rahasia

Sebuah blackberry untuk Havel. Ia memintanya akhir Juli lalu. Kami memenuhi: hadiah untuk keberhasilan masuk SMP negeri favorit yang diincar. Juga atas prestasi selaku peraih nilai ujian nasional tertinggi di sekolahnya.

Saya bukan tipe pencemas soal gadget dan pengaruh buruknya untuk anak. Barangkali karena Havel masih gemar menghambur keluar rumah untuk bermain bola dengan teman-teman sekompleks.

Cuma, ada satu hal yang kemudian membuat saya merenung. Ia memasang password. Saya ingin tahu. Havel hanya tertawa. Anehnya, saya tak mendesak.

Havel sudah 11 tahun. Menjelang remaja. Dalam percakapan kami, saya mafhum, alam pikirannya telah berkembang jauh. Perlahan, ia membangun dunia miliknya. Dunia dengan pagar tinggi meski tanpa kawat berduri. Dunia yang memuat imajinasi dan mimpinya sendiri. Sebuah teritori namun, semoga, dengan sejumlah pintu.

“…seorang remaja juga sudah mulai menumpuk pengetahuan dalam dirinya. Ia sudah melihat dan mengenal lingkungannya. Ia sudah membanding-bandingkan dengan kenyataan lain dari luar rumah,” tulis Pramoedya Ananta Toer di Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II.

Pram menuliskan hal itu saat menjenguk lagi masa remajanya di bawah seorang ayah yang bak patriark. “Dalam hati protes sudah mulai timbul: mengapa anak-anak lain bisa bergaul akrab dengan ayahnya dan kami tidak?…Mengapa ayahku tetap angker dan tak terdekati?” keluhnya.

Salah satu kekhawatiran saya sebagai seorang ayah adalah ini: tak bisa menjadi teman buat dua bocah lelaki saya. Tak mau menjadi patriark — predikat Pram untuk bapaknya.

Patriark niscaya cerewet dan intervensionis. Kekuasaannya menjangkau ke segala penjuru, sampai ke sudut-sudut terdalam, tak kenal waktu. Mungkin zonder maksud buruk, melulu kecemasan dosis tinggi.

Rahasia adalah sumber petaka buat sang patriark. Itu sebabnya semua anggota kelompok diinteli, diketahui semua laku dan ujarannya. Semua anggota mesti ditaruh di sebuah “rumah kaca.”

Ya, jangan dikira saya tak gamang. Bagaimanapun rasa jeri meletup-letup juga. Namun, andai  mampu bersikap sebagai sahabat, bukankah password menjadi nisbi?! Ada tapi tiada. Rasa percaya satu sama lain membuat tak ada lagi hal yang ditutup-tutupi.

Saya percaya, Havel berhak untuk sebuah ruang pribadi. Di sisi lain, saya belum teruji benar: kawankah? atau seorang patriark yang menyaru?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *