sjahrir, seabad

Havel dan Kafka,

7 MARET 1935. BARU BEBERAPA HARI Sutan Sjahrir menjalani pengasingan di Boven Digul. Di Renungan Indonesia, ia melukiskan pembagian kategori orang-orang buangan: “orang jang suka bekerdja” dan “orang jang disebut naturalis.” Golongan pertama adalah mereka yang bersedia melakukan pekerjaan untuk rezim kolonial Belanda: menjadi pegawai polisi, guru, atau juru rawat. Dengan memilih ini, yang bersangkutan memperoleh upah 40 sen sehari plus tunjangan beras 18 kilogram saban bulan.

(Renungan Indonesia merupakan terjemahan dari Indonesische Overpeinzingen yang dilakukan HB Jassin dan terbit pertama kali pada 1947. Buku itu adalah antologi catatan harian Sjahrir selama melakoni pengasingan di Digul dan Banda Neira.)

Kaum naturalis adalah mereka yang menolak bekerja untuk Belanda. Mereka hanya memperoleh makanan dengan natura—itu sebabnya mereka disebut naturalis. Yang disediakan: 18 kilogram beras, 2,2 kilogram ikan asin dan ikan kering, o,6 kilogram kacang hijau, 0,48 kilogram garam, 0,18 kilogram teh, 0,36 liter minyak kelapa, 0,6 kilogram gula merah. Tak dipasok daging, sayuran, atau pakaian.

Dari tujuh teman separtai Sjahrir, hanya seorang yang mau bekerja untuk pemerintah. Buat Sjahrir, ini bukan sesuatu yang dilematis, pilihan mudah belaka. Upah 40 sen itu terlampau kecil. Padahal, pada jurnal bertanggal 7 Maret 1935, “Semua orang pekerdja harian itu—sesudah bekerja dari pagi djam tujuh sampai siang djam duabelas—ja’ni bagian hari yang paling sejuk—tidak berdaja lagi buat pekerdjaan pikiran yang lain,” tulisnya.

Bayangkan, ketika siang datang, temperatur rata-rata mencapai 38 derajat celcius. Berdiam di pondok juga tak menolong, karena bak berada di dalam kotak besi. Akan halnya malam hari, mereka harus cepat-cepat masuk kelambu agar tak menjadi mangsa empuk gerombolan nyamuk malaria. Sebagai intelektual, apa yang lebih menyiksa Sjahrir ketimbang tak kuasa melakukan “pekerdjaan pikiran” seperti membaca atau menulis?!

Sjahrir membandingkan kehidupan penjara di Cipinang dan Digul. Di Cipinang, ia tak harus memikirkan listrik untuk penerangan. Soal makanan, meski tak terlampau enak, tapi lumayan bergizi dan membuat badannya jadi berisi.

Di Digul, Sjahrir mesti membangun pondok sendiri. Pasti, sebelumnya ia harus menebang kayu sendiri. Untuk itu, ia harus berjalan jauh, menembus hutan. Untungnya, atap dan besi disediakan. Tapi, tak ada listrik untuk penerangan. Lalu, lantaran tak memperoleh ransum, ia mesti menanam sayuran dan mencari ikan di sungai.

Toh, sebagai orang yang diasingkan, Sjahrir memilih untuk tak terperosok pada fatalisme. Ia menulis, pada 27 Maret 1935, “Kita boleh, malahan kita harus realistis dan kritis, tapi mengapa kita akan memahitkan kehidupan kita dengan skeptisisme dan cynisme? Mengapa dan buat apa tidak pertjaja kepada dunia dan kepada diri sendiri?”

SJAHRIR MUNCUL DI BURUNG-BURUNG Manyar karya YB Mangunwijaya. Alkisah, sejumlah serdadu NICA menembaki mobilnya sehingga mesti stop dengan terpaksa.

Ia diinterogasi dengan kasar tapi menanggapi dengan sabar. Sjahrir berujar, “Jenderal Christison menunggu saya. Harap jangan mengecewakan beliau.” Para kroco bule itu meradang. Salah seorang di antaranya mendaratkan gagang pistol di wajah perdana menteri pertama RI itu.

Adegan tersebut menjadi jembatan menuju penonjolan karakter Sjahrir yang meluncur dari mulut Mayor Verbruggen, perwira NICA.

Ini kutipan dari Verbruggen, “Orang ini (Sjahrir, YA) musuh paling berbahaya bagi hidup-mati Hindia Belanda. Sebab dengan senyumnya, dengan kehalusan budinya, ia memikat. Seorang Soekarno, ia boleh-boleh saja didewa-dewakan oleh massa bangsa kuli tolol itu, tetapi ia tidak berbicara apa-apa untuk orang-orang gede dalam meja penguasaan dunia yang sekarang sedang menata dunia…Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik ini hancur.”

Dengan sedikit lebih “dingin,” semangat kutipan itu telah hadir pada karya Romo Mangun sebelumnya, pada esai berjudul Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Sila simak, “Bahaya yang terbesar sebenarnya sudah bersarang di dalam bangsa Indonesia sendiri…sementara Sukarno memobilisasi gelora semangat massa agar berapi-api merupakan himpunan dan pemusatan tenaga rakyat melawan Belanda, Sjahrir dan kabinetnya merasa wajib mengatur tenaga raksasa itu ke dalam pengerahan yang benar. Agar jangan sampai energi-energi yang membubung itu berubah menjadi demon-demon yang akhirnya hanya menelan anak-anaknya sendiri…”

5 MARET 2009. JIKA MASIH HIDUP, Sjahrir genap 100 tahun. Seabad. Beragam tafsir atas perannya sepanjang hayat. Bila menilik catatan bertanggal 16 Desember 1934, mungkin ia tak peduli. Baca, “…tapi betapa banjak tenaga jang kita pakai untuk membikin supaja diri kita jang ketjil ini di dalam mata orang lain dan di dalam mata kita sendiri seolah-olah sangat penting dan indah…Mengapa kita tak tahan kalau orang lain mempunjai pikiran yang kurang baik terhadap kita?”

Catatan: beberapa paragraf di atas pernah muncul di blogyusariyanto.wordpress.com, hampir setahun silam.

One thought on “sjahrir, seabad”

  1. Dan, waktu saya lulus SMU saya masih berpikir kalau beliau dibodohi pada LINGGARJATI, dan pengkhianat setelah pemberontakan Amir Sjarifoedin dkk.

    Ha ha, dasar pelajaran sejarah sekolah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *