batu itu terus menggelinding

Havel dan Kafka,

Jann S. Wenner adalah Hugh Hefner buat Rolling Stone. Soal ketenaran dan isi kocek, ia agaknya kalah tinimbang kakek yang masih “liar” itu. Namun, jika Hefner mengibarkan bendera Playboy pada usia 27, Wenner baru 21 tahun saat menegakkan tiang Rolling Stone.

Rolling Stone Indonesia edisi Agustus 2007 menurunkan artikel sejarah pendirian majalah ini, etape awal dari pesta 40 tahunnya pada November nanti. Di Amerika, bau perhelatan itu telah terendus sejak awal warsa.

Setelah empat dekade, Rolling Stone terus menggelinding. Wenner mencomot nama itu dari peribahasa berikut: a rolling stone gathers no moss. Bob Dylan juga memakai untuk salah satu lagunya. Mick Jagger dan kawan-kawan bahkan menggunakan buat nama grup mereka.

wenner.jpg

Wenner membangun bersama kritikus musik Ralph J. Gleason di San Francisco dengan modal $7.500 yang dipinjam dari keluarga calon istrinya, Jane Schindelheim. Saat itu, ia baru saja hengkang tanpa lulus dari University of California, Berkeley, salah satu basis gerakan mahasiswa kiri di Amerika.

Ia tak segan turun lapangan—terutama jika harus menemui para legenda. Pada akhir 2005, misalnya, ia mewawancarai Bono, vokalis U2 dan salah seorang juru bicara kaum miskin global. Total mereka berbincang selama 10 jam. Hasilnya, artikel tanya-jawab belasan halaman perihal masa kecil Bono, peran Injil, dinamika internal U2, wabah AIDS, kaum evangelis, musisi berpengaruh, kesadaran politik, rezim George W. Bush.

Aku mulai ngeh soal Wenner ketika membaca terjemahan Fast Food Nation, dua tahun silam. Semula, buku Eric Schlosser itu merupakan artikel dua babak di Rolling Stone—belakangan, karya ini juga menjadi inspirasi sebuah film yang banyak dibicarakan.

Pada bab Terima Kasih, Schlosser menaruh Wenner di posisi pertama. Tertulis di sana,”…[Wenner] tak pernah meminta saya melunakkan kritik-kritik terhadap perusahaan-perusahaan besar yang gemar menuntut…Di zaman konsentrasi media yang penuh sifat penakut ini, ia sesosok orang kuno yang ganjil: seorang redaktur dan penerbit independen dan lantang yang sungguh-sungguh mendukung jurnalisme investigasi.”

Rolling Stone bukan sekadar musik. Pada edisi perdana, Wenner menulis, “…is not just about the music, but about the things and attitudes that music embraces.” Secara konkret, selain laporan-laporan investigatif dan karya-karya naratif, halaman-halamannya juga dihiasi komentar politik. Ia adalah suara perlawanan terhadap kemapanan.

Sampul pun merupakan kisah tersendiri. Pada terbitan ke-1000 yang jatuh Mei tahun lalu, Rolling Stone mendedahkan sejumlah edisi dengan foto sampul “terbaik” atau “terheboh.” Salah satunya adalah foto John Lennon, telanjang tampak samping, ketika memeluk Yoko Ono—yang berbusana lengkap dan tampak depan. Foto itu diambil hanya beberapa jam sebelum Mark David Chapman memungkasi hidup Lennon. Karya Annie Leibovitz tersebut lalu dimuat di sampul edisi Januari 1981.

Pada perayaan 40 tahun Rolling Stone, Wenner telah 61 tahun. Gelombang pasang dan surut telah menerpanya. Kini, tiras majalah itu di Amerika mencapai 1,3 juta. Kisruh di Irak banyak mendongkrak. Haluan politik antiperangnya klop dengan kaum pasifis. Sebelum Irak diserbu, tirasnya cuma 300 ribu—sempoyongan, seperti media cetak lain yang digencet televisi dan Internet.

Ancaman juga merangsek dari majalah lain. Maka, pada 2002, Wenner menggandeng editor FHM Ed Needham untuk posisi managing editor. Konon, ini dilakukan guna menandingi media-media semacam FHM dan Maxim. Pembaca belia pun lebih diseriusi dengan menawarkan liputan-liputan “ngepop.”

Kritik meluncur. Rolling Stone dianggap terlampau kompromistis terhadap pasar. The Guardian menulis, “The U.S. music industry bible is about to be re-written.”

2007_04_arts_lennonrs.jpg

Wenner bukan lagi anak muda yang meraung di tengah kekusutan zaman sembari mengisap mariyuana. Sejak 1977, ia memindahkan pusat kegiatan ke New York. Pelan-pelan, membikin kerajaan media. Tapi, ia adalah David jika dibandingkan dengan Rupert Murdoch. Wenner juga memiliki Us (majalah yang mengupas polah para selebritas) dan Men’s Journal (majalah tentang fitness)

Lepas dari perkembangan itu, Wenner telah membangun menara. Menjulang. Menyihir amat banyak mata. Ia berdiri di puncaknya dengan merapal mantera-mantera kaum liberal. Ia berujar pada April lalu, “We have very liberal politics, in terms of social justice and sexual freedom and the idea that peace is better than war. Peace and love. What’s wrong with that?

Dan, Wenner bukan hanya cakap bicara. Pada 1995, dalam usia 49, ia meninggalkan Jane dan tiga anaknya demi Matt Nye, pria yang berprofesi sebagai perancang busana. Dibenturkan pada kasus ini, Hugh Hefner tiba-tiba terlihat seperti “anak baik-baik” belaka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *