Dia menatap jenazah adik kandungnya, terbungkus dalam plastik transparan dengan kedua ujung diikat tali.
Saat itu tengah malam di rumah seorang kepala desa di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur. Pria itu, terlahir sebagai Soe Hok Djin dan lebih dikenal sebagai Arief Budiman, membatin, “Tentu sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu.”
Sang adik, Soe Hok Gie, meninggal dunia beberapa hari sebelumnya, tercekik asap beracun puncak Semeru. Arief menuliskan kenangan tersebut dalam kata pengantar Catatan Seorang Demonstran.
Siang tadi, Arief menyusul sang adik, hampir 50 tahun kemudian. Linimasa lantas riuh rendah dengan penghormatan untuknya.
2.
Perjalanan hidup Arief memang layak menuai pujian. Ia banyak menulis di media massa, mengkritisi penguasa yang korup bin zalim. Juga turun ke jalan. Pada 1971, ia sempat dibui karena memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.
Ia pula yang terdepan menggelindingkan ide “Golongan Putih” atau Golput — gerakan menolak menggunakan hak suara dalam Pemilu 1971. Arief menggagasnya karena menganggap Orde Baru membonsai demokrasi dengan membatasi partai yang ikut pemilu. Sampai hari ini, istilah Golput abadi.
Sejumlah buku ditulisnya. Termasuk yang berasal dari disertasinya di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Judul buku itu gagah: Jalan Demokratis ke Sosialisme – Pengalaman Chili di Bawah Allende.
Sepulang dari Harvard pada 1981, Arief menjadi juru kampanye utama untuk pendekatan struktural dalam ilmu sosial di Indonesia – pendekatan yang banyak diadvokasi cendekiawan neo-marxis seperti Paul Baran atau Andre Gunder Frank. Ia dengan lugas mengkritik pendekatan psikologis/kebudayaan yang ketika itu mendominasi.
Pendek cerita, pendekatan psikologis/kebudayaan percaya bahwa akar masalah sosial adalah mentalitas. Perihal kemiskinan, misalnya, terjadi karena kemalasan atau etos kerja yang payah. Di seberangnya, pendekatan struktural meyakini bahwa seseorang atau sekelompok orang rudin lantaran ada sistem yang melanggengkan ketimpangan sosial-ekonomi.
Arief percaya pada sosialisme. “Hidup di negara kapitalis membuat saya kasihan melihat kaum miskin yang tertindas. Parah sekali jadi orang miskin di Amerika,” katanya kepada MATRA, April 1994.
Lalu, ia bertengkar dengan pihak rektorat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang dianggap melanggar aturan main. Arief pun dipecat dan beberapa tahun kemudian pindah mengajar ke Universitas Melbourne, Australia.
3.
Terutama pada masa mudanya, Arief juga banyak bergerak di ranah kesenian. Ia rutin menulis kritik sastra. Bersama Goenawan Mohamad, ia adalah penandatangan Manifes Kebudayaan termuda – baru 22 tahun. Mereka ketika itu sama-sama mahasiswa Psikologi UI.
Arief juga gemar baca filsafat. Goenawan mengaku kagum dengan Arief yang menguasai bagian-bagian yang sulit dari Being and Nothingness versi Inggris karya Sartre.
Goenawan pernah menulis, dunia pergaulan Hok Gie dan Arief berbeda. Gie akrab dengan aktivis politik, terutama dari Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). “Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi, dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain,” tulis Goenawan dalam esai Arief Budiman: Yang Akrab dengan Yang Murni.
Sewaktu SMP, Arief pernah belajar melukis pada sejumlah perupa di Balai Budaya, Menteng. Namun ia merasa paling dekat dengan Nashar, sosok yang digambarkannya dengan “bajunya selalu kusam, sepatunya (kalau dia pakai sepatu) tidak pernah makan semir.” Arief mengaku, dengan Nashar, jarak dan tembok antara murid dangan guru tidak ada.
Setelah Orde Lama tumbang, Arief ikut mendirikan majalah sastra Horison, bahkan menjadi inisiatornya. Jadi, suatu hari di 1966, Arief mengunjungi jurnalis dan sastrawan Mochtar Lubis yang masih menjadi tahanan politik Orde Lama. Mereka ngobrol soal suasana kesusastraan yang pengap oleh tekanan rezim. Mochtar berjanji, jika keluar penjara nanti, dia akan mendirikan majalah sastra.
Orde Baru membebaskan Mochtar. Tak lama kemudian, dia mendatangi sejumlah teman pengusahanya. Dana penerbitan pun tercukupi. Nama yang disepakati adalah Horison. Terbit pertama kali pada Juli 1966. Selain Mochtar dan Arief, ada HB Jassin, DS Moeljanto, Zaini, dan Taufiq Ismail di Dewan Redaksi Horison.
4.
Publik akan terus mengingat Arief sebagai pejuang demokrasi dan cendekiawan teladan, bakal mengenang ayah dua anak ini selaku sosok yang lurus dalam sikap dan perbuatan.
Ia (mungkin) akan berjumpa lagi dengan Hok Gie dan bisa kembali ngomong, “Gie, kamu tidak sendirian” – seperti saat menutup kata pengantar yang menggetarkan itu.