pamrih

Kami berbagi taksi malam itu. Berangkat dari tepi Jalan Sudirman, menuju selatan. Saya dan dia — teman sejak kuliah di Bandung. Kami usai ngobrol ngalor-ngidul dengan seorang teman lain di sebuah kafe.

“Bung, makin tua, banyak orang makin religius ya. Tapi, di mata gue, ada yang aneh,” kata dia.

Weiiits, mulai serius dia. Saya mengimbangi dengan takzim menyimak dan merespons, “Maksud elu gimana?”

“Gue ada di grup WA teman-teman SMP. Dari banyak angkatan. Ada yang sudah 50-an tahun umurnya.”

“Terus?”

“Suatu hari kawan kami mengalami kecelakaan sepeda motor. Suaminya meninggal dunia, istrinya luka parah. Kami pun diajak menyumbang.”

Taksi putih itu tiba di Taman Puring, tak jauh dari SMP dia dan saya. Di sana ada tiga SMP yang berdekatan. Lalu lintas macet karena proyek pembangunan jalan layang Tendean-Ciledug.

“Yang mengherankan, kok ajakan itu diembel-embeli, ‘ayo kita nyumbang, biar pahala dari Allah berlimpah’,” kata dia.

Langsung, ia melanjutkan, “Ini kok egois amat ya? Menyumbang orang lain dengan pamrih, berharap pahala dari Allah. Ini gak cuma seorang. Teman-teman lain juga mengamini.”

Saya tercenung beberapa saat. Kawan ini beres jalan pikirannya. I couldn’t agree more, kata orang sana.

“Iya, ya, kenapa gak bisa kita menyumbang karena memang ada orang lain yang membutuhkan, karena kita peduli?!” ujar saya.

Taksi memasuki kawasan Pondok Indah, tempat tinggal orang-orang berduit. Rumah-rumah tegak megah berdiri. Kehidupan duniawi yang sentosa.

Nah, pahala menjadi tiket menggapai kehidupan akhirat yang sentosa. Tapi jika menolong sesama menjadi alat kepentingan diri sendiri, saya duga, si penerima bantuan akan salah tingkah. Atau, lebih jauh, tersinggung. (Ya, ada kemungkinan juga tak peduli lantaran yang pokok bantuan mengalir.)

Lebih bermasalah lagi andai persoalan pahala disempitkan menjadi “membantu kaum seiman.” Demarkasi dibangun, kami dan mereka. Selamat tinggal kemanusiaan!

Ini memang urusan pola pikir. Pun bukan gejala hari ini. Telah muncul ratusan tahun silam saat sufi Rabi’ah al-Adawiyah masih mengayun pena. …jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya, tulisnya.

Di depan McDonald’s, sang kawan turun. Saya lanjut menuju Cinere, dia mencari taksi lain untuk mencapai Bintaro.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *