Bentang. Buku-buku diterbitkan dengan sokongan donasi tersebut. Periode 1998-2002 menjadi masa keemasan Bentang. Sebulan bisa menerbitkan 30 buku.

***

Ada dua ciri menonjol Bentang. Pertama, desain sampul.  Buldan kerap melibatkan para perupa menyumbangkan karyanya.  Karya perupa seperti Djoko Pekik, Nasirun, Danarto,  Agung Kurniawan, Agus Suwage pernah  mampir di sampul buku terbitan Bentang. Buldan mau meletakkan sampul sebagai sebuah elemen yang sungguh penting, tidak kalah dengan isi buku.

Tak ada yang baru di bawah matahari. “Buldan menyatakan apa yang telah dilakukannya  dalam pengolahan desain kover ini diilhami kekagumannya  atas sampul  buku-buku Pustaka Jaya  di era 1970-an,” tulis Rosa.

Cuma cerita Rosa nanggung. Tak diungkapkan apakah Buldan memperoleh karya-karya perupa itu secara gratis (karena alasan pertemanan) atau membayar. Detail-detail begini saya butuhkan sebagai pembaca. Tak usah bertele-tele, cukup 1-2  paragraf.

Hampir semua sampul buku Bentang didesain oleh Buldan. “Setiap kali mendapatkan naskah baru yang menarik, aku selalu merasakan hawa panas dalam tubuhku, dan ingin segera merancang covernya,” demikian pengakuan ayah empat anak ini. Ia pernah kuliah di Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan desain komunikasi visual.

Ciri menonjol yang kedua adalah pilihan tema buku. Bentang memilih seni, sastra, dan filsafat. Ini pilihan tema yang dijauhi kebanyakan penerbit pada masa itu karena pasar tak banyak menyerap.

***

Pada 2002, penerbit Mizan mengajak kerja sama. Buldan tak merespons. Wong lagi berjaya, ngapain? Tak lama berselang, Bentang mulai oleng dihantam beragam persoalan.  Minat pembaca mulai bergeser dan ada kelemahan dari sisi manajerial.

Tiga rumah dan tiga mobil Buldan harus dijual untuk menutup kerugian. Pada 2004, justru Buldan yang mengetuk pintu Mizan.

Bentang tidak bisa dibeli, karena tidak bisa diaudit. Buldan dan Mizan lalu sepakat membentuk perusahaan baru, namanya Bentang Pustaka. Ia menjadi direkturnya tapi tidak berkuasa. Karena ada CEO dari penerbit dari Bandung tersebut. Buldan hanya diwajibkan datang Senin dan Jumat. Senin untuk perancangan, Jumat evaluasi.

Buldan mengaku, situasi baru ini ternyata membuatnya tidak kreatif. Kebebasan dan inspirasi dalam dirinya tidak muncul kalau harus bekerja dalam pengawasan “industrial. Ia pun akhirnya keluar dari Bentang.

***

Kemarin saya lihat Buldan memasang fotonya sedang membaca buku Puncak Kekuasaan Mataram karya H.J. De Graaf di akun facebook-nya. “…saat ini daminya sdg dikirim ke Belanda, utk dibaca yg terakhir kalinya oleh KITLV, sebelum dicetak banyak. Semoga bulan ini sdh bisa hadir ke hadapan Anda,” tulisnya di-caption. Buku terjemahan itu pada 1986 pernah diterbitkan Grafiti Pers.

Ia terus bergerak. Sendiri. Mencetak buku 300 eksemplar, dengan nama penerbit MataBangsa atau MataAngin, sudah cukup. Jika laku, ya alhamdulillah; kalau tidak dibeli, ya tidak apa-apa. Menurut Rosa, bekerja di perbukuan, bagi Buldan, adalah ibadah sehari-harinya.

“…aku itu sudah “selesai”  dalam perkara membuat buku-buku  seperti yang dulu-dulu pernah kubuat. Kalau sekarang masih bikin buku, itu sekadar untuk iseng dan kesenangan,” kata Buldan seperti dicatat Rosa.

Mungkin tak tersisa mimpi untuk membuat buku sefenomenal Saksi Mata,  25 tahun silam. Mungkin…

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *