video kafka

Kami menjenguk kembali video itu pekan lalu. Kafka jadi sosok dominan di sana. Dia baru dua tahun. Berkulit putih, tak seperti ayahnya. Beralis tebal, seperti ibunya.

“Mana awat?” ujar Kafka dalam video tersebut. Maksud dia, “Ke mana pesawatnya?” Saat itu dia ada di balkon rumah. Di langit terdengar deru. Dia tahu itu adalah suara pesawat terbang yang melintas.

Menontonnya kembali sekarang, saya senyum-senyum. Dulu boro-boro… Kafka disebut terlambat dalam soal bicara. Plus, dia juga dinilai sukar berkonsentrasi. Dokter menyarankan agar Kafka menjalani terapi.

Kami mematuhi saran sang dokter. Dua kali dalam sepekan, sesi terapi dilakoni. Terkadang saya atau Raya, istri saya, yang mengantar; terkadang Arti, asisten rumah tangga, yang mengemban tugas tersebut.

Mata saya pernah berkabut saat menyaksikan Kafka ditangani terapis. Cemas membayangkan anak kedua kami kesulitan bicara sampai dewasa.

man-kam

Raya yang membuat video itu dengan kamera saku — juga puluhan video lain. Saya sungguh berterima kasih padanya. Karena dia, perkembangan anak-anak kami terdokumentasikan.

Terapi hanya berlangsung beberapa bulan. Raya bilang, “Video itu dibuat waktu Kafka sudah mulai bisa ngomong.” Kafka, secara bertahap, terbukti pintar bicara. Kecemasan saya kedaluwarsa.

Minggu pagi, saya mengantar Kafka ke kolam renang. Menenteng laptop, melanjutkan penulisan buku. Panas mulai menyengat, saya menjauhi tepi kolam, mencari meja yang diayomi pepohonan.

Kafka kini delapan tahun. Kulitnya tak seterang dulu. Tentu efek dari terlalu banyak bermain di luar, di bawah guyuran cahaya srengenge.

Di keramaian para bocah itu, saya menuliskan ulang pengalaman Mohammad Hatta saat diculik ke Rengasdengklok — dari Sekitar Proklamasi. Terselip bagian yang mengingatkan pada Kafka.

Guntur, anak sulung Sukarno, ikut diajak bersama ayah dan ibunya, Fatmawati. Namun, untuk beberapa jam, Guntur tak bisa minum susu. Dalam cerita Hatta, kaleng susu terbawa sedan yang kembali ke Jakarta. Lupa memasukkannya ke pick up yang membawa mereka dari sebuah persimpangan di Karawang ke Rengasdengklok.

(Dalam autobiografi Sukarno, susu tak terangkut sejak Jakarta. Maklum mereka pergi tergesa-gesa.)

Penderitaan Guntur berakhir kala seorang prajurit PETA mengantar sekaleng susu. Nah, Kafka sangat menggemari susu. Rasa cokelat, khususnya. Rengekan dia ke saya banyak terkait susu: “Ayah, ayo ke A***, susuku habis.” Dia mengucapkan dengan artikulasi yang jelas.

Kerap, saat melihat dia (dan abangnya), saya teringat Rabindranath Tagore yang mengatakan, “Setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *