oh, crocs…

Dua hari tak menjelajahi Senayan City, hati saya ciut siang tadi. Di lantai delapan mal mewah itu ratusan orang antre. Bukan, mereka bukan menanti bantuan langsung tunai (BLT). Sebagaimana kebanyakan pengunjung, mereka terlihat jelas berasal dari kalangan menengah atas. Orang-orang yang, kayaknya, kedap dari terjangan krisis. Trendi dan wangi. Tua dan muda.

Tuan dan Puan, di sana sedang berlangsung program diskon gede-gedean dari Crocs, produk sandal dan sepatu asal Colorado, Amerika Serikat. Memang menggiurkan. Dari harga Rp 400 ribuan, kini Anda bisa menentengnya pulang dengan hanya merogoh kocek Rp 100 ribuan. Dan, berbeda dengan antrean BLT, mereka berbaris dalam kepungan udara sejuk, bukan dengan kepala terbakar matahari. Mereka diminta antre lantaran jika semua masuk sekaligus hanya kekacauan yang dipetik. Luas ruang tak sebanding dengan jumlah yang datang.

Crocs sendiri merupakan merek yang baru tenar sejak sekitar setahunan lalu di Tanah Air. Tujuh tahun silam, George Boedecker, Scott Seamans, dan Duke Hanson berkongsi memasarkan sepatu untuk aktivitas luar ruang. Cirinya, anti-slip dan punya warna-warna yang cerah. Belakangan, Crocs memantik pula kontroversi: sandalnya konon gampang nyangkut di tangga berjalan.

Havel dan Kafka, anak-anak kami, punya pula sandal Crocs. Abal-abal. Kami mendapatkan sandal Havel hanya dengan Rp 20 ribu. Ada harga, ada rupa. Jahitannya tak rapi, bahannya kasar. Juga tak awet. Kurang dari seminggu dipakai, tali belakangnya putus. Toh, mereka tampak menyukai benda yang hanya seharga dua bungkus Marlboro Merah itu.

Dari lantai sembilan ini, ketika gelap kian sempurna, saya masih menyaksikan mobil-mobil merayap lambat guna mencapai lobi Senayan City. Saya berani memastikan, sebagian besar mereka hendak menjemput sang majikan yang kelar menghadiri perhelatan di lantai delapan. Tentu, bukan pemandangan galib. Sejauh ini, hanya Crocs yang sanggup memunculkan situasi ini. Di Jalan Asia-Afrika, tumben benar lalu-lintas demikian padat dari arah selatan–padahal ini bukan Jumat malam. Seorang teman yang datang siang mengeluh, “Duh, susahnya cari parkir.” Jika akhir pekan, ia maklum. Senayan City gitu loooh…

Ya, banyak orang mencibir: huh, kaum konsumtif. Saya mencoba berjarak. Sependek ingatan saya, perekonomian kita banyak ditopang sisi konsumsi. Bukan produksi dan investasi. Saya riset sejenak, sektor konsumsi, baik di lini swasta maupun pemerintah, tetap menyetor kontribusi terbesar terhadap pendapatan kotor nasional: lebih dari 60 persen.

Tapi, bagaimana dengan snobisme? Apakah ini bukti ketidakberdayaan massa menghadapi rayuan iklan? Inikah sikap tak nasionalis di tengah kebijakan proteksionistis sejumlah negara? Atau, ini justru bentuk “kecerdasan” ekonomis?

Saya belum sempat memikirkan semua itu, seperti juga saya belum sempat makan malam saat menyusun catatan ini. Saya hanya ingat pernah ingin juga memiliki Crocs, tak perlu yang asli, supaya bisa tampil kompak bersama Havel dan Kafka. Snob kecil-kecilan…

One thought on “oh, crocs…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *