Saya bukan pembaca buku yang baik. Ada banyak buku yang tak kelar saya baca. Kemudian mereka teronggok di rak atau tempat lain. Andai boleh menyodorkan alasan: rutinitas menggerus energi dan kala membaca. Klise…
Iya, saya rada gampang “terprovokasi” urusan membeli buku. Jika ada buku yang sedang ramai dipergunjingkan, saya bakal ikut memburu. Ini sejak dulu, saat masih sekolah di Bandung. Terus berlanjut sampai sekarang.
Membeli buku, membaca buku, lalu menulis buku. Buku pertama saya terbit pada 2012. Judulnya Jurnalis Berkisah. Entah berapa persisnya yang terjual. Tapi kayaknya tak sampai 1.000 eksemplar. Jika saya teliti menyimpan surat pemberitahuan royalti, akurasi jumlah bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Sebelum dan sesudahnya, beberapa kali saya terlibat produksi buku. Sebagai editor, inisiator, atau co-author. Terakhir ikut membantu penulisan buku 20 tahun Liputan 6 SCTV. Saya merasakan keasyikan yang paripurna. Saya menikmati detik-detiknya; meski membiarkan durasi tidur malam terkurangi, membuat istri cemas kalau-kalau setelahnya saya disergap flu.
Lalu, kabar-kabar itu berhamburan datang: kemunculan (kembali) para penerbit kecil. Mereka menerbitkan buku-buku bertema unik, segar, meski kurang diminati pasar; dengan (seringkali) mengabaikan jalur distribusi konvensional, melalui media sosial atau membangun komunitas.
Selama beberapa bulan saya mencermati. Lantas, tiba di satu titik: lha, saya agaknya juga bisa mengerjakan. Dan, yang pertama dan terutama, saya memang ingin. Masalah terbesar paling pembagian waktu dengan urusan kantor.
Saya bilang ke istri dan dia memberi lampu hijau. Oke, tinggalkan dermaga dan kembangkan layar. Pelan-pelan. Tapi perahu kecil ini belum punya nama. Ah, sambil jalan saja, kata saya dalam hati.
Eureka! Hanya dalam beberapa hari, saya menemukan bakal materi buku pertama. Yaitu, tulisan-tulisan seorang teman yang berserakan di media sosial. Waktu bergerak, teman ini beranjak ragu. “Nanti saja deh,” ujar dia. Beberapa kali dia menyampaikan, dengan segugus alasan. Maka, saya pun putuskan: memang belum jodoh.
Lalu, saya “menemukan” Hawe Setiawan, senior di kampus. Sejak belasan tahun lalu, dia menekuni kerja kebudayaan, khususnya Sunda, secara intens. Orang-orang lalu menobatkannya sebagai budayawan.
Hawe menonjol sejak mahasiswa: pintar tersebab doyan baca buku. Rumah dia di Ledeng, Bandung Utara nan sejuk, sering diinapi teman-teman: diskusi lalu…main kartu truf. Saat pertama kali main ke sana, pada 1990-an, saya tercengang melihat koleksi bukunya. Juga tersihir saat dia memainkan Looking Through the Eyes of Love-nya Melissa Manchester dengan biola di tengah malam yang sunyi.
Hawe rutin menulis kolom di koran. Tapi, saya mengincar karya-karya dia yang lebih “serius”: tulisan untuk diskusi, seminar, atau jurnal ilmiah. Semula mau merangkul semua. Belakangan, Atep Kurnia, rekan di Bandung dan kami minta menjadi editor, menunjukkan haluan yang lebih oke: hanya himpun karya-karya terkait budaya Sunda.
Dalam perjalanan, saya “berjumpa” single berjudul Lelatunipun, karya salah seorang personel duo Banda Neira, Rara Sekar. Saya terpesona dengan kata itu. Nyaris memilihnya sebagai nama penerbit. Cuma, dengan sejumlah pertimbangan, saya mengurungkan. Tidak sepenuhnya meninggalkan. Lelatunipun bermakna “api kecil”. Demikianlah nama publishing house saya berhulu. Terima kasih, Rara…
Pekan ini, Tanah dan Air Sunda — kumpulan esai Hawe itu — naik cetak. Insya Allah sudah bisa dibaca pada pekan kedua Januari 2017.
Ya, saya bukan pembaca yang baik. Tapi, Api Kecil ingin menghadirkan buku-buku yang keren. Seperti yang sudah dan terus dilakoni para pendahulu di Jogja, Jakarta, Bandung. Mungkin tidak sebulan sekali. Satu buku dalam dua-tiga bulan, cukuplah. Semoga.