selalu bersama di mana-mana

Sendiri.  Menyendiri. Mengapa kita cemas jika sendiri dan menyendiri?

Pada buku Roanne Van Voorst, Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta, terselip satu bab penting, menyentuh, sekaligus kocak soal “menyendiri.”

Di Indonesia, juga di Bantaran Kali yang pernah dihuni Roanne, ganjil belaka jika ada seseorang yang menyendiri.

Warga miskin di Bantaran Kali mengaku tidak takut dengan penyakit, banjir, atau penggusuran. Hal yang ditakutkan adalah “tidur sendirian” seperti yang dilakoni Roanne di kampung mereka.

Roanne, antropolog muda Belanda yang meneliti respons manusia terhadap banjir, tinggal di sebuah kampung kumuh di Jakarta. Lebih dari setahun. Bergaul dengan orang-orang di sana, coba memahami alam pikiran mereka.

Salah satu temuannya: mereka sangat terbiasa dengan kolektivisme. Kebersamaan. Nonton bola bareng, ngopi juga demikian. Dan seterusnya.

Padahal, di Belanda, kata Roanne, “Saya sering pergi berlibur tanpa pacar atau sangat menikmati pergi ke bioskop sendirian.”

Roanne bilang itu semua adalah cara untuk memulihkan tenaga, mengisi ulang energi sebelum melakukan perjumpaan-perjumpaan sosial berikutnya.

Saya kira, memang bukan hanya di Bantaran Kali. Ini fenomena umum di Indonesia. Kehadiran idiom “mangan ora mangan sing penting kumpul” sejatinya mengafirmasi prinsip hidup demikian.

Di sini, miskin bukan masalah sepanjang ada keluarga yang bisa menjadi semacam jaring pengaman sosial. Atau, tetangga yang siap menyingsingkan lengan baju jika kita memerlukan bantuan.

Tapi selalu ada batas seharusnya. Niscaya perlu momen-momen ketika kita hanya sendiri. Benar belaka kata-kata Roanne: berada di lingkungan pergaulan sosial kerap bikin lelah. Kita tak hanya berjumpa orang-orang yang sepemahaman. Tidak jarang kita dihadapkan pada pertikaian pendapat atau mereka yang mengeluh. Bukankah itu semua bikin capek?!

Menyendiri kini bukan monopoli para begawan atau resi. Dulu mereka menjauh dari keramaian, bermeditasi. Tapi siapa bilang kita, orang-orang biasa ini, tak perlu sesekali “bermeditasi”?

Bab berjudul “Selalu Bersama di Mana-mana” tersebut ditutup dengan kisah Roanne untuk menggapai “me time”-nya, yaitu nonton di bioskop. Di sana dia berharap bisa sejenak “menyendiri” setelah hampir 10 bulan tinggal di Bantaran Kali dan cuma pernah beberapa jam sendirian.

Dia membeli tiket, lalu  duduk nyaman di ruangan sejuk, siap menikmati hiburan. Tiba-tiba, dari belakang, meluncur suara seorang ibu, “Dari mana?”

“Dari Belanda,” jawab Roanne.

Si ibu kemudian meminta anak-anaknya menemani Roanne, di kiri dan kanan. “Senang kan, nonton film ramai-ramai kayak gini,” ujar dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *