rumah

Rumah kami sedang direnovasi. Pada mulanya, hanya mengganti kerangka atap ruang tengah yang buyar disergap rayap. Padahal, baru delapan tahun. Tak sengaja diketahui saat Abiem, sang tukang listrik, naik untuk memperbaiki jaringan. Kini, itu semua diganti dengan baja ringan. “Ini bisa tahan 40 tahun, Pak,” kata Sijap, sang tukang bangunan.

Lalu, muncul pikiran untuk membongkar kamar di atas ruang tamu, yang selama ini ditempati asisten di rumah. Hanya terbuat dari kayu, tanpa elemen pasir + semen, kondisinya mirip: dimangsa rayap. Tanah di belakang menjadi lokasi pengganti. Tak dihabiskan. Masih ada beberapa meter persegi untuk sirkulasi udara.

Ruang tamu kini terkesan luas. Cahaya matahari jadi jauh lebih leluasa menerobos. “Seperti rumah-rumah di Pondok Indah,” kata Raya, istri saya. Ia tersenyum, sumringah. Lantaran terbilang jarang tamu yang datang, tempat itu akan multifungsi: ruang bermain Havel dan Kafka dengan anak-anak tetangga, tempat membaca, serta hal-hal lain.

Tentu, selalu hadir keinginan untuk menuju yang ideal. Juga dalam urusan rumah.

Imaji pertama soal rumah ideal muncul di 1990-an. Saya baca majalah Jakarta-Jakarta yang memuat wawancara panjang dengan sosiolog Arief Budiman. Di salah satu bagian juga diperbincangkan soal rumah Arief di Salatiga. Rumah itu karya Romo Mangun, rohaniawan yang arsitek itu: menyatu dengan alam, berkonsep panggung, dan banyak menggunakan kayu. Jika ingin melihatnya, sila klik blog ini.

Tak banyak lagi yang lekat di ingatan. Salah satunya, Arief bilang, ia mendapat sokongan dana dari Jakob Oetama, bos Kelompok Kompas-Gramedia, untuk membangunnya. “Saya cicil membayarnya. Terkadang dengan menulis di Kompas,” kira-kira begitu kakak Soe Hok Gie itu berujar.

Belakangan, saya juga terpukau oleh rumah Wimar Witoelar, dengan halaman luas dan jendela-jendelanya yang besar, di Cilandak. Tapi, tak seperti istana. “Ah, orang yang bikin rumah seperti istana itu orang minder, kurang bahagia, barangkali OKB (Orang Kaya Baru)…” kata Wimar di biografinya yang ditulis Fira Basuki. Klik di sini jika ingin tengok rumah itu.

Toh, rumah bukan melulu soal fisik. Maka, lahir kata “home” di belahan jagat sana: wadah untuk keintiman, kehangatan, saling menghargai. Jika terjadi sesuatu pada “home,” renovasinya jauh lebih bikin pening kepala. Ada yang berdesir di dada saat mengingatnya.

4 thoughts on “rumah”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *