surat untuk munir

Cak Munir,

Tiba juga 2009. Ya, telah lima tahun berlalu. Tapi, perjalanan kasus pembunuhan Anda terus dibikin buntu, berhenti di sebuah mata rantai bernama Pollycarpus Budihari Priyanto. Padahal, akal sehat siapa yang bisa diyakinkan bahwa Pollycarpus memang yang mengatur kejahatan itu? Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah bilang, penyingkapan kejahatan itu adalah test of our history.

Tentu, pasti ada juga orang yang mensyukuri situasi ini. Mereka pikir, kematian sampeyan adalah yang terbaik buat Indonesia. Mereka yakin, Anda adalah pengkhianat bangsa. Ya, saya jadi teringat cerita pendek Seno Gumira Ajidarma berjudul Keroncong Pembunuhan.

Seorang pembunuh bayaran disewa. Tumben, sang eksekutor merasa terganggu saat hendak melaksanakan tugas, terutama lantaran alasan si penyewa: calon korban adalah pengkhianat bangsa. “… ia menjelek-jelekkan nama bangsa dan negara kita di luar negeri,” kata sang penyewa.

“Kau tak keliru? Benarkah ia seorang pengkhianat?

“Tidak usah tanya-tanya, tembak sekarang.”

Cerita tersebut dipublikasikan pada 1985, saat Orde Baru bertengger di puncak kejayaan, sembilan belas tahun sebelum Anda meregang nyawa akibat racun arsenik itu.

Ya, pasti ada juga orang-orang berpikiran cupet yang menganggap Anda pantas dikorbankan demi nama harum bangsa. Right or wrong is my country. Tapi, pasti ada lebih banyak orang yang mengamini Albert Camus. Pengarang Prancis itu menulis dalam Letter to a Jerman Friend, “Ada hal-hal yang tak bisa dikorbankan…Aku tak ingin sembarang kebesaran, apalagi kebesaran yang lahir dari darah dan kepalsuan. Aku ingin negeriku besar dengan tetap memiliki keadilan.”

Cak Munir,

Pada 7 September 2004, hari kematian Anda, saya sedang meliput acara pertemuan Yudhoyono dengan para pendukungnya di sebuah hotel bintang lima di Jakarta Selatan. Saat itu, ia masih harus menjalani pemilihan presiden putaran kedua.

Ketika Yudhoyono menyampaikan sambutan, Andi Mallarangeng menghampiri sang bos. Yudhoyono turun sejenak dari mimbar. Ketika kembali, dengan suara agak tercekat, ia berkata, “Saudara kita, Munir, meninggal dunia di Bandara Schipol.” Semua hadirin terdiam.

Pada 31 Desember 2008, menjelang siang, terdengar kabar yang memantik rasa sesak di dada. Pada hari yang sama, Rocky Gerung menulis esai di Kompas di bawah judul Munir dan Demokrasi. Ia menutup tulisan dengan kalimat ini: “Kini kita menunggu majelis hakim mengucapkan sebuah putusan yang melegakan kemanusiaan dan menciptakan peradaban politik baru.” Ternyata, harapan dosen filsafat Universitas Indonesia itu masih jauh panggang dari api.

Malam harinya, menjelang pergantian tahun, saya menatap ke atas, ke langit yang kelam. Saya teringat sampeyan, Cak. Telah lima tahun berlalu dan kasus pembunuhan Anda terus dibikin gelap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *