mereka yang nyaleg

Saya mengenalnya di kampus. Kami perantau di Bandung. Ia datang dari sebuah kota yang belum pernah saya kunjungi.

Di masa Ospek, saya sudah dibuat kagum karena omongannya yang bernas. “Siapa anak ini? Kok kayaknya pintar,” saya membatin.

Kami segera akrab ketika sama-sama menggarap pers kampus yang terbitnya “sangat-sangat” rutin.

Bersama beberapa teman lain, kami kerap menghabiskan malam-malam bersama: diskusi “yang berat-berat”, rapat majalah, main kartu truf, atau ngelencer ke Simpang Dago untuk menikmati kue balok + kopi.

Saya sering main ke kamar kosnya. Apalagi jika kehabisan kretek. Ketika teman-teman beralih ke rokok yang “how low can you go” itu, kami bersikeras pada “pria punya selera.”

Tak selalu sejalan-sependirian. Kami kerap berdebat panjang. Juga sengit. Termasuk dalam soal aktivisme mahasiswa. Saya punya satu-dua kritik terhadap para demonstran seperti dirinya.

Saya pernah ikut dalam “acara rekrutmen” aktivis. Kami, 8-10 orang, dikumpulkan di sebuah rumah. Sejumlah senior hadir–dari ITB, Unpad, dan kampus lain.

Hanya betah sehari. Teknik “brain washing” yang diterapkan para senior bikin saya jengah. Apa-apaan ini? Kayak saya tak bisa mikir sendiri. Paling juga bacaan mereka gak beda dengan saya. Ya, mengutip Sheila on 7, ini kesombongan di masa muda yang indah. Boleh jadi bukan urusan benar-salah, cuma ketidakcocokan subjektif.

Teman itu berlanjut, jadi demonstran. Bahkan, kelak menjadi salah satu pentolan di seputar Bandung. Pada gilirannya, ia ganti menjadi pengkader para aktivis muda.

Toh, secara asasi, kami sehaluan. Dengan cara masing-masing, kami coba tularkan pendirian: Orde Baru itu keliru. Saya lebih memilih untuk menuliskannya.

Kami terpisah saat masa perkuliahan selesai. Saya balik ke Jakarta, ia sempat bertahan di Bandung sebelum mudik ke kampung halaman dan menjadi pengusaha.

Sabtu kemarin, di grup Facebook, iseng-iseng saya tanya ke sang teman. “Nyaleg gak di 2014?”

“Iya, nyaleg, Yus…” katanya. Dari partainya Jokowi. Tak ada lanjutan diskusi serius soal ini. Kami kembali ke semesta canda seperti biasa.

Oh, saya ingat, sejak kuliah pun ia punya gelagat untuk menjadi kader partai tersebut. Beberapa teman akrabnya adalah aktivis GMNI.

Seorang senior di “acara rekrutmen” tempo hari juga jadi caleg. Dulu ia bicara panjang-lebar soal keburukan militerisme Orde Baru. Pada 2014 ini, ia maju dari partai bentukan seorang pensiunan jenderal yang dipecat gara-gara penculikan aktivis.

Senior ini tak sendiri. Dari daftar di KPU, terlihat juga beberapa eks aktivis mahasiswa Bandung di partai yang sama.

Sambil menyiapkan secangkir kopi, saya teringat The Beatles:
All my life, though some have changed
Some forever not for better
Some have gone and some remain

2 thoughts on “mereka yang nyaleg”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *