seragam

Gara-gara seragam, kami diburu. Puluhan pelajar sekolah lain mengelilingi bus yang kami tumpangi. Mereka siap dengan batu dan kayu. Kami, mungkin dua belas atau tiga belas orang, tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berdoa. Mereka terlampau banyak. Lalu, praaangg…kaca mulai ditimpuki. Para perempuan mulai menjerit. Sialnya, lalu-lintas tak bersahabat di kawasan Mayestik, Jakarta Selatan, itu. Macet. Untunglah, dua polisi akhirnya tiba. Seorang teman berdarah di kepala.

Di seragam kami, di lengan kanan, ada nama dan lokasi sekolah. Itulah yang menjadi penanda buat “musuh.” Secara personal, kami dan mereka tak saling mengenal. Tapi, di antara kami yang pulang searah, justru tumbuh soliditas internal. Kami saling tunggu, berupaya untuk menaiki bus yang sama menuju rumah seusai sekolah. Continue reading “seragam”

ajip rosidi dan sejumlah obituari

PADA 1950-AN, penulis Ajip Rosidi menyewa rumah di daerah Kramat Pulo, di belakang bioskop Rivoli, Jakarta Pusat. Suatu siang, ketika ia sedang asyik mengetik di ruang depan, terdengar pintu diketuk. Saat ia membuka pintu, yang muncul adalah kepala Pramoedya Ananta Toer. Pram lalu berbisik, ”Kau ada nasi, tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!”

Hari itu, istri Ajip sedang pulang kampung. Nasi ada tapi sudah dingin. Dan, tak ada lauk-pauk. Maka, nasi dingin itulah yang disajikan Ajip kepada Pram, yang segera menyantapnya hanya dengan mentega. Ajip bercerita, di tahun-tahun itu, Pram sedang mengalami kesulitan keuangan. Istrinya pun sempat diungsikan ke rumah mertua. Continue reading “ajip rosidi dan sejumlah obituari”

gus dur

/1./
Suatu hari di Oktober 1990. Mungkin tanggal 21 atau 22. Siang itu, panas membakar Bandung. Ribuan anak muda Muslim berhimpun di lapangan parkir Universitas Padjadjaran. Salawat Badar berkumandang. Saya hadir di sana tapi dengan bloon —maklum, belum dua bulan berstatus mahasiswa. Tapi, saya tahu, salah satu sosok yang berbicara di depan mikrofon itu adalah Jalaluddin Rakhmat, intelektual muslim yang banyak dikagumi kaum muda.

Juga, saya tahu: ini demonstrasi mengutuk Monitor. Tabloid itu dianggap menghina Nabi Muhammad. Aroma kemarahan tercium kuat saat itu. Saya, bahkan, melihat beberapa orang mencucurkan air mata saat salawat, puji-pujian untuk Rasulullah itu, dilantunkan. Continue reading “gus dur”

buku, pesta, dan cinta

Bung,

Saya terhanyut. Nurmala Kartini Pandjaitan atau Kartini Sjahrir atau Ker begitu piawai mendedahkan kisah kalian. Pada 1968, perkenalan itu terjadi. Ker masuk sebagai mahasiswa baru Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Antropologi, sementara dirimu adalah “mahasiswa tua” jurusan Sejarah di fakultas yang sama. Orde Lama telah runtuh, Orde Baru tengah menata diri.

Ker mengaku, saat itu, ia merasa terbebaskan diri dari kekangan aturan-aturan kaku sekolah katolik di Santa Ursula. Di kampus, ia bertemu dirimu, Soe Hok-gie, yang segera mengajak menjelajahi kehidupan mahasiswa yang begitu dinamis. Pernahkah dulu ia menyatakan hal ini? Continue reading “buku, pesta, dan cinta”

subagyo dan anggodo

Subagyo pernah mendekam di bui. Monitor Depok menulis, ia menjadi penghuni LP Paledang, Bogor, pada 2006. Kesalahannya: berjudi. Selasa (17/11) lalu, di sebuah rumah kontrakan, ia kembali melakukan hobi itu bersama tiga temannya. Boleh jadi, ia melakoninya sebagai rekreasi di sela-sela pekerjaan sebagai supir angkutan umum D-102 jurusan Limo-Depok. Hari menjelang petang.

Ketika mereka asyik dengan permainan itu, tiba-tiba datang sekelompok orang yang kemudian diketahui adalah anggota Polsek Limo, Depok, Jawa Barat. Para penjudi itu kontan tunggang-langgang, berusaha melarikan diri. Tiga orang gagal dan diringkus. Tapi, Subagyo nahas: peluru membuatnya meregang ajal. Continue reading “subagyo dan anggodo”

senayan dan “superman”

/1./

Matahari membakar Jakarta. Panasnya gampang melumerkan niat berkegiatan di bawah udara terbuka. Tapi, di depan Hall Basket Senayan, sekitar 5.000 mahasiswa berhimpun. Dari mulut anak-anak muda itu terlontar, “”Demokrasi, demokrasi, demokrasi pasti mati…Khilafah, Khilafah akan tegak kembali…” Pada Ahad, 18 Oktober 2009 itu, Kongres Mahasiswa Islam Indonesia (KMII) digelar.

Mediaumat.com menulis, kendati tak turut melompat-lompat, para mahasiswi seperti enggan kalah bersemangat. Dengan mengangkat tangan terkepal, mereka juga meneriakkan yel-yel itu. Dan, posisi mereka terpisah secara tegas dengan kerumunan mahasiswa. Mediaumat.com bilang, “Itulah salah satu ciri yang membedakan mahasiswa Islam dengan mahasiswa sekuler.” Continue reading “senayan dan “superman””

jayakatwang

Kemenangan yang digenggam cuma sejenak membuat Jayakatwang girang. Selebihnya, gundah berkepanjangan. Demikian Arswendo Atmowiloto mengisahkan dalam Senopati Pamungkas yang pertama kali muncul pada 1984.

Jayakatwang pun memanggil Ugrawe, sang patih-cum-jago silat nomor wahid, dan Rawikara, putra mahkotanya. “…sebentar lagi aku berada di singgasana ini selama seratus hari. Masih saja belum hilang bayangan yang mengerikan. Mayat-mayat berjatuhan, banjir darah, erangan orang-orang yang kuhormati lahir-batin…Kadang aku berpikir sendiri, apakah tindakan yang kulakukan bukan suatu kekeliruan yang bakal dikutuk anak cucuku besok,” ujar raja itu. Continue reading “jayakatwang”

tepi-tepimu, leo…

Setiyadi tergolong penggemar berat Leo Kristi. Manajer di perusahaan multinasional di Jakarta ini mulai mengenal Leo pada 1978, saat duduk di bangku SMP. Anak sulungnya diberi nama Amanda Katia Khairunnisa. Jika ingat lagu Katia, Amanda, dan Aku di album Nyanyian Fajar, niscaya kita mafhum sumber inspirasi Adi, panggilan akrab Setiyadi.

Lihat menara mercu
Tinggal siluet
Tepat di balik kubah, matahari jatuh
Seratus burung melayang
Katia, Amanda, dan aku…

Leo juga sempat tinggal beberapa pekan di rumah Adi di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat. “Kawasan rumah saya yang mungkin tak banyak orang tahu itu ternyata membuat Leo betah. Komentarnya sepele: rimbun ya, hijau…daerah sini,” tulisnya di mailing list para penggemar Leo Kristi itu. Para fans tersebut menyebut diri “LKers.” Di sana, secara berseloroh, sejumlah anggota menabalkan Adi sebagai “Ketua Dewan Syuro” LKers. Continue reading “tepi-tepimu, leo…”

pulung

Punya tokoh fiksi “berpengaruh” dari masa bocah? Saya punya. Bukan, bukan para anggota Trio Detektif atau Lima Sekawan karya Enid Blyton. Tokoh saya adalah Pulung. Ini karakter rekaan Bung Smas, yang sempat tampil dalam tujuh buku di serial Pulung.

Saya lupa kapan dan bagaimana persisnya mengetahui keberadaan tokoh ini. Tapi, masih tertancap di ingatan soal kapan dan bagaimana memperolehnya pertama kali. Itu terjadi seusai saya dikhitan. Bapak memberikan sejumlah uang sebagai hadiah. Saya langsung ngacir ke Gramedia Blok M. Naik Metro Mini. Itu di pertengahan 80-an dan saya masih bercelana pendek merah saat pergi ke sekolah.

Pulung adalah seorang anak desa. Ketika buku pertama terbit, Pulung duduk di kelas VI. Dalam buku-buku berikutnya, ia sudah di bangku SMP. Dia diceritakan terbilang kuntet, dengan rambut kaku bak ijuk. Tampaknya ia tinggal di pinggiran Pekalongan atau Pemalang, Jawa Tengah. Bung Smas kerap menyebut PK dan PM untuk menunjuk nama kota. Keduanya dikesankan berdekatan. Continue reading “pulung”

rendra

/1./
Ingatannya menjulur ke masa remaja. Sejumlah teman menyajikan Blues untuk Bonnie buat pementasan di sekolah. Tentu, itu karya Rendra. Seorang teman bergitar dan mengalunkan irama blues. Jreng…

“Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam cafe tua itu
seorang penyanyi negro tua
bergitar dan bernyanyi.”
Continue reading “rendra”