gurauan yang menyelamatkan

Sebanyak 22 grup WA ada di telepon genggam. Terlalu banyak. Kelewat bising.

Saya ingin mengurangi 5 atau 6 di antaranya. Susah ternyata lantaran aneka alasan. Misalnya, terkait urusan pekerjaan. Bisa panjang urusan jika hengkang dari sana.

Atau, terkait informasi yang terkandung di dalamnya. Ada grup yang lalu lintas pesannya melulu kenyinyiran pada pihak yang berseberangan secara politik. Jengah juga. Namun keinginan pergi sirna saat mafhum: sering informasi penting atau gosip politik terpampang di sana — relevan dengan pekerjaan.

Ada juga grup yang berisi para orangtua murid plus wali kelas. Anak sulung saya belajar di sekolah negeri. Dengan begitu, penghuni beragam. Tak cuma Islam. Tapi tetap saja ada seorang orangtua yang kerap melempar postingan bernuansa dakwah. Kok kebelet banget memburu pahala?! Tapi susah juga jika pergi dari sana.

Alhamdulillah, saya juga tergabung di sebuah grup yang ajaib. Penghuninya teman-teman kuliah seangkatan dan sejurusan.

Di sana, kami absen bicara soal politik atau akhirat. Tak pernah, misalnya, menyentuh urusan Pilkada DKI Jakarta atau celoteh tak bermutu seseorang yang mengajak menjauhi Pak Quraish Shihab.

Hanya ada canda. Terutama terkait kegagalan ikhtiar asmara di masa muda. Untuk urusan ini, tak ada simpati atau empati. Bully berjaya! Tentu dengan canda sebagai kemasan. Tak ada niat untuk melukai hati.

Gilanya, ada mantan satu gebetan teman kami yang di-invite ke grup itu. Meski kaget pada hari-hari pertama, cewek itu (yang kini telah memiliki dua anak dan menjadi petinggi di sebuah media) juga akhirnya ikut “gila” dan tetap di sana sampai detik ini.

Beberapa hari lalu, ada kegilaan lain yang meletus. Salah seorang admin meng-invite seseorang. Salah seorang kami konon dulu pernah dekat dengan sang anggota baru. Sejak beberapa bulan lalu dia sering dicandai soal perempuan yang kini tinggal di luar Jawa tersebut.

Grup langsung hiruk-pikuk dengan keberadaan anggota baru tersebut. Saya sendiri agak menahan diri, takut perempuan itu tak nyaman dengan “kebrutalan” kami. Bagaimana pun juga dia orang luar.

Sampai beberapa saat kemudian, admin yang men-invite itu menelepon. Inti percakapan membikin hati tenang sekaligus membuat perut saya sakit menahan tawa.

“Itu bukan dia. Itu nomor gua yang lain. Terus gua kasih nama cewek itu,” ujar si teman. Dia hanya membocorkan hal ini kepada tiga teman lain. Hanya sehari perempuan itu hadir. Syukurlah.

Grup itu “menyelamatkan,” mengerek turun dosis ketegangan saat melakoni rutinitas. Meski sesekali khawatir juga kalau-kalau telah melampaui batas.

Di grup WA, politik dan tausyiah kerap menjengkelkan. Bilas saja dengan humor dan canda. Niscaya hidup lebih rileks dan tak gampang naik pitam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *