istana

Juni 2008. Pada suatu Ahad pagi yang cerah, puluhan bocah perumahan kami berwisata ke Istana Merdeka, Jakarta. Hitung-hitung sebagai variasi dari liburan akhir pekan. Saya ikut mendampingi mereka.

Selama sekitar 30 menit kami berkeliling. Di pengujung acara, pada anak tangga istana, para pengunjung dipersilakan foto bersama. Buat kenang-kenangan. Mata saya beredar sebentar. Ada enam pilar di beranda. Besar dan putih. Lambang negara bertengger gagah di puncak. Lapangan Monas membentang luas di seberang. Saya tertegun.

Belakangan, saya tahu bangunan ini mulai dikerjakan pada 1873 pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Louden. Enam tahun kemudian pembangunan tuntas pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsbarge.

Sejak Mei 2008, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan rakyat untuk bertandang. Cuma, meski berstatus turis, para pengunjung dipagari sejumlah aturan terkait busana dan alas kaki: tak boleh mengenakan sandal, kaos oblong, dan celana pendek. Perihal jeans, juga mesti ditinggal di rumah. Pokoknya, formal.

Soal bersikap formal, Abdurrahman Wahid pernah coba membuyarkannya. Anda barangkali masih ingat, Abdurahman sempat muncul di beranda Istana Merdeka untuk memberikan salam kepada para pendukungnya yang berunjuk rasa. Ia masih presiden dan…ia mengenakan celana pendek. Kejadian itu berlangsung di sekitar detik-detik peluncuran dekrit yang menghebohkan tersebut.

Kini, saya tertegun lagi. Ada beberapa orang yang kini sangat ngebet untuk bisa “berumah” di istana. Pertemuan demi pertemuan digelar. Kesepakatan demi kesepakatan dilahirkan. Istana memang menyihir. Sejak dulu begitu. Demi menggapai istana Tumapel, Ken Arok membinasakan Tunggul Ametung. Inilah, konon, kudeta pertama di tanah yang kelak dikenal sebagai Indonesia.

Itu masa gelap, era ketika umat manusia belum mengenal prosedur suksesi kekuasaan secara reguler dan damai. Situasi telah jauh berubah. Namun, yakinkah kita bahwa pemenang kontes memang figur yang tepat? Vox populi vox dei. Namun, ikhtiar manusia niscaya masih amat diperlukan. Karena itu, misalnya, sejumlah orang berkampanye agar warga tak memilih Fulan. Mereka percaya istana tak layak didiami sosok seperti Fulan yang tangannya berlumuran darah di masa silam. Jika itu terjadi, betapa berbahaya kekuasaan.

Juli 2009. Rakyat akan kembali memilih penghuni istana. Saya teringat anekdot Nasrudin Hoja, seorang sufi jenaka yang hidup pada abad ke-13 di Turki. Alkisah, Nasrudin sedang menyambangi ibukota. Ia melihat kesibukan luar biasa di istana. Sebab ingin tahu, Nasrudin mendekati pintu gerbang.

Tapi pengawal bertingkah tidak ramah. “Menjauhlah engkau!” seru dia.

“Mengapa?” kata Nasrudin.

“Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini berlangsung pembicaraan penting. Pergilah!”

“Tapi mengapa aku harus menjauh?”

“Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Pergilah!”

“Iya, aku akan pergi. Tapi pikirkan: bagaimana jika perusuhnya justru ada di dalam istana?” ujar Nasrudin seraya beranjak.

One thought on “istana”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *