Blue Bloods memikat saya juga karena alasan berikut: santap malam di keluarga Reagan saban hari Minggu.
Adegan ini muncul di setiap pengujung episode serial TV yang tayang di Negeri Paman Sam sejak 2010 tersebut. Semua anggota keluarga hadir, mengelilingi meja, kecuali ada tugas atau keperluan penting lain.
Mereka bahu-membahu menyiapkan makanan — dari memasak hingga menghidangkan di meja. Tidak ada bedinde seperti rumah tangga kelas menengah atas di Indonesia.
Sambil menikmati hidangan, mereka berbincang tentang hal-hal yang dialami pada pekan bersangkutan. Hangat dan dekat.
Tak ada yang asyik dengan telepon genggam. Tak ada TV menyala di dekat mereka. Atensi sepenuhnya tertuju ke percakapan dan makanan yang disajikan.
“The Germans have an expression, “Liebe geht durch den Magen,” which translates as “the way to the heart goes through the stomach.” Nothing can bring a family together better than a delicious home-cooked meal, prepared with love,” tulis Wendy H Goldberg di huffingtonpost.com. Goldberg ikut menyusun The Blue Bloods Cookbook: 120 Recipes that Will Bring Your Family to The Table.
Demokrasi ditegakkan. Semua diperkenankan mengemukakan isi hati dan kepala. Termasuk anak-anak Danny dan Erin Reagan. Benturan pendapat kerap meruyak.
Lantaran keluarga Reagan diisi mantan polisi, komandan polisi, detektif, polisi patroli, dan jaksa; niscaya tema percakapan umumnya kasus kriminal yang terjadi dan ditangani mereka.
Toh, obrolan sejatinya sering menjangkau ke ranah subtil: soal hukum, keadilan, dan kemanusiaan.
Begitulah. Senin sampai Sabtu, para anggota keluarga Reagan berkegiatan di New York yang sibuk dan tak pernah terlelap. Ya, bersama desing peluru, amis darah, dan aksi para durjana.
Ketika Minggu tiba, kembali ke keluarga. Bertukar pengalaman dan pendirian. Tentu dengan cinta yang senantiasa mekar di dada.
Tak mesti di Big Apple. Tak harus keluarga para penegak hukum. Tak wajib hari Minggu. Bisa keluarga siapa saja, di mana saja, kapan saja…
Merdeka!