Saya memutar setir, masuk ke halaman gedung itu. “Parkir di pojok sana saja, Pak,” kata seseorang di pos jaga. Ia mengenakan safari hitam lengan panjang. Sempat terbayangkan betapa gerah dibalut busana semacam itu saat Jakarta dianiaya matahari.
Beberapa tukang tengah bekerja, mengecat ulang bagian depan gedung. Saya masuk dan tertegun. Inilah bekas rumah Laksamana Maeda yang bersejarah itu. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di sana. Saya ada janji dengan sejarawan Rusdhy Hoesein.
Rumah ini bernilai sejarah karena menjadi tempat naskah proklamasi disusun. Kini, nama resminya adalah Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Terletak di Jl Imam Bonjol, Menteng, hanya sepelemparan batu dari rumah dinas Jokowi di seberang Taman Surapati.
Di meja resepsionis, dua perempuan duduk. Salah satunya berjilbab, rekannya berkaca mata. Mereka pasti baru 20-an tahun. “Mbak, saya mau beli tiket,” kata saya. Di pos jaga tadi, saya lihat, ada tiket yang mesti dibeli. Rp 2.000 per orang.
“Kami juga pengunjung,” ujar salah seorang perempuan itu. Senyumnya mengembang. Ia bilang, tidak ada yang menjaga meja. Mereka hanya menumpang duduk. Selain saya dan mereka, tak ada pengunjung lain.
Saya melangkah lebih ke dalam. Menengok ke arah tangga. Di dekat tangga itu, ada piano hitam. Di piano itu, Sukarno menandatangani naskah proklamasi yang telah diketik Sayuti Melik. Di sisi gedung yang lain, ada ruang paling besar. Di sana Sukarno membacakan naskah proklamasi yang baru saja disusun. Berulang kali dengan perlahan-lahan. Ada puluhan orang yang menyimak.
Oh, saya harus membuka laptop. Ada beberapa data yang kudu diintip sebelum bertemu Pak Rusdhy. Tentu tak boleh saya menggunakan meja dan kursi di dalam museum. Duduk di lantai pasti juga hanya akan menerbitkan tanda tanya di kepala orang lain.
Saya keluar lagi dan menjelajah ke sayap kiri. Selain toilet, saya menemukan beranda belakang. Ada sofa dan meja. Sudah agak butut. Tapi, lumayanlah. Beberapa staf museum mondar-mandir.
Kelar menjenguk data, mata saya menyapu sekeliling. Angin semilir. Terlihat pucuk bangunan sebuah hotel di kawasan Kuningan. Tak jauh dari hotel itu ada kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sana, puluhan politisi (atau, sudah ratusan?) diproses hukum karena mencuri duit rakyat. Sementara, di tempat saya duduk ini, 69 tahun silam, puluhan politisi berhimpun untuk sebuah ihwal penting: perumusan naskah proklamasi.
Saya teringat Anies Baswedan. Kira-kira ia menyatakan, “Politik hari ini adalah sebuah arena yang mengalami masalah. Begitu orang mendengar politik atau politisi, ada degradasi persepsi luar biasa. Politik hari ini bukan arena terhormat.”
Padahal, dulu, politik adalah gelanggang yang memantik decak kagum. Siapakah Sukarno, Hatta, atau Sjahrir? Semua politisi. Mereka sebenarnya bisa hidup nyaman jika menjauhi politik. Namun, mereka menolak kenyamanan itu.
Sjahrir, misalnya, tengah kuliah di Belanda. Ia memang tak begitu rutin masuk kelas. Lebih banyak menghadiri diskusi politik atau bertemu aktivis sosialis. Sebagai selingan, ia doyan menonton film. Atau, menghadiri pesta dansa. Pada akhir 1931, Hatta memintanya pulang. Gerakan nasionalis di Hindia Belanda sedang kocar-kacir. Sjahrir diminta menyiapkan partai baru. Partindo, yang dibentuk setelah PNI dibubarkan, tak bisa diharapkan.
Bung Kecil itu bersedia. Sekolah ditinggal. Juga pesta-pesta dansanya. Padahal, ancaman sungguh riil. Ya, hanya dua tahun setelah pulang, ia (bersama Hatta) dibuang ke neraka dunia bernama Boven Digul.
Lamunan buyar ketika seorang pria tua berjalan menuju saya. Mengenakan topi dan rompi. Dia yang saya tunggu, Pak Rushdy.