the world is flat

Havel,

Perjalanan di Ramadan lalu membawaku pula pada Thomas L. Friedman. Saat transit di Kuala Lumpur, The World is Flat, karya pria bermisai tebal itu, menyorongkan diri dengan harga hemat. Dirilis April 2005, buku ini direvisi dan diperluas pada Januari 2006. Sebab, “I could and because I must,” tulis Friedman, peraih tiga kali penghargaan Pulitzer.

Pria keturunan Yahudi ini bertutur dengan memikat, menyajikan ilustrasi dan anekdot yang sarat. Untuk penulisannya, ia melancong ke India, China, dan sejumlah negara lain. Kolomnis The New York Times ini berbincang dengan banyak orang. Membacanya laksana mengikuti tur ke sentra-sentra penghela peradaban.

Pada kitab yang telah terjual sekitar dua juta kopi ini, Friedman membandingkan diri dengan Christopher Columbus. Selesai mencari rute tersingkat menuju India tapi justru menemukan benua Amerika, pada 1492, Columbus memberi laporan pada penguasa Spanyol: dunia ini bundar. Sepulang dari Bangalore, India, Friedman berbisik pada istrinya, “Sayang, aku pikir, dunia ini datar.”

worldisflatcov.jpg

(Ada catatan khusus. Aku tahu dari Wikipedia, beberapa pihak menganggap Friedman tak akurat. The Economist, misalnya, menulis, “Mr Friedman claims that this proved Columbus’s thesis that the world is round. It did nothing of the kind. Proof that the world is round came only in 1522, when the sole surviving ship from Ferdinand Magellan’s little fleet returned to Spain.” Pada 1492, orang masih percaya bahwa bumi ini datar.)

Intinya, buku ini ngomong bahwa, pada abad 21, wajah globalisasi berubah, terutama berkat teknologi yang berlari kencang. Kemajuan itu membuat “dunia menjadi datar,” membikin individu dan perusahaan di negara berkembang lebih berdaya untuk kompetisi. Persisnya, Friedman menyebut 10 pemicu. Di antaranya, keruntuhan Tembok Berlin, penggunaan open source, penawaran saham perdana Netscape, dan maraknya alih kerja.

Kita periksa sejenak soal alih kerja. Di sini, efisiensi biaya menjadi alasan utama. Ongkos insinyur komputer di Bangalore, misalnya, jauh lebih murah ketimbang di Silicon Valley. Lalu, kenapa tak meminta mereka saja yang merancang peranti lunak? Dengan e-mail dan teknologi komunikasi canggih lain, jarak bukan lagi kendala.

Friedman bercerita, dulu orang tuanya kerap berseru, “Finish your dinner. People in China and India are starving.” Kini, pada anak perempuannya, ia berujar, “Finish your homework. People in India and China are starving for your job.” Lelaki kelahiran 1953 itu tak membual. BusinessWeek mencatat, pada 2005, 15 ribu karyawan IBM di negeri Paman Sam diberhentikan. Sebagian besar lantaran pekerjaan mereka dipindahkan ke Asia.

(Dalam soal sepak bola, AS juga menjadi “korban” globalisasi. Franklin Foer memerikannya dengan bagus di How Soccer Explains the World: The Unlikely Theory of Globalization yang Juni lalu diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia.)

Jadi, siapa bilang globalisasi hanya merugikan pengusaha tekstil di Majalaya atau petani di Karawang? Di seberang lebuh, tokoh seperti James Petras, Vandana Shiva, atau Noam Chomsky punya argumentasi sendiri. Persabungan pendapat yang tak kunjung usai.

Di tengah hiruk-pikuk perdebatan itu, kita terus “memanfaatkan” dan “dimanfaatkan” globalisasi. Lihat, aku membeli The World is Flat dengan kartu kredit lantaran hanya menyimpan rupee, bukan dolar atau ringgit. Kartu itu leluasa bekerja saat sekat-sekat lenyap, bukan ketika negara-negara dipingit….

One thought on “the world is flat”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *