Musim mudik. Foto-foto bertebaran di linimasa. Juga foto-foto di Jogja. Lantas, saya yang tak mudik ke sana atau tempat lain, hanya bisa mengenang.
Dari lantai teratas toko itu, Juni lalu, saya menengok ke luar. Anak-anak sibuk dengan kentang goreng dan milk shake. Istri berkutat dengan batik di bawah sana. Ketika gerimis di luar, saya melihat Jogja. Becak, andong, pedagang kaki lima. Ramai manusia.
Toko itu terletak di Jl Ahmad Yani. Saya semula menyangka masih di Jl Malioboro. Ternyata, tak terputus tapi berubah nama.
Saat itu, saya hanya melihat kerumunan para turis. Kini, saya ingat, Sukarno-Hatta pernah melintasi jalan di depan toko itu pada Juli 1949. Dielu-elukan rakyat saat kembali dari pengasingan di Sumatera. Mendarat di Maguwo, mereka diarak menuju Gedung Agung.
Dalam Laporan dari Banaran, TB Simatupang menulis, “Saya menyaksikan ramainya sambutan rakyat sepanjang jalan dan sekitar istana. Dapatkah disangkal bahwa Dwitunggal ini merupakan faktor yang kuat, yang hampir bersifat magis dalam revolusi kita?”
Saya penasaran, adakah kampanye hitam menyasar mereka saat itu? Bukankah mereka memilih bertahan di kota dan membiarkan diri ditahan Belanda pada 19 Desember 1948? Bukankah Sukarno-Hatta menolak bergerilya?
Pasti ada suara kekecewaan. Dua Bung itu bukan tanpa rival. Bukan tanpa penentang, bahkan sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan kerap mengkritik mereka. Ini titik persimpangannya: Sukarno-Hatta masih percaya jalan diplomasi, Tan Malaka tidak. Sosok seperti Bung Tomo di Surabaya juga sejatinya tak bisa dibilang sehaluan dengan Sukarno-Hatta.
Tapi, bahwa di tengah gegap-gempita revolusi, dua pemimpin “moderat” itu didukung mayoritas rakyat, terus menerbitkan rasa takjub dalam benak saya. Hebat! Ya, ada semacam magis dalam diri mereka.
Sebuah pengandaian: jika di masa itu telah hadir media sosial, “elektabilitas” Sukarno-Hatta juga tak aman. Dituding pengecut, lembek, tidak tegas. Menyebar dengan lekas.
Saya mungkin terlampau melantur. Simatupang, saat itu Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, menyatakan, ”Saya tidak menemukan suasana pesimis, apalagi suasana putus asa. Di mana-mana saya dengar dan saya rasakan adanya keyakinan yang pasti bahwa pada suatu saat yang baik peperangan akan berakhir dengan kemenangan di pihak kita.”
Dari lantai teratas toko itu, Juni lalu, saya melihat Jogja. Ramai manusia. Niscaya juga sekarang, ketika kaum muslim segera merayakan “kemenangan” usai Ramadan.