chrisye terbang tinggi bersama badai pasti berlalu

Christian Rahadi atau Chrisye. Nama itu hadir dalam benak Erros Djarot saat menentukan penyanyi untuk lagu-lagu di film Badai Pasti Berlalu, selain Berlian Hutauruk.

Namun “badai” menerjang rencana ini. Sang sutradara, Teguh Karya, menolak Chrisye. Ia lebih memilih Broery Marantika, penyanyi yang saat itu lagi populer. Erros tak kuasa menolak. Berlian Hutauruk juga ditampik.

“Suara siapa itu? Kayak kuntilanak,” kata Teguh. Teguh lantas memilih Anna Mathovani.

Tiga tahun sebelumnya, Broery dan Anna terlibat dalam film musikal Teguh berjudul Cinta Pertama. Agaknya pria bernama asli Steve Liem itu kepincut dan ingin memanfaatkan lagi suara emas mereka.

Ketegangan menjalar di antara Sang Sutradara dan Sang Penata Musik. Untuk Berlian, Erros enggan mengalah. “Kalau nggak setuju…..ya batalin aja semua,” ujar Erros.

Teguh melunak.  Kompromi terjadi. Broery menyanyikan “Merpati Putih” dan “Baju Pengantin”, Berlian membawakan “Badai Pasti Berlalu”.

Baca selengkapnya di sini.

mochtar lubis, cerita dua purnama di penjara nirbaya

Pada 7 Maret 1975, Mochtar Lubis menulis di catatan hariannya, “I am 53 today, and yes I feel very young. My health is good… Hally, Iwan, Ade, Ike, Maya, and Tanya come. After all we had quite a nice celebration, with cake and candles, and one baby champagne bottle which I kept cool in the ice thermos since last Wednesday.”

Pesta kecil untuknya tak digelar di rumah mereka di Jl. Bonang, Jakarta Pusat. Perayaan berlangsung di penjara Nirbaya, di sebelah Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya itu ditahan sejak 4 Februari 1975.

Sekitar 75 tahanan dikurung di sana. Beberapa di antaranya, termasuk Mochtar Lubis, ditempatkan di paviliun dengan kamar tidur, ruang makan, dan kamar mandi, luasnya sekitar 30 meter persegi. Para tahanan diperkenankan bercocok tanam, berolahraga, atau melakukan kegiatan lain. Tapi pintu kompleks tetap terkunci. Mereka dikucilkan dari dunia bebas.

Penghuni Nirbaya lainnya adalah sejumlah sosok yang dikaitkan dengan Peristiwa G30S, seperti Laksamana Udara Omar Dhani dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra.

”Paviliun saya di sebelah paviliun Omar Dhani, bekas instruktur terbang saya dulu di Aeroclub–waktu itu dia masih Letnan Udara,” tulis Mochtar Lubis di catatan hariannya.

Baca selengkapnya di sini

kuil penyiksaan

Kafka lagi membaca Laut Bercerita. Dia agaknya terpana, setengah tidak percaya. “Beneran ceritanya, Yah?” ujar dia beberapa hari lalu.

Novel laris karya Leila S. Chudori itu berkisah tentang anak-anak muda yang diculik dan dilenyapkan karena alasan politik. Pada “Ucapan Terima Kasih,” Leila mengungkapkan, ide novel ini tumbuh setelah  dia meminta Nezar Patria menuliskan pengalaman diculik aparatus militer Orde Baru pada Maret 1998. Keduanya pernah sama-sama bekerja di majalah TEMPO.

Tulisan itu kemudian terbit di edisi khusus majalah TEMPO dengan judul menggetarkan: “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.”

Saya menuju tumpukan majalah di rumah, mencari edisi yang memuat tulisan tersebut, edisi pasca-kematian Soeharto pada 27 Januari 2008. Niatnya mau menyodorkan ke Kafka, biar dia punya wawasan lain soal “tema hitam nan getir” ini. Ketika anak Desa Kemusuk itu wafat, Kafka belum genap satu warsa.

Majalah yang dicari raib entah ke mana. Oke, ada marketplace. Taraaa…masih tersedia di sejumlah lapak. Sebagai homo economicus, tentu sambar yang termurah.

Setiba di rumah beberapa jam lalu, edisi tersebut teronggok di bufet. Saya langsung memburu cerita Nezar.

“Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur,” demikian mantan Sekjen Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) itu berkisah.

Tak berhenti di sana. Satu mesin setrum disiapkan. Kepala Nezar dijungkirkan. Aliran listrik pun dikirim dari paha sampai dada. Dia berteriak, “Allahu Akbar!” Tapi mulutnya diinjak. Getih mengucur lagi.

Dari proses interogasi, tuduhan untuk Nezar dan kawan-kawan adalah mau menggulingkan Soeharto.

“Satu setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap,” tulis lulusan Filsafat UGM tersebut.

Nezar tak menemui ajal di tangan para interogator. Tapi sejumlah aktivis mahasiswa lain tak pernah pulang ke rumah sampai hari ini. Sudah 23 tahun berlalu…

Orde Penyiksa akhirnya disapu sejarah. Semoga tak pernah lagi singgah. Biar edisi khusus ini saja yang kembali dan bisa saya sodorkan ke Kafka.

kang jalal pamit

Jalaluddin Rakhmat sangat menguasai teknik bercerita, baik secara lisan maupun dalam tulisan.

Pada kolom ini (TEMPO 19 Juli 1986), ia sebenarnya “hanya” mau bilang: pemikiran keislaman Nurcholish Madjid yang saat itu dominan (mungkin karena juga di-support rezim) segera menemui devian-deviannya.

Ide tersebut dibungkus dalam dialog antara dirinya dengan Tuparev. Teman ngobrol ini digambarkan Kang Jalal secara menarik: gagah, bersih, sehat, — profil mahasiswa kini yang makan dengan gizi “Orde Baru.”

Mereka ngobrol di mobil, usai menyimak ceramah Nurcholish di ITB. Tuparev penasaran dan kecewa lantaran Kang Jalal tak memanfaatkan forum untuk mendebat Cak Nur. Tuparev tahu, Kang Jalal pernah bilang bahwa paham Nurcholish bukan satu-satunya cara memandang Islam.

Lalu dengan meminjam filsafat sejarah Ali Syariati, Kang Jalal coba meyakinkan Tuparev: tenang saja, ide-ide alternatif niscaya selalu hadir.

Percakapan berakhir saat mereka tiba di rumah Kang Jalal. Tuparev pun pamit.

Kemarin sore Kang Jalal pamit. Linimasa riuh dan penuh dengan eulogi. Almarhum yang biasa bercerita, dengan sangat piawai, kini jadi subjek cerita teman-teman saya.

Al Fatihah.

 

bung karno dan polemik

Alkisah pada September 1980 – Maret 1981 meletus polemik tentang Bung Karno. Belum ada media sosial saat itu, gelanggangnya adalah koran dan majalah.

Rosihan Anwar yang memicu dengan mengungkap ulang, dalam artikelnya di koran KOMPAS, bahwa ada surat-surat Bung Karno yang meminta ampun pada Jaksa Agung Hindia Belanda pada 1933. Konon surat dilayangkan saat Bung Karno mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung.

Mengungkap ulang? Ya, Rosihan sebenarnya hanya mengutip temuan John Ingleson yang dituangkan dalam buku Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement 1927-1934. Melihat rekam jejak Ingleson, ia bukan pembual di warung kopi. Ia punya kredensial sebagai peneliti dan akademisi sejarah .

Sejumlah pihak pun unjuk tanggapan atas hal tersebut. Di antaranya Mohamad Roem, Sitor Situmorang, Mahbub Djunaidi, Taufik Abdullah, Onghokham dll. Banyak di antara mereka yang meragukan otentisitas surat-surat itu. Sangat mungkin rezim kolonial mengkreasinya untuk merontokkan kredibilitas Bung Karno, kata mereka.

“Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada berita di surat kabar pada waktu itu mengenai surat-surat Bung Karno itu. Tetapi adalah aneh sekali mengapa pemerintah Belanda pada waktu itu begitu bodoh untuk tidak mengumumkan surat-surat Bung Karno tersebut kalau memang ada,” kata sejarawan Onghokham kepada koran Merdeka.

Di luar itu semua, buku 50 halaman ini penting karena memuat (mungkin) semua tulisan yang terlibat polemik. Ada sejumlah esai, juga reportase.

trisno ke langit

Saya telah terkesan sejak hari-hari pertama di kampus. Gaya bicaranya meyakinkan meski dengan cengkok Pantura yang terkadang hadir ke permukaan. Pikirannya tajam. Kami diikat satu hal: Orde Baru harus dilawan.

Ketika angkatan kami melanjutkan penerbitan majalah kampus, saya tak ragu untuk menjadi makmum dan ia adalah pemimpin redaksinya.

Banyak malam dilalui bersama teman-teman lain. Juga di kamar kosnya, di lantai dua sebuah rumah, di pelosok Sekeloa, Bandung. Diiringi buku-buku, jurnal Prisma, asap rokok, dan botol “air kata-kata.” Pun obrolan soal para perempuan yang jadi idaman.

Tak selalu kami sehaluan. Pernah satu malam kami berdebat sengit soal pers dan keberpihakan. Juga perihal Tuhan dan kehendak bebas manusia. Namanya anak muda, kami punya kemewahan untuk bicara setinggi bintang.

Cara melawan rezim pun jadi pangkal pertengkaran. Terkait dengan itu, apa yang jadi target pokok: ganti sosok atau ubah sistem.

Setelah mengenalnya lebih dalam, saya menduga, ia bakal menjadi aktivis, menjadi jurnalis pasti bukan cita-cita utama. Keprihatinan pada nasib rakyat kecil tertanam kuat di kepalanya.

Pada akhir masa kuliah, kami jarang bertemu. Saya berjuang menyelesaikan skripsi, ia larut dalam aktivisme – bahkan memilih tak mendapatkan ijazah dari kampus.

Media sosial mempertemukan kami kembali dalam beberapa tahun terakhir. Tapi tak ada lagi percakapan soal “bintang gemintang” di langit sana. Kami hanya bergurau, merisak satu sama lain dengan kisah asmara di masa silam sebagai amunisi.

Hari ini, Trisno W Demah menuju ke langit.

arief budiman, pergi dengan penghormatan

Dia menatap jenazah adik kandungnya, terbungkus dalam plastik transparan dengan kedua ujung diikat tali.

Saat itu tengah malam di rumah seorang kepala desa di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur. Pria itu, terlahir sebagai Soe Hok Djin dan lebih dikenal sebagai Arief Budiman, membatin, “Tentu sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu.”

Sang adik, Soe Hok Gie, meninggal dunia beberapa hari sebelumnya, tercekik asap beracun puncak Semeru. Arief menuliskan kenangan tersebut dalam kata pengantar Catatan Seorang Demonstran.

Siang tadi, Arief menyusul  sang adik, hampir 50 tahun kemudian. Linimasa lantas riuh rendah dengan penghormatan untuknya.

 

2.

Perjalanan hidup Arief memang layak menuai pujian. Ia banyak menulis di media massa, mengkritisi penguasa yang korup bin zalim. Juga turun ke jalan. Pada 1971, ia sempat dibui karena memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.

Ia pula yang terdepan menggelindingkan ide “Golongan Putih” atau Golput — gerakan menolak menggunakan hak suara dalam Pemilu 1971.  Arief menggagasnya karena menganggap Orde Baru membonsai demokrasi dengan  membatasi partai yang ikut pemilu. Sampai hari ini, istilah Golput abadi.

Sejumlah buku ditulisnya. Termasuk yang berasal dari disertasinya di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Judul buku itu gagah: Jalan Demokratis ke Sosialisme – Pengalaman Chili di Bawah Allende.

Sepulang dari Harvard pada 1981, Arief menjadi juru kampanye utama untuk pendekatan struktural dalam ilmu sosial di Indonesia – pendekatan yang banyak diadvokasi cendekiawan neo-marxis seperti Paul Baran atau Andre Gunder Frank.  Ia dengan lugas mengkritik pendekatan psikologis/kebudayaan yang ketika itu mendominasi.

Pendek cerita, pendekatan psikologis/kebudayaan percaya bahwa akar masalah sosial adalah mentalitas. Perihal kemiskinan, misalnya, terjadi karena kemalasan atau etos kerja yang payah. Di seberangnya, pendekatan struktural meyakini bahwa  seseorang atau sekelompok orang rudin lantaran ada sistem yang melanggengkan ketimpangan sosial-ekonomi.

Arief percaya pada sosialisme. “Hidup di negara kapitalis membuat saya kasihan melihat kaum miskin yang tertindas. Parah sekali jadi orang miskin di Amerika,” katanya kepada MATRA, April 1994.

Lalu, ia bertengkar dengan pihak rektorat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang dianggap melanggar aturan main. Arief pun dipecat dan beberapa tahun kemudian pindah mengajar ke Universitas Melbourne, Australia.

 

3.

Terutama pada masa mudanya, Arief juga banyak bergerak di ranah kesenian. Ia rutin menulis kritik sastra. Bersama Goenawan Mohamad, ia adalah penandatangan Manifes Kebudayaan termuda – baru 22 tahun. Mereka ketika itu sama-sama mahasiswa Psikologi UI.

Arief juga gemar baca filsafat. Goenawan mengaku kagum dengan Arief yang menguasai bagian-bagian yang sulit dari Being and Nothingness  versi Inggris karya Sartre.

Goenawan pernah menulis, dunia pergaulan Hok Gie dan Arief berbeda. Gie akrab dengan aktivis politik, terutama dari Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). “Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi, dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain,” tulis Goenawan dalam esai Arief Budiman: Yang Akrab dengan Yang Murni.

Sewaktu SMP, Arief pernah belajar melukis pada sejumlah perupa di Balai Budaya, Menteng.  Namun ia merasa paling dekat dengan Nashar, sosok yang digambarkannya dengan “bajunya selalu kusam, sepatunya (kalau dia pakai sepatu) tidak pernah makan semir.” Arief mengaku, dengan Nashar, jarak dan tembok antara murid dangan guru tidak ada.

Setelah Orde Lama tumbang, Arief ikut mendirikan majalah sastra Horison,  bahkan menjadi inisiatornya. Jadi, suatu hari di 1966, Arief mengunjungi jurnalis dan sastrawan Mochtar Lubis yang masih menjadi tahanan politik Orde Lama. Mereka ngobrol soal suasana kesusastraan yang pengap oleh tekanan rezim. Mochtar berjanji, jika keluar penjara nanti, dia akan mendirikan majalah sastra.

Orde Baru membebaskan Mochtar. Tak lama kemudian, dia mendatangi sejumlah teman pengusahanya.  Dana penerbitan pun tercukupi. Nama yang disepakati adalah Horison. Terbit pertama kali pada Juli 1966. Selain Mochtar dan Arief, ada HB Jassin, DS Moeljanto, Zaini, dan Taufiq Ismail di Dewan Redaksi Horison.

 

4.

Publik akan terus mengingat Arief sebagai pejuang demokrasi dan cendekiawan teladan, bakal mengenang ayah dua anak ini selaku sosok yang lurus dalam sikap dan perbuatan.

Ia (mungkin) akan berjumpa lagi dengan Hok Gie dan bisa kembali ngomong, “Gie, kamu tidak sendirian” – seperti saat menutup kata pengantar  yang menggetarkan itu.

 

 

ae priyono dan masa muda

Kakak kelas di kampus, Zaenal Bhakti, “memprovokasi” untuk menyimak kumpulan tulisan Dr Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Ini cerita pada awal 90-an, masa yang juga menjadi latar waktu Dilan dan segala romantikanya.

Sudah lupa apa isi provokasi Bang Zaenal. Yang pasti, saya lalu mengejar angkot menuju Pasar Palasari. Ini bursa buku di Bandung dengan dua nilai plus: diskon 20-30% + sampul plastik. Buku hampir 400 halaman tersebut pun menghuni kamar kos di Sekeloa.

Editornya, AE Priyono, menulis prolog panjang, menemani kata pengantar dari M Dawam Rahardjo. Prolog itu membantu mahasiswa bodoh kayak saya untuk lebih mudah masuk ke “rumah pemikiran” sang sejarawan yang wafat pada 2005 tersebut.

Kami saat itu menyaksikan sosok Orde Baru yang gigantis dan represif. Uraian-uraian Pak Kunto direguk dengan bersemangat meski tetap agak kerepotan dalam mencerna karena bekal akademis yang ala kadarnya. Berharap memperoleh amunisi tambahan untuk melawan rezim.

Dari mengamati linimasa di media sosial, agaknya Paradigma Islam   memang menjadi bacaan favorit (aktivis) mahasiswa segenerasi. Nezar Patria, misalnya, menulis di akun facebook-nya, “Sebagai mahasiswa filsafat di tahun pertama, saya terkesima dengan buku itu, dan seketika jatuh cinta dengan pemikiran Kuntowijoyo, salah satu sejarahwan yang jujur dan berpikiran tajam. Lewat buku itu Kunto mencoba membuat sketsa pemikiran sosial dari perspektif Islam, dan mencari landasan untuk sebuah metode yang disebutnya sebagai ilmu sosial profetik.”

Petikan prolog dari Mas AE menegaskan hal itu: Kunto mengajukan kritik tehadap metode pemikiran Islam yang masih sangat normatif. “….selama konsep-konsep normatif tidak dijabarkan dalam formulasi-formulasi teoritis, maka Islam hanya akan bertahan di dunia subjektif dan tidak akan dapat ikut campur dalam realitas objektif,” tulis Mas AE.

Pak Kunto terlihat menjanjikan karena, saya ingat ketika itu, dimasukkan dalam rumpun “Sosialisme-Demokrasi Islam” oleh Fachry Ali dan Bachtiar Effendy dalam karya fenomenal mereka, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Dalam rumpun itu, juga hadir Dawam Rahardjo dan Adi Sasono, dua tokoh LSM yang moncer.

Rumpun inilah yang paling gamblang mengkritisi Orde Baru dibandingkan sejumlah rumpun lain seperti Neo-Modernisme, Modernisme, atau Internasionalisme, paling kentara keberpihakannya pada kaum mustadhafin.

Minggu siang kemarin kabar duka tiba: Mas AE berpulang. Saya tak pernah berinteraksi langsung dengannya. Dari linimasa yang riuh setelah kabar itu beredar, ada semacam konklusi: Almarhum adalah orang baik dengan kontribusi besar untuk jagat pemikiran dan aktivisme di Indonesia. Ia pergi saat Tanah Air, yang tak pernah lepas dari keprihatinannya, tengah dirundung wabah Corona.

Setelah mendengar kabar duka itu, saya jadi ngeh bahwa kayaknya ada buku lain yang disunting pria  kelahiran Temanggung itu di perpustakaan pribadi. Ngubek-ngubek rak dan tumpukan buku, voila… ada Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Dunia Ketiga yang disunting bersama rekannya di Universitas Islam Indonesia (UII), Asmar Oemar Saleh.

Antologi ini menghimpun esai Soedjatmoko, Toety Herati, Arief Budiman, Hidajat Nataatmadja, Ignas Kleden, dan sejumlah nama lain. Tahun penerbitan: 1984 — jauh sebelum Paradigma Islam meluncur ke publik. Ketika itu Anang Eko Priyono baru 26 tahun.

Selamat jalan, Mas AE. Semoga lempang jalan menuju Keabadian. Titip salam takzim untuk Pak Kunto. Terima kasih atas “andil” yang mewarnai masa muda saya di Bandung.

kang yoyon

Orde Baru membredel TEMPO, DeTIK, dan Editor pada 21 Juni 1994. Di Radio Mara, Bandung, Mohamad Sunjaya memutar berulang-ulang Song for Liberty dari Opera Nabuco karya Giuseppe Verdi.

“Saya protes, saya marah, saya pilu, saya tak bisa apa-apa lagi. Saya ulang-ulang tuh lagu,” kata Kang Yoyon, panggilan akrab Sunjaya, kepada jurnalis Agus Sopian yang menulis kisah Radio Mara.

Kang Yoyon bukan penyiar biasa. Dia juga seorang aktor teater yang andal. Dibesarkan Studiklub Teater Bandung (STB), dia lalu mendirikan Actors Unlimited. Untuk Radio Mara, dia bekerja sejak 1971.

Pada 1990-an itu, saya beberapa kali ke kantor Radio Mara untuk bertemu Noor Achirul Layla atau Mbak Ea, dosen wali, yang juga bekerja di sana. “Elu beruntung dapat dia,” kata Mbak Ea saat saya mengajak pacar. Saya hanya tergelak.

(Mbak Ea lebih dulu pamit pada November 2003. Ribuan orang mengantar pemakamannya.)

Orang-orang Mara, dalam penglihatan saya: berpikiran bebas, urakan, ogah menyembah-nyembah otoritas formal.

Pada November 1991, Kang Yoyon dipecat dari posisi pemimpin redaksi Pusat Pemberitaan Radio pada Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) Jawa Barat. Pria kelahiran 1937 itu dianggap bersalah menugaskan reporter untuk meliput demonstrasi mahasiswa yang menentang Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).

Sejatinya, Kang Yoyon bukan tak bisa berbuat apa-apa dengan pembredelan tiga media tersebut. Dia rajin merekam siaran radio-radio luar negeri berkaitan dengan peristiwa menjelang dan sesudah pembredelan.

Puluhan kaset rekaman milik adik kandung Jenderal Yogie S Memet itu kemudian ditranskrip dan dibukukan dengan judul Bredel di Udara. Inilah dokumentasi amat berharga atas praktik kezaliman sebuah rezim.

Kemarin sore kabar duka itu tiba. Wilujeng angkat, Kang Yoyon. Titip salam buat Pak Ton ( atau Jenderal HR Dharsono yang banyak membantu Radio Mara di masa-masa awal) dan Mbak Ea.