sawarna

Malam masih muda saat kami memasuki Pandeglang, Banten. Jalanan cukup ramai sehari jelang tutup tahun itu.

Raya duduk di sisi saya yang menyetir sejak Jakarta. Dia jadi navigator dengan mengandalkan aplikasi Waze. Dua anak kami, Havel dan Kafka, duduk di belakang.

“Berapa kilo lagi ke Malingping?” kata saya.

“61 kilo lagi,” jawab Raya sambil menjenguk Waze di telepon genggamnya.

Kami berniat menginap di Malingping. Transit sebelum ke Pantai Sawarna, Lebak. Penjelajahan di Internet menyatakan, dianjurkan tiba sebelum malam di Sawarna. Mendekati pantai itu, jalan berkelok-kelok, naik turun, dan….rusak. Berisiko jika berkendara di malam hari untuk pertama kali.

Oke. Kami bersepakat untuk menginap di Malingping – “peradaban” terakhir sebelum Sawarna.

“Eh, Malingping kan kampungnya Arti. Mampir aja nanti ke rumahnya,” kata Raya tiba-tiba.

Arti adalah mantan asisten di rumah kami. Dia yang ikut mengasuh Kafka sejak lahir sampai usia setahun. Dari beberapa asisten yang datang silih berganti, Arti salah satu yang terbaik.

Dengan bensin penuh di tangki, saya tenang menginjak pedal gas. Di luar ekspektasi, kondisi jalan bersahabat: dicor mulus…luss.

Tapi kegelapan dan ketidaktahuan tentang medan membuat saya memilih main aman: tak berani menembus 40 km per jam.

Mendekati Malingping, kami menjumpai hutan dan perkebunan di kiri-kanan. Diam-diam terbit juga sedikit jeri di hati. Bagaimana jika ada gangguan di mobil? Lalu mogok… Saya telan perasaan itu, tak diungkapkan.

Tak sepenuhnya hutan. Setelah beberapa kilometer, kami bertemu juga dengan perkampungan. Satu-dua penduduk terlihat di pinggir jalan. Lantas hutan dan kegelapan lagi.

Kami pernah mengalami situasi yang mirip saat pulang ke Yogya dari Pantai Baron, Gunungkidul, beberapa tahun silam. Melaju di perbukitan, berkelak-kelok. Gelap menyungkup.

“Nyalakan lampu jauh aja,” ujar Raya.

Saya patuh meski merasa tak ada masalah dangan penglihatan di depan. Sesekali kami berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan.

Lalu déjà vu. Pada tahun pertama kuliah, saya menemani Tony, adik kelas, yang harus survei lokasi untuk acara pelantikan anggota organisasi kami di Lebak. Tony mengendarai sepeda motor, saya membonceng. Berangkat dari Bulungan. Saya sedang libur.

Ya, juga menembus jalanan di hutan. Dalam gulita malam dan hujan saat perjalanan pulang. Kami basah kuyup. Tapi seingat saya, tak ada rasa takut. Saya malah sempat pipis di pinggir jalan karena kebelet.

Usia bertambah, rasa takut menebal.

 

PAGI TIBA. Kami bersiap, check out dari hotel yang kamar termahalnya hanya Rp 250 ribu per malam, dan meninggalkan Malingping.

Saya menyiapkan mental untuk menyetir ke Kecamatan Bayah di jalanan rusak.

Anak-anak riang, membayangkan bermain di ombak Sawarna, sekitar 50 kilometer di tenggara Malingping. Sebuah surga konon…

Ajaib. Perjalanan dilalui di beton dan aspal yang relatif mulus. Hanya terselip dua kilometer yang terbilang rusak: aspal kasar tapi tanpa lubang-lubang yang menganga. Pasti ada perbaikan dalam beberapa waktu terakhir.

Ruas Malingping-Bayah ini ternyata juga bukan tanpa sentuhan “peradaban”. Indikasinya satu: gerai Alfamart dan Indomart bertebaran.

Di gapura Bayah, saya teringat Tan Malaka.

Bayah pernah menjadi tambang batubara di zaman pendudukan Jepang. Para romusha dikerahkan untuk mengerjakan. Mereka datang dari sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di kawasan pesisir selatan inilah Tan Malaka bekerja sebagai juru tulis. Ia datang ke Bayah pada Juni 1943 dan dikenal masyarakat sebagai Ilyas Hussein.

Dalam perjalanan, sekitar enam atau tujuh kilometer dari gapura itu, kami melintasi Pantai Pulo Manuk.  Pada masanya tempat ini seperti neraka. “Sedikit sekali di antara romusha yang bekerja di sana  yang tiada penyakit yang bisa membawa maut, seperti borok, disentri, dan malaria,” tulis Tan Malaka di memoarnya, Dari Penjara ke Penjara.

Makanan seadanya, obat-obatan sangat terbatas, dokter dan juru rawat hanya beberapa. Mayat-mayat hidup gampang ditemui di pinggir jalan. Demikian Tan Malaka bercerita.

Eksplorasi batubara di sana sudah direncanakan sejak awal abad ke-20 oleh rezim Hindia Belanda. Izin konsesi diterbitkan pada 1903 untuk sejumlah perusahaan swasta. Namun eksplorasi tak kunjung dilakukan. Kabarnya karena pasokan yang mencukupi dari Sumatera dan Kalimantan. Plus, kualitas batubara yang kurang baik.

Jepang punya pendirian lain. Kebutuhan perang mereka tinggi. Kualitas rendah tak mengapa. Maka eksplorasi pun akhirnya dilakukan.

 

SAYA HANYA sesekali menyentuh air. Namun dua anak saya nyaris tak mau beranjak dari gelombang dan ombak. Surga memang…

Seraya menatap kaki langit di kejauhan, saya merenungi perjalanan pada 2017. Pada tahun itu keputusan penting ditempuh. Tidak dengan mudah.

Laut selatan di hadapan. Gelombangnya tinggi, berbahaya, tapi indah. Konon demikian juga kehidupan.

3 thoughts on “sawarna”

Leave a Reply to Wahyuni Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *