membaca fariz

Semula arena di Java Jazz Festival 2014 itu nyaris penuh. Setelah sekitar 10 menit, keadaan berubah. Satu per satu penonton “Legendary Chrisye Dekade Project” keluar. Mungkin bosan hanya disuguhi cuplikan video dan penampilan musisi kurang terkenal.

Saya dan istri bertahan. Tengok kanan-kiri, ruangan kini tinggal berisi puluhan orang. Tiba-tiba, seorang pria ceking setengah berlari memasuki panggung. Rambutnya yang memutih diikat. Saya kira, bukan hanya kami yang terkejut. Kemudian seseorang berteriak, “Fariiiizz…”

Ia memang Fariz RM. Ruangan gaduh. Sejumlah penonton meninggalkan kursi, mendekati panggung. Fariz hanya menyanyikan dua lagu, Serasa dan Sakura. Lalu, pertunjukan usai. Tapi, ia membuat show itu tak terlupakan.

/2./
Buku itu saya beli tiga tahun lalu, jujur saja, lantaran didiskon gede. Masa remaja saya diwarnai musik-musiknya. Setelah sukses menyisihkan uang jajan, saya pergi ke Aquarius Mahakam untuk memperoleh Living in The Western World.

Fariz bukan musisi kelas dua. “Fariz RM itu keren banget ya. Gue kaget pertama kali dengar Barcelona. Musisi era 80-an yang paling keren ya dia,” kata musisi indie Harlan Boer di Rolling Stone Indonesia terbaru. Pada edisi sebelumnya, majalah itu menaruh Fariz di urutan ke-8 pada daftar 100 Pencipta Lagu Terbaik Indonesia.

Tapi, Fariz sebagai penulis? Ketika menyimak halaman-halaman buku itu, saya mafhum, Fariz juga seorang pemikir. Judul buku itu Living in Harmony: Jati Diri, Ketekunan, dan Norma. Bukan otobiografi, melainkan wadah hasil refleksi. Di sana-sini ada sejumput glorifikasi diri, namun percayalah, terdapat lebih banyak maslahat yang layak dikoleksi.

Pada sebuah bagian, ia mengagarisbawahi pentingnya kolaborasi, bahkan dengan musisi beda genre atau jauh lebih muda. Ini perlu demi memperkaya musikalitas, upaya mengelak dari kekeringan gagasan.

Maka, ia berkolaborasi dengan Ian Antono, White Shoes and The Couples Company, Koil, Djaduk Ferianto, bahkan dengan para remaja SMP di sekolah anaknya di Bintaro.

“Kalau saya nggak tahu diri– karena sudah berusia setengah abad– mungkin saya sudah ngelamar jadi personelnya Efek Rumah Kaca, band terobosan yang saya kagumi ide-idenya,” tulis Fariz.

Yeah, sikap ini bukan hanya patut ditiru musisi. Semua orang selayaknya begitu: rendah hati untuk mendengar dan menyerap ide baru. Usia boleh menua, isi kepala harus disegarkan senantiasa.

Kritik Fariz terhadap industri musik juga bertebaran di banyak titik. Ia berkisah, misalnya, tentang sejumlah musisi baru yang dikuliahi para produser rekaman soal cara bikin lagu. Padahal, si produsen tak tahu sama sekali cara membuat lagu.

“Yang lebih bego lagi, ya kok si artis mau-maunya lagi nurut sama si bos, udah jelas kalau si artis tersebut bisa bikin lagu dan si bos tidak…Alhamdulillah, saya tidak pernah “ditololin” seperti itu,” tulis pria kelahiran 5 Januari 1959 itu.

/3./
Sudah dinihari saat kami meninggalkan arena Java Jazz Festival 2014. Jalanan basah diguyur gerimis. Istri saya terlelap saat kami memasuki kawasan Menteng. Di lingkungan mahal ini, Fariz dibesarkan.

Usia 5 tahun Fariz belajar piano. Dua tahun kemudian telah mampu memainkan reportoar dari Mozart, Beethoven, atau Bach. Saat di SMP, ia mulai ngeband dengan teman-teman kakaknya: Keenan Nasution, Chrisye, Guruh Soekarnoputra, dan anak-anak Menteng lain.

Ketika berusia setengah abad, ia merilis buku. Dari sana, kita tahu, wawasannya lumayan mentereng. Jika aktivis atau akademisi menyebut-nyebut Renaissance dan Nietsczhe tentu tak bikin heran. Nah, warga industri musik (bukan indie!) bernama Fariz RM melakukannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *