Gara-gara seragam, kami diburu. Puluhan pelajar sekolah lain mengelilingi bus yang kami tumpangi. Mereka siap dengan batu dan kayu. Kami, mungkin dua belas atau tiga belas orang, tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berdoa. Mereka terlampau banyak. Lalu, praaangg…kaca mulai ditimpuki. Para perempuan mulai menjerit. Sialnya, lalu-lintas tak bersahabat di kawasan Mayestik, Jakarta Selatan, itu. Macet. Untunglah, dua polisi akhirnya tiba. Seorang teman berdarah di kepala.
Di seragam kami, di lengan kanan, ada nama dan lokasi sekolah. Itulah yang menjadi penanda buat “musuh.” Secara personal, kami dan mereka tak saling mengenal. Tapi, di antara kami yang pulang searah, justru tumbuh soliditas internal. Kami saling tunggu, berupaya untuk menaiki bus yang sama menuju rumah seusai sekolah. Continue reading “seragam”