menulis buku dan pak kayam

Tiba-tiba ada perasaan ganjil menyelinap dalam dua-tiga hari belakangan. Saya merasa rileks. Tak muncul beban pikiran yang menghantui. Ooohh…ternyata semua naskah buku sudah saya kirim. Tinggal menunggu komentar atau koreksi editor.

Saya mengirimnya dengan sistem cicilan, sejak September 2011. Saya sempat bertekad: kirim satu bab tiap dua pekan. Saat itu, wawancara dan riset sudah 80%. Penulisan bisa dimulai. Pada kenyataannya, itu berhenti di bibir. Bahkan, saya pernah memerlukan enam pekan untuk menyelesaikan satu bab. Sampai merasa tak enak hati dengan pihak penerbit yang akhirnya menagih. Ingkar janji menjadi rada biasa meski tak pernah meniatkannya.

Menulis buku, sambil tetap memeluk rutinitas kerja, sungguh berat. Yeah, saya mengalaminya hampir setahun ini. Jika tak ada tenggat yang ketat, lain persoalan.

Saban membeli buku, saya tak melewatkan bagian “Pengantar” atau “Ucapan Terima Kasih.” Ingin tahu siapa saja yang membantu penulis. Sering saya lihat, salah satu penerima ucapan terima kasih adalah lembaga tempat penulis bekerja. Itu terjadi biasanya lantaran lembaga bersangkutan memberi keleluasaan bagi penulis untuk menuntaskan buku.

Saya ambil contoh Umar Kayam di Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1984). Ini contoh setengah acak: kebetulan langsung teringat dan bukunya gampang dijangkau dari tempat saya mengetik catatan ini. Di sana, ia menulis, “Rekan-rekan saya di Kantor Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada dan di Fakultas Sastra di universitas yang sama, telah sangat bermurah dan bersabar hati membiarkan saya menulis dan menyelesaikan buku ini, meninggalkan pekerjaan rutin dan tugas-tugas saya sehingga menjadi agak terbengkalai. Saya sangat berterima kasih kepada mereka semua.”

Bersama fotografer Harri Peccionotti, Pak Kayam melakukan perjalanan selama tiga bulan, mengunjungi sejumlah tempat di Indonesia. Mereka mengamati dan mencatat denyut transisi dalam ranah kesenian tradisional. Seluruh ongkos ditanggung Mobil Oil.

Nah, akan lebih asyik jika ada pihak yang menyediakan tempat menyepi, menjauhi hiruk-pikuk yang potensial bikin penulisan macet. Itu yang terjadi saat Pak Kayam menyelesaikan Para Priyayi (1992). UGM memberi izin cuti selama setahun dan Yale University bertindak “…sebagai tuan rumah yang baik dan ramah selama penulisan novel ini…”

Enak tenan beliau. Saya tak punya situasi itu. Tak sendiri karena sejumlah teman jurnalis yang juga ingin menulis buku dibekap masalah serupa. Pun para akademisi yang tak kunjung memiliki buku, bukan sekadar kumpulan tulisan. Repot banget ama rutinitas, kata mereka.

Yo wis, saya cuma seujung kuku Pak Kayam. Andai menunggu semua “kemewahan” itu datang, mengutip George Harrison, niscaya tergolong saya sebagai kaum “doing nothing but aging.”

One thought on “menulis buku dan pak kayam”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *