tanah merah

Sejak kepergian Leo Kristi, saya mendengarkan ulang lagu dan menyimak lagi lirik-liriknya. Termasuk lagu yang mendedahkan pembuangan para tokoh politik di Digul: Tanah Merah In Memoriam.

Aku terpisah di belah bumi tertepi
Secarik kabar darimu akan sangat berarti

Di sana nestapa merundung para penghuni. “…sudah terang orang menderita di dalam batin. Wajah-wajah yang lesu, mata yang liar dan kadang-kadang seperti tak normal itu, dikelilingi lingkaran hitam dan dalam, menunjukkan hal itu,” tulis Sutan Sjahrir pada 11 Mei 1935 dalam surat untuk kekasihnya, Maria Duchateau, di Belanda.

Sjahrir, bersama Mohammad Hatta, tiba di Digul pada 21 Februari 1935. Aktivitas mereka bersama PNI Baru dianggap membahayakan. Tanpa proses pengadilan, mereka diberangkatkan ke Digul.

Tanah Merah terletak di hulu Sungai Digul — timur laut Merauke. Karena itu disebut juga Boven Digoel atau Digul Atas. Rezim Hindia Belanda membuka kamp itu pada Januari 1927 untuk menahan para aktivis komunis yang dianggap memberontak. Sjahrir dan Hatta bukan kader komunis tapi mungkin dosis bahaya mereka diyakini setara.

Hanya ada sedikit kontak dengan dunia luar. Itu melalui kapal Albatros yang singgah sebulan sekali, dengan membawa surat-surat yang telah disensor. Juga bacaan-bacaan terpilih.

Di sini hanya satu bangku tidur yang dingin
Namun selalu saja ada dengung ratusan nyamuk seakan pekik semangat rakyatku

Rezim kolonial tak menamakannya “kamp tahanan,” melainkan koloni pengasingan. Tak ada menara jaga dan lampu sorot di ketinggian. Dalam surat kepada bawahannya, Gubernur Jenderal Andries Cornelies Dirk de Graeff menulis, tempat itu mestinya menjadi “lokasi ambisi-ambisi politik digantikan minat pada hal-hal yang sifatnya lebih domestik dan sosial.”

Tempat itu dikepung rimba nan lebat. Amat jauh dari peradaban modern. Makin mencekam karena kehadiran nyamuk malaria yang ganas. Andai hendak kabur, pilihan terbaik adalah Kepulauan Thursday, Australia. Untuk itu, orang mesti menempuh hampir 500 kilometer sepanjang Sungai Digul yang penuh buaya buas, lalu menyeberangi Selat Torres. Setiba di Australia, harus siap kucing-kucingan dengan polisi setempat. Jika tertangkap, ya dipulangkan ke Digul.

 Berdentang-dentang merasuk hati
Aku tak kan pernah mati
Tuhan, tanahku yang hitam ini milikmu jua

Padamu tanahku
Padamu airku
Padamu darahku
Padamu putraku

Namun, dalam deskripsi sejarawan Rudolf Mrazek, “…ini bukan kesepian mutlak ala Heart of Darkness-nya Conrad — ‘kesepian, kesepian mutlak tanpa seorang polisi…kesunyian, kesunyian mutlak tanpa ada hangat suara tetangga yang baik…'”

Ya, para tahanan memang bebas bergerak dalam radius tertentu. Bergaul dengan sesama. Juga diizinkan menulis surat seperti Sjahrir atau mengirim artikel surat kabar seperti Hatta. Bahkan hadir semacam bioskop di sana. Sesekali, catat Mrazek, ada pula konser musik dan pertunjukan wayang.

Pada akhirnya, kebosanan dan ketidakpastian hari esok menjadi jalan mudah menuju remuk jiwa.

Saya tidak tahu apakah Leo pernah ke Digul. Meresapi lirik yang intens merefleksikan tanah pengasingan itu, saya yakin Leo “menggauli” tema itu dengan saksama, entah bagaimana caranya.

Pada karya Leo, sang aktivis — “Aku” dalam lagu itu — dibekap nasib buruk tapi tak mau takluk.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *