bono, klein, bonoisasi

Havel dan Kafka,

Paul David Hewson alias Bono tak henti membetot perhatian. Sejak pertengahan Januari 2009, kolom-kolom vokalis U2 ini bisa dinikmati di The New York Times. Tentu, ini bukan kali pertama Bono menulis. Dalam beberapa edisi Rolling Stone, ia juga diminta menyumbang esai. Bahkan, ia menyusun kata pengantar untuk buku Jeffrey D. Sach, The End of Poverty (2005).

Pada kolom pertamanya di Times, agak di luar dugaan, ia tak berkisah soal konflik Palestina-Israel, krisis ekonomi global, atau kehadiran Barack Obama di pentas politik Amerika. Alih-alih demikian, ia menulis tentang Frank Sinatra: perjumpaan dan kekagumannya pada penyanyi legendaris tersebut.

Tanpa menulis pun, sejatinya sihir vokalis U2 itu telah demikian kuat. Pada November lalu, Rolling Stone mendapuknya sebagai salah satu dari The 100 Greatest Singers All of Time. Dan, ini bukan penghargaan perdana. Tiga tahun lalu, Time memilihnya sebagai Person of The Years 2005 bersama pasangan Bill dan Melinda Gates. Bono dianggap berbuat banyak untuk kemanusiaan, di sela-sela aktivitas keseniannya. Pria kelahiran 10 Mei 1960 ini merupakan salah seorang pendiri DATA (Debt, AIDS, Trade, Africa), organisasi yang berjuang untuk mengempang kemiskinan dan penyebaran virus HIV di negara-negara berkembang, khususnya Afrika.

Tepuk tangan membahana untuk Bono. Namun, pada kenyataannya, tak semua pihak bergembira menyaksikan sepak terjangnya. Salah satu yang gundah adalah aktivis anti-globalisasi, Naomi Klein. Perempuan inilah yang pada akhir 2007 melansir sebuah istilah: Bono-isation atau Bonoisasi.

Singkat madah begini. Klein percaya, aksi sosial kaum selebritis yang dipersonifikasi pada diri Bono justru memperkuat dan melegitimasi sistem sosial dan ekonomi yang kini digdaya. Sistem itu dianggap telah baik, hanya mesti diperbaiki di sana-sini. Jangan harap, kata Klein, Bono dan kawan-kawan memimpikan perubahan secara radikal. Pun, “The story of globalization is the story of inequality. What’s been lost in the Bono-ization is ability to change these power structures. There are still the winners and losers, people who are locked in to the power structures and those locked out,” ujar Klein.

Sebagai idola, aktivitas politik Bono pasti memancarkan daya magnet. Konser-konser amalnya disesaki penonton. Cukup banyak kalangan muda yang menjadi ikut peduli dengan isu penyebaran virus HIV atau utang yang menjerat negara-negara miskin. Tapi, kata Klein, kepedulian itu melulu diejawantahkan sebatas menonton konser amal atau menyumbangkan sebagian isi kocek. Atau, mengabadikannya sebagai tulisan di blog. Mereka jauh dari minat untuk turun ke jalan demi membongkar sistem dan struktur penyebab persoalan. Jinak dan terkesan cari aman.

Bono dan Klein lantas dikontraskan. Bono adalah penyanyi kelahiran Dublin, Irlandia, yang telah menjual lebih dari 140 juta kopi album (bersama U2). Jutaan orang menjadi fans beratnya. Berbekal popularitas, ia berjumpa sejumlah pemimpin negara maju untuk membicarakan nasib Afrika.

Di sisi lain, Klein adalah seorang jurnalis Kanada yang menjadi salah satu figur terpenting dalam gerakan anti-globalisasi. Itu terjadi tak lama setelah ia menerbitkan buku pertama, No Logo, pada tahun 2000. Buku yang terjual jutaan kopi itu mendeskripsikan perilaku buruk perusahaan multinasional dalam membentuk budaya konsumtif secara massif. Pada 2007, ia menerbitkan The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. Dari judulnya, kita segera tahu alamat yang hendak dikejar wanita kelahiran 8 Mei 1970 tersebut.

KEPADA TIMESONLINE.CO.UK, Direktur Eksekutif DATA Jamie Drummond, menyatakan bahwa Klein keliru menangkap pesan utama kelompoknya. Ia menegaskan, perubahan hanya bisa diwujudkan jika ada kombinasi antara mobilisasi massa di luar dan manuver di dalam lingkaran pembuat kebijakan. “It’s a gross simplification to think you can achieve anything without one or the other. It’s not cool to meet President Bush. It would be a much better look for Bono to be wearing a balaclava and lobbing Molotov cocktails. But we want to win, rather than be on the margins moaning about the system,” ujar Drummond.

Bagaimana sikap Bono sendiri? Aku belum memergokinya secara terang-benderang. Aku cuma bisa meraba dari wawancara Rolling Stone dengan Bono pada 2005, dua tahun sebelum Klein merilis terma Bonoisasi.

(Ini sebuah wawancara panjang: total waktu yang dihabiskan 10 jam. Sebagai pewawancara, tak mau setengah-setengah, majalah ini mengirim pendirinya: Jann S. Wenner. O, iya, di rumah kita tak ada edisi aslinya. Versi online tersedia, tapi tak utuh. Aku menyimak wawancara itu di Rolling Stone Indonesia, yang aku pungut dari lapak buku bekas di daerah Pondok Pinang, di selatan Betawi.)

Sikap Bono jelas: pragmatis. Pemerintahan George W. Bush berjanji akan menggandakan bantuan untuk rakyat Afrika dalam program Millenium Challenge. Maka, “Saya menjabat tangannya,” ujar Bono.

Wenner mengejar, “Ada rasa sinis, bahwa Anda mungkin telah berjanji dengan iblis.”

Bono menjawab,”Saya tak dapat mengkritik orang yang telah melipatgandakan bantuan untuk Afrika—terutama setelah kami meminta dan mereka setuju. Agar akrab dengan seseorang, kita tak perlu setuju dengannya dalam segala hal. Cukup satu hal, jika itu cukup penting.”

“Mengapa tidak?”

“Itulah komprominya. Saya melepaskannya saat bekerja untuk orang-orang ….180 ribu orang Afrika yang nyawanya diselamatkan uang Amerika…Jika menutup mulut tentang perang Irak adalah harga yang harus dibayar, saya siap membayarnya. Orang lain sudah banyak bicara soal isu itu.”

Bono telah memilih. Aku sendiri bertanya-tanya: Kenapa mesti Bono berjuang berhadapan dengan sistem, dan bukan di dalam sistem? Setahu saya, Bono tak pernah mendaku diri anti-globalisasi atau pemeluk sosialisme. Ia “anak kandung” kapitalisme.

Jika kita membaca lagi kata pengantar The End of Poverty, tak terbentang pembicaraan bernuansa ideologis oleh Bono. Akhir sejarah telah tiba—meminjam ungkapan Francis Fukuyama. Bukan soal kapitalisme atau sosialisme, melainkan pencarian model kapitalisme yang pas. “It’s a time to figure out what works, not what ideological mantras to keep repeating,” tulis Fareed Zakaria di Newsweek, beberapa bulan silam. Mungkin begitu alur pikiran Bono.

Ah, terlalu jauh aku berandai-andai. Kita boleh berharap, dalam kolom-kolom di Times kelak, Bono bakal lebih menjelaskan pendiriannya. Termasuk, menjawab kritik yang dilayangkan Klein.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *