bis membawa kami pergi

Afrizal Malna, pada 1985, menulis puisi berjudul “Bis Membawa Mereka Pergi.” Kala itu Orde Baru lagi di puncak. Pertumbuhan ekonomi diburu, tapi korupsi mulai menular seperti virus yang mematikan.

Afrizal menulis: Dengan bis yang asing, kami tinggalkan rumah-rumah tanpa listrik itu. Berangkat ke negeri-negeri baru, tumbuh di sepanjang jalan. 

Ya, sejak beberapa pekan lalu, saya pindah moda transportasi. Kini mengandalkan Transjakarta untuk menuju dan pulang dari kantor. Dengan ojek online sebagai pendamping.

Asyik juga ternyata. Bisa melaju dalam dekapan hawa sejuk. Sementara kemacetan membekap ribuan mobil di luar, bus kami meluncur (relatif) leluasa.

Saya teringat beberapa teman, para pengendara mobil pribadi, yang sinis dengan Transjakarta. Buat mereka, tak ada hak untuk memperoleh jalur khusus. Ah, kelas menengah ngehek jangan sering-sering didengar. Kebijakan publik mesti berpihak pada orang banyak atau kemacetan akan semakin gila.

Para penumpang memang asing satu sama lain. Nyaris tak pernah bertegur sapa. Paling banter “permisi…” ketika hendak turun dan menguak tubuh-tubuh yang menghalangi. Mereka berkutat dengan gawai masing-masing.

Jika tak menggenggam gawai, mereka tertidur. Atau melamun – mungkin memikirkan cicilan rumah, anak yang harus masuk sekolah menengah, atau tetangga yang bikin resah.

Tabik untuk para pejuang itu, yang melangkahkan kaki untuk mencari rezeki. Tak banyak memang yang punya kemewahan bisa bekerja di rumah atau bebas dari “hukum besi” office hours.

O iya, saya tahu bahwa Seno Gumira Ajidarma konon pernah menulis begini, “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”

Tapi, jika Anda tak korupsi, tak menyikut kolega, atau tak menjilat atasan sembari menginjak bawahan; hidup agaknya masih bisa dibanggakan. Masih ada kisah yang layak dibagikan ke anak dan cucu.

Termasuk soal mesti berdiri sepanjang perjalanan ke kantor di Transjakarta ketika pencuri uang rakyat duduk nyaman di jok empuk nan lembut sedan 3.000 cc.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *