muda, beda, dan mengajar di desa

Pesimisme mestinya sesuai dosis. Anak-anak muda Indonesia bukan hanya mereka yang mem-bully adik kelas di sekolah mahal di Pondok Indah; bukan hanya mereka yang suka adu balap di jalanan samping kantor saya dengan mobil yang, berani taruhan, bukan dibeli dari hasil peluh sendiri. Sila simak dua paragraf ini:

“Para Pengajar Muda adalah pejuang-pejuang yang tangguh. Karena tangguhnya, dulu saat pelatihan di Modern Training Camp, kami saling berebut untuk memilih tempat yang paling ekstrem, yang tidak ada listrik, tidak ada sinyal telepon, jalanan jelek, bangunan sekolah yang kurang layak, dan jauh dari ingar-bingar peradaban.”

“Semakin jauh tempat tersebut, justru semakin banyak peminatnya. begitu situasi yang terjadi ketika kami semua dihadapkan untuk memilih daerah penugasan saat di tempat pelatihan. Sepertinya seru apabila kami mampu melewati tantangan tersebut setahun. Tentu banyak pembelajaran kehidupan dari pengalaman tinggal bersama masyarakat di penjuru tanah air.”

Faisal Effendi, sarjana dari FISIP UI, menuliskannya di Indonesia Mengajar: Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Ia adalah salah seorang dari 51 Pengajar Muda gelombang pertama, November 2010-November 2011, yang mengabdi sebagai guru SD di berbagai tempat di pelosok Indonesia. Faisal ditempatkan di Tulang Bawang Barat, Lampung.

(Saya mengincar antologi esai itu sejak beberapa bulan silam. Eh, baru kesampaian Kamis lalu. Tersisa satu, saya buru-buru membawanya ke kasir.)

Para Pengajar Muda itu memilih jauh dari kenyamanan—meski sementara. Justru menyongsong aneka risiko. Lihat pengalaman Yuriza Primantara, yang juga ditempatkan di Tulang Bawang Barat . Sebagai guru, ia sesekali menjadi wasit sepak bola saat pelajaran olah raga. Dalam suatu pertandingan, ketika terjadi pelanggaran, peluit Yuriza menjerit. Tak disangka, seorang anak memakinya dengan kata-kata yang tidak pantas. Sang anak tak terima dengan keputusan lulusan ITB itu.

Pada Desember 2010, dalam sebuah forum, penggagas program Indonesia Mengajar, Anies Baswedan, mengatakan, “Mereka di-training selama tujuh minggu. Materinya dua, kepemimpinan dan kepengajaran. Mengapa kepemimpinan penting? Jangan dikira keberadaan di desa selama satu tahun itu akan disambut seluruhnya dengan sukacita. No, setahun itu akan menghadapi problem, menghadapi tantangan. Saya bilang ke mereka: satu tahun ini adalah leadership training yang luar biasa priceless.

Kepengajaran? Bacalah kisah Adhi Nugroho di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Para orangtua murid menyarankannya untuk juga menggunakan senjata andalan para guru saat menghukum: rotan. Dengan halus, sarjana dari FISIP UI ini menolak menggunakan seraya mengatakan, “…cara saya lebih keras dari rotan yang biasa bapak dan ibu orangtua murid temukan di sekitar rumah.” Ia pun menggelar konsep alternatif sehingga rust en orde bisa tegak di kelas .

Mereka adalah anak-anak muda terpilih. Punya prestasi akademis yang bagus, kenyang pengalaman berorganisasi, tangguh, serta memiliki jiwa kepemimpinan. Dengan spesifikasi seperti ini, kiranya mereka layak menjadi inspirasi bagi anak-anak desa.

Tak mengherankan pula  jika kemudian mereka tak sekadar “sesuai argo.” Erwin Puspaningtyas Irjayanti punya seorang murid, bernama Rizki, yang sudah empat  bulan tak pernah hadir di sekolah. Tanpa alasan. Desas-desus menyebutkan, anak itu malas bangun pagi.

Erwin pun berinisiatif memberikan pelajaran tambahan dengan mendatangi Tamaluppu, dua kali dalam sepekan. Tamaluppu adalah sebuah desa yang lebih terpencil daripada Passau, Majene, Sulawesi Barat—daerah penempatan sarjana IPB ini. Ada delapan murid dari daerah ini, termasuk Rizki. O iya, jangan silap, Erwin ini perempuan!

Untuk ke Tamaluppu, Erwin harus berjalan sekitar satu jam. Jika hujan, perjalanan mustahil dilakukan karena jalan setapak yang ada segera berubah menjadi sungai dan air terjun kecil. Pun mesti selalu waspada dengan ancaman babi hutan. Menghadapi bahaya itu, para siswa dari Tamaluppu selalu berbekal bambu runcing saat pergi dan pulang sekolah.

Membaca kisah Erwin dan teman-temannya, barangkali memang pesimisme tak usah terlalu erat didekap…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *