den haag, 9 maret 1928

Buku pesanan itu tiba kemarin siang. Judulnya Indonesia Merdeka. Ya, ini terjemahan pledoi Mohammad Hatta di pengadilan Den Haag, Belanda, 9 Maret 1928. Ia ditahan bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Sutan Pamontjak, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Mereka semua aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Kalau kita baca memoar Hatta, semula ada tiga tuduhan buatnya: menjadi anggota organisasi terlarang, terlibat pemberontakan, dan menghasut untuk melawan Kerajaan Belanda. Saat jaksa membacakan dakwaan, tinggal satu tersisa, yaitu tuduhan terakhir. Mr JEW Duijs, Mr Mobach, dan Mr Weber mendampingi mereka sebagai pengacara.

“…aku minta dikirimi buku-buku mengenai hukum dan ilmu politik, terutama buku-buku Kranenburg dan Krabbe, beserta satu set lengkap majalah Indonesia Merdeka jika mungkin guna membantu menyusun pembelaanku,” tulis Hatta di memoarnya.

Majalah Indonesia Merdeka merupakan terbitan resmi Perhimpunan Indonesia. Tulisan-tulisan di sana yang diincar aparat hukum Kerajaan Belanda, dianggap berisi hasutan dan kebencian.

Ia tak menjelaskan siapa Kranenburg dan Krabbe. Saya penasaran dan meng-googling. Roelof Kranenburg adalah ahli hukum tata negara Belanda terkemuka. Ia menulis buku Het Nederlandsch Staatsrecht. Sementara, Hugo Krabbe menulis Die Lehre der Rechtssouvera.

Lalu, pembelaan itu kelar. Jika dibacakan, kata Hatta, dibutuhkan waktu sekitar tiga setengah jam. Ia membacakan saripatinya saja. Buku yang tiba dari Yogya tersebut naskah lengkap — yang saat itu hanya diserahkan Hatta ke majelis hakim.

Hatta mengawali teks pembelaan dengan mengajukan sepucuk pertanyaan: mengapa anak-anak muda seperti dirinya melibatkan diri dalam politik? Mengapa tak memilih “memuaskan dahaga remaja dan menikmati keindahan masa muda”? Bukankah umumnya mereka berasal dari keluarga kaya…

Saya menarik nafas saat tiba di bagian ini: “Kepada kami dilemparkan hinaan-hinaan bahwa si inlander itu orang malas, jorok, tak dapat dipercaya, curang, tak tahu berterima kasih, serampangan, tak punya kebutuhan apapun…Hinaan-hinaan itu dilontarkan dengan sengaja dan sadar untuk menyakiti perasaan halus kami. Setiap hari kami diingatkan, dengan cara kasar demikian, bahwa kami tergolong bangsa yang dijajah dan karena itu merupakan bangsa dengan derajat yang rendah.”

Pada bagian-bagian selanjutnya, Hatta menjelaskan mengapa dan bagaimana Perhimpunan Indonesia bekerja. Terutama prinsip non-kooperasi. Ia menulis, “Selamat tinggal politik memohon dan mengemis…Selamat tinggal politik memohon restu! Selamat tinggal politik menadahkan tangan.” Menurut Hatta, peningkatan kesejahteraan tak mungkin dengan meminta bantuan rezim kolonial. Harus keluar dari kerangka dan paradigma lama, masuk ke ranah baru: hanya mungkin dilakukan di dalam sebuah negara yang merdeka.

Menjelang akhir, Hatta menggedor dengan menyatakan persidangan tersebut bertentangan dengan konstitusi Belanda yang menjamin kemerdekaan berbicara dan beraktivitas.”Terlalu jelas diperlihatkan kepada kami bahwa buat kami, putra kulit berwarna, tidak berlaku kepastian hukum,” tulis Hatta.

Pada 22 Maret 1928, empat mahasiswa itu divonis bebas. Peristiwa ini dirayakan di mana-mana, termasuk di Hindia Belanda. Dua hari setelah vonis, aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI) menggelar rapat besar di Bandung untuk memperingatinya. Sekitar 2.000 orang hadir. Polisi Belanda membubarkan.

Hatta makin termasyhur sebagai pemimpin gerakan nasionalis. Pledoinya menjadi bacaan standar aktivis pergerakan. Hanya Sukarno yang ‘setara’ dengannya. Di sisi lain, pemerintah Belanda seperti ditampar dengan lahirnya vonis tersebut. Tapi, sistem peradilannya terbukti steril dari intervensi.

Di Hindia Belanda, 1934, Hatta kembali ditangkap dan dijebloskan ke penjara Glodok. Pada awal 1935, ia dibuang ke Boven Digul, di pelosok Papua. Tanpa proses peradilan, tak tahu sampai kapan. Ia dibuang ke sebuah tempat yang konon merupakan “neraka” dunia, bukan berlibur ke Maladewa seperti politisi lain di kemudian hari.

Ada yang bergetar di tubuh saat membaca pledoi Hatta. Berbeda jauh saat mendengar para politisi kini di panggung kampanye: ucapan mereka menghambur bak gelembung sabun, pecah di udara, tak bermakna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *