mayestik

/1./

Matahari belum sepenuh hati memamerkan diri. Tapi, muncul hasrat mendesak-desak untuk segera dilunasi. Tiba-tiba, aku ingat Pasar Mayestik. Arloji menunjukkan pukul 08.10, saat aku memarkir kendaraan. Kelar urusan yang “genting dan penting” itu, aku sempatkan menelusuri sejenak lorong-lorong di sana, seraya membiarkan masa silam menggenangi kesadaran.

Ketika kanak-kanak, inilah pasar yang agak sering aku kunjungi. Keluarga kami tinggal di Rempoa. Tahu Bintaro? Rempoa sejatinya cuma terpisah sepelemparan batu dengan kawasan perumahan elit di selatan Jakarta itu. Rempoa-Mayestik berjarak sekitar 10 kilometer. Relatif dekat, apalagi tanpa kemacetan segila sekarang.

Suatu hari bapak mengajak ke sana untuk sebuah keperluan. Lupa persisnya, tapi aku ingat bahwa kami ke lantai dua. Kemungkinannya: mencari seragam pramuka atau membuat piagam atau piala. Dulu, bapak adalah kepala sekolah dasar negeri. Itu sebabnya aku menunjuk tiga kemungkinan tersebut.

Lalu, sejumlah kunjungan berikut. Aku ingat, beliau membawa kami ke Toko Yusri, sebuah toko buku yang terletak di luar bangunan utama tapi masih satu lingkungan.

Jelang lebaran, kami juga kerap diboyong ke Pasar Mayestik. Memburu baju baru. Ada dua toko yang langganan disambangi: Esa Mokan dan Esa Genangku. Esa Genangku masih berlanjut meski tampak tertatih-tatih meladeni deru kompetisi.

Akan halnya Esa Mokan justru sudah tutup, meski plang namanya masih terpasang. Di bawah plang nama, masih ada banner  “Caterina,” merek tekstil ternama di era 1970-an sampai 1980-an. Saking terkenalnya, Warkop DKI pernah mencomot merek itu sebagai bahan guyonan.

Belakangan, aku tahu, Remy Sylado pernah membuat puisi berjudul “Caterina.” Mbeling, seperti biasa. Ini lengkapnya: Caterina dari Alexandria/ pelindung Universitas Sorbonne/ dia santa/ Caterina dari Siena/ pelindung lembaga amal/ dia santa/ Caterina dari Indonesia/ pelindung aurat doang/ dia tekstil//

Di Pasar Mayestik, tekstil juga bisa diperoleh dengan mudah di sejumlah toko–sebagian besar pemiliknya warga keturunan India. Ya, inilah pasar: obat dan kosmetika, pakaian, alat olahraga, sayuran, buah-buahan, daging, ayam, ikan, bahan pembuat kue, kios penjahit. Lengkap dan padat. Bahkan, di anak-anak tangga, ada lapak yang digelar.

Terpisah dari bangunan utama, di bagian depan, dulu terdapat Radio Ong. Ini toko elektronik besar. Tak ingat lagi barang apa yang pernah kami boyong dari sana. Radio Ong berjaya jauh hari sebelum konsep pemasaran semacam Electronic City dan Agis merajalela dan mapan. Kini Radio Ong telah gugur, tak cukup kokoh menghadapi derap zaman.

Pernah selama tiga tahun, hampir tiap hari aku menjelajahi Mayestik. Lulus sekolah dasar, melanjutkan ke sekolah di Jalan Bumi, yang cuma sekitar 500 meter dari Mayestik. Posisinya lebih dekat dengan pintu belakang. Kami biasa masuk dari pintu itu dan melaju ke pintu depan, lalu menyeberang dan menyetop Metro Mini untuk pulang. “Mestik, mestik…” begitu teriak para kondektur.

/2./

Hadir sejak 1950-an, namun Pasar Mayestik baru diresmikan pada 1981. Pada 1960-an, menurut sahibul hikayat, Nomo Koeswoyo (salah seorang anggota Koes Bersaudara dan ayah Chicha Koeswoyo) pernah menjadi “jagoan” di kawasan ini. Ketika Sukarno memenjarakan mereka di Glodok lantaran dianggap kontrarevolusioner, para tahanan lama mengincar. Beruntung, seorang jagoan Mayestik lain, yang lebih dulu masuk, menyelamatkan mereka dari “hukum rimba” hotel prodeo.

Pasar tersebut terletak di Jalan Kyai Maja, Kebayoran Baru. Di jalan itu juga terletak RS Pusat Pertamina dan sentra barang bekas bernama Taman Puring. Kebayoran Baru sendiri mulai dibangun pada akhir 1940-an sebagai satelit Jakarta. Sedari mula, kawasan ini merupakan lokasi hunian kaum berpunya–tentu ini generalisasi dan pasti ada anomali. Deretan rumah apik, pepohonan rindang, lingkungan elok tertata.

Jika dulu terletak di tepi, kini Kebayoran Baru nyaris berada di jantung Ibu Kota. Dari Pasar Mayestik menuju Jalan Sudirman, jarak yang terbentang sekitar tiga kilometer saja. Sejak 2007, beredar kabar Pasar Mayestik bakal direnovasi. PD Pasar Jaya menyediakan lokasi penampungan sementara bagi pedagang Pasar Mayestik, yaitu di Taman Tebah–yang notabene bersisian dengan lokasi sekarang.

Menurut Kompas, pasar ini memiliki 1.200 kios dan menjadi tempat menambatkan harapan dari sekitar 3.000 pedagang. Sampai pekan lalu, para pedagang masih bertahan di lokasi lama.

/3./

Soal pasar, aku selalu terkenang deskripsi Arswendo Atmowiloto dalam Canting. Arswendo, dalam salah satu bagian novel itu, bercerita tentang Pasar Klewer, Solo. Kisah mengalir di era 1960-an, saat orang-orang belum bergosip soal Mulan Jameela atau Cinta Laura, melainkan tentang Rima Melati atau Rita Zahara.

Sang tokoh, Bu Bei, adalah seorang pedagang batik. Di pasar, Bu Bei mendapati dunia berbeda. Dia menjelma seorang manajer yang berkuasa. Kontras dengan kehidupan di rumah sebagai seorang istri priyayi yang sepanjang hayatnya didedikasikan untuk melayani suami.

Di pasar, Bu Bei dan perempuan-perempuan lain menemukan jeda dari kehidupan patriarkis yang menekan. Lebih jauh, membentuk kepribadian berbeda. “…peran yang disediakan Pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan keberanian memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas,” tulis Arswendo.

Aku pun teringat Canting ketika para perempuan pedagang Mayestik menyapa: “Silakan, Mas…cari apa?” Tak berniat membeli apa-apa, sekadar memanjakan mata dan hati, aku hanya tersenyum sebagai reaksi. Aku teringat begitu saja kendati mafhum bahwa latar tempat dan waktu dari keduanya jauh berbeda.

/4./

Mayestik akan berubah wajah. Sebentar lagi. Seperti juga Jakarta yang terus bersalin rupa. Pikiranku kemudian melompat ke Pasar Santa, juga di Kebayoran Baru, yang dua tahun silam selesai diremajakan.

Pada pekan-pekan pertama setelah peremajaan tuntas, aku sempat mengunjungi Pasar Santa. Ada yang berbeda, terutama di areal penjualan bahan pangan: daging, ikan, sayuran, dan lain-lain. Tanpa becek seperti kebanyakan pasar tradisional galibnya. Minus tumpukan sampah di sana-sini. Singkat kata, cukup nyaman.

Tak berlebihan agaknya jika menaruh harap bahwa itu juga yang terjadi dengan Mayestik. Menaruh harap bahwa tak ada “tikus-tikus” yang mengambil untung secara curang dari proyek ini. Dan, aku berhenti sejenak di areal parkir, sembari menengok ke bangunan pasar itu. Lagi. Aku mesti segera ke kantor.

istana

Juni 2008. Pada suatu Ahad pagi yang cerah, puluhan bocah perumahan kami berwisata ke Istana Merdeka, Jakarta. Hitung-hitung sebagai variasi dari liburan akhir pekan. Saya ikut mendampingi mereka.

Selama sekitar 30 menit kami berkeliling. Di pengujung acara, pada anak tangga istana, para pengunjung dipersilakan foto bersama. Buat kenang-kenangan. Mata saya beredar sebentar. Ada enam pilar di beranda. Besar dan putih. Lambang negara bertengger gagah di puncak. Lapangan Monas membentang luas di seberang. Saya tertegun. Continue reading “istana”

oh, crocs…

Dua hari tak menjelajahi Senayan City, hati saya ciut siang tadi. Di lantai delapan mal mewah itu ratusan orang antre. Bukan, mereka bukan menanti bantuan langsung tunai (BLT). Sebagaimana kebanyakan pengunjung, mereka terlihat jelas berasal dari kalangan menengah atas. Orang-orang yang, kayaknya, kedap dari terjangan krisis. Trendi dan wangi. Tua dan muda.

Tuan dan Puan, di sana sedang berlangsung program diskon gede-gedean dari Crocs, produk sandal dan sepatu asal Colorado, Amerika Serikat. Memang menggiurkan. Dari harga Rp 400 ribuan, kini Anda bisa menentengnya pulang dengan hanya merogoh kocek Rp 100 ribuan. Dan, berbeda dengan antrean BLT, mereka berbaris dalam kepungan udara sejuk, bukan dengan kepala terbakar matahari. Mereka diminta antre lantaran jika semua masuk sekaligus hanya kekacauan yang dipetik. Luas ruang tak sebanding dengan jumlah yang datang. Continue reading “oh, crocs…”

ajakan dari mimbar atau surat untuk nurcholish madjid

cak nur,

saya buka lagi buku yang sampulnya telah koyak oleh kafka, anak saya. terbit tahun lalu dengan judul all you need is love: cak nur di mata anak-anak muda, kitab ini memuat 30 esai. salah satu yang paling menarik perhatian adalah tuturan hikmat darmawan.

ia berkisah, di pertengahan 1990-an, di mimbar jumat itu anda menyarankan para jamaah untuk menonton the name of the rose. kok bisa-bisanya, cak? film tersebut dibikin berdasarkan novel dengan judul serupa karya ahli semiotika umberto eco. pokok kisahnya adalah misteri serangkaian pembunuhan di sebuah biara katolik di abad pertengahan. Continue reading “ajakan dari mimbar atau surat untuk nurcholish madjid”

sjahrir, seabad

Havel dan Kafka,

7 MARET 1935. BARU BEBERAPA HARI Sutan Sjahrir menjalani pengasingan di Boven Digul. Di Renungan Indonesia, ia melukiskan pembagian kategori orang-orang buangan: “orang jang suka bekerdja” dan “orang jang disebut naturalis.” Golongan pertama adalah mereka yang bersedia melakukan pekerjaan untuk rezim kolonial Belanda: menjadi pegawai polisi, guru, atau juru rawat. Dengan memilih ini, yang bersangkutan memperoleh upah 40 sen sehari plus tunjangan beras 18 kilogram saban bulan.

(Renungan Indonesia merupakan terjemahan dari Indonesische Overpeinzingen yang dilakukan HB Jassin dan terbit pertama kali pada 1947. Buku itu adalah antologi catatan harian Sjahrir selama melakoni pengasingan di Digul dan Banda Neira.) Continue reading “sjahrir, seabad”

jangan mengeluh, tulis saja versimu!

Havel dan Kafka,

/1./
Lantaran pekerjaan, saban pekan aku mesti mengetuk pintu Wikipedia. Lalu, bercengkerama dengannya. Aku membayangkan, jika pekerjaan ini dilakoni sebelum 2001, betapa menyita energi dan waktu. Hanya dengan membuka Wikipedia, sim sala bim, informasi yang aku incar melesat ke permukaan. Dalam hitungan beberapa detik.

Wikipedia? Ah, pasti cukup banyak di antara orang-orang yang mencibir: “Masak pseudo-ensiklopedia kayak gitu dipercaya…” Mari kita mudik sejenak ke 2001. Jimmy Wales, seorang pengusaha tajir, mulai membangun sebuah ensiklopedia online dengan cara yang benar-benar baru. Revolusioner. Dia menamainya “Wikipedia.” Dalam bahasa Hawaii, Wiki bermakna “cepat.” Continue reading “jangan mengeluh, tulis saja versimu!”

bono, klein, bonoisasi

Havel dan Kafka,

Paul David Hewson alias Bono tak henti membetot perhatian. Sejak pertengahan Januari 2009, kolom-kolom vokalis U2 ini bisa dinikmati di The New York Times. Tentu, ini bukan kali pertama Bono menulis. Dalam beberapa edisi Rolling Stone, ia juga diminta menyumbang esai. Bahkan, ia menyusun kata pengantar untuk buku Jeffrey D. Sach, The End of Poverty (2005).

Pada kolom pertamanya di Times, agak di luar dugaan, ia tak berkisah soal konflik Palestina-Israel, krisis ekonomi global, atau kehadiran Barack Obama di pentas politik Amerika. Alih-alih demikian, ia menulis tentang Frank Sinatra: perjumpaan dan kekagumannya pada penyanyi legendaris tersebut. Continue reading “bono, klein, bonoisasi”

sketsa buat havel yang berulang tahun

hujan berkunjung terlampau kerap. boleh jadi ia hanya ingin berlaku akrab. pepohonan yang kuyup. trotoar yang redup. kita dibuat salah tingkah. celakanya lagi, ia terlalu introvert. datang lalu lebih banyak diam.

susah kita memahami jalan pikiran hujan. sedikit terbantu lantaran ia beberapa kali melempar note di akun facebook-nya. rata-rata ringkas, hanya dua atau tiga alenea.

meski introvert, hujan jauh dari sikap dogmatis. ia pintar membikin kita terkejut. suatu hari, tak mengetuk pintu, ia telah tiba di ruang tamu dan berkata, ”saya kedinginan. bisakah saya minta teh panas dengan gula sedikit saja? ”

cinere, 14 januari 2009

surat untuk munir

Cak Munir,

Tiba juga 2009. Ya, telah lima tahun berlalu. Tapi, perjalanan kasus pembunuhan Anda terus dibikin buntu, berhenti di sebuah mata rantai bernama Pollycarpus Budihari Priyanto. Padahal, akal sehat siapa yang bisa diyakinkan bahwa Pollycarpus memang yang mengatur kejahatan itu? Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah bilang, penyingkapan kejahatan itu adalah test of our history.

Tentu, pasti ada juga orang yang mensyukuri situasi ini. Mereka pikir, kematian sampeyan adalah yang terbaik buat Indonesia. Mereka yakin, Anda adalah pengkhianat bangsa. Ya, saya jadi teringat cerita pendek Seno Gumira Ajidarma berjudul Keroncong Pembunuhan. Continue reading “surat untuk munir”

milan kundera, adam malik, dan “proyek lupa”

Havel dan Kafka,

Oktober silam, kabar tak sedap menerpa Milan Kundera. Czech Institute for Studies of Totalitarian Regimes menyitir laporan kepolisan bahwa penulis terkenal itu menjadi informan bagi penangkapan Miroslav Dvoracek, bekas pilot yang dituduh bekerja untuk kepentingan Amerika Serikat. Dvoracek akhirnya dihukum 21 tahun penjara.

Kejadian itu berlangsung pada 1950 dan Kundera baru berusia 21. Saat itu, ia belum lagi menghasilkan monumen-monumen sastra seperti The Unbearable Lightness of Being, The Book of Laughter and Forgetting, atau Immortality. Delapan belas tahun kemudian, tank-tank Uni Soviet masuk ke kampung halamannya dan mengoyak demokrasi di sana. Continue reading “milan kundera, adam malik, dan “proyek lupa””