Hari sudah terang. Tapi, saya baru saja terjaga. Pun langsung gelagapan saat Kafka berujar, “Ayah, ada yang cari…”
Menghabiskan waktu jika harus mandi tapi saya cukup tahu diri untuk terlebih dulu menggosok gigi.
“Pak Yus, saya mau minta surat pengantar untuk bikin KTP baru, KTP lama hilang. Maaf, kalau bisa hari ini, saya mau urus visa,” kata seorang perempuan. Tak kenal. Dari keperluannya, saya mafhum, ia salah seorang penghuni kompleks kami. O, iya, jelek-jelek begini, saya ini sekretaris RT.
Saya melesat ke kamar atas, ketak-ketik sejenak. Ambil kertas dan cetak. Lalu, menghampirinya lagi. “Urus visa, memangnya mau ke mana, Mbak?” tanya saya.
“Ke Amerika, Pak, pindah. Sumpek di sini,” ujarnya sambil tersenyum. Setelah berterima kasih, ia pergi. Saya dibuat tertegun dengan kata “sumpek” yang terlontar darinya.
Ada banyak sekali orang yang merasa sumpek di Indonesia. Dengan aneka alasan dan pembenaran. Tapi, berapa banyak orang yang bisa seperti dia, pergi meloloskan diri dari segala masalah? Pasti sedikit.
Saya teringat sepasang kakek dan nenek. Agaknya telah mendekati 70 tahun atau mungkin juga di atasnya. Mereka bisa kita jumpai di sisi jalan di kawasan Pondok Indah, dengan jualan mereka di dalam gerobak: papan cuci. Berjualan papan cuci di Pondok Indah? Saya tak yakin mereka benar-benar jualan…
Buat mereka, Indonesia adalah satu-satunya kans. Mustahil berkelit. Apa pun yang terjadi, mereka akan tetap di sini. Mengurus visa demi mencari suaka dari kesumpekan hidup bukanlah rute alternatif.
Ya, ada banyak sekali orang seperti mereka. Terbelit persoalan, merasa sumpek, namun tak bisa menghindar. Beruntung jika tak jadi gila atau…dirundung parkinson.
Kolumnis Mahbub Djunaidi punya cerita tentang Pak Kemal, seorang birokrat yang terkena parkinson. Tangan yang tadinya sigap mendadak gemetar, suara yang semula lantang dan lancar kini cadel, tatapan mata yang biasanya tajam sekarang kosong.
Pak Kemal kemudian datang ke seorang dokter yang langsung mencari sebab-musabab. Lalu, tercetuslah dari mulut sang pasien, “Memang belakangan saya terpukul. Tadinya saya kepala bagian Pengadaan, sekarang dipindah ke bagian Litbang. Waduh, saya lesu.”
Entahlah, cerita itu nyata atau semata fiksi. Ditulis pada 1986, jauh sebelum KPK lahir, saat korupsi terus menggerus tiada akhir. Andai sudah ada KPK, penderitaan Pak Kemal mungkin bertambah: juga menjadi pesakitan. Atau, boleh jadi Pak Kemal telah berada di luar negeri, menghindari hamba wet, pergi sebelum keputusan cegah dirilis.
Sumpek atau tidak, hidup harus berjalan terus. Sebagai langkah pertama, saya memutuskan untuk mandi meski siang sebentar lagi.
Kalau sumpek begitu, jendela mana yang harus dibuka, Yus?