Hari ini saya batal menjenguknya. Sepucuk pesan singkat tiba: dia tak di rumah, mesti menjalani terapi di luar kota.
Sudah beberapa pekan saya tak bertemu dia, meski seharusnya sangat mungkin mengingat dekatnya lokasi kantor masing-masing. Lalu, beberapa kawan mengabarkan kondisinya memburuk. Dada saya mendadak sesak.
Dia adalah teman sejak masa-masa awal jadi jurnalis. Dalam banyak hal, punya kesamaan pendirian. Meski jika bertemu, kami seperti menyimpan hasrat tak terbatas untuk saling mem-bully. Sampai hari ini. Bukan untuk menyakiti, tapi begitulah kami membumbui persahabatan.
Dulu, dalam rundungan kantuk usai tenggat, kami sering pergi bersama. Berburu film-film bagus. Bajakan? Ssst, iya. Dia suka dengan Al Pacino, terutama ketika bermain di film-film mafia seperti The Godfather.
Buruknya, saat ngobrol kami kerap menertawakan teman-teman atau atasan yang kami anggap katrok. Misalnya, dia teringat sesuatu dan bilang, “Si Fulan ngucapin Al Pacino dengan ‘Al Pakino’…hahaha..”
Atau, terheran-heran dengan seorang jurnalis yang bangga mengaku punya info A1 dari seorang sumber seraya tak menyadari bahwa boleh jadi si sumber punya vested interest. Tapi, kami pun memperbincangkan seorang senior yang menulis dengan jiwa. Bukan sekadar memenuhi tuntutan kantor. Bersungguh-sungguh dengan diksi, karakter, dan plot.
Kami kerap menghabiskan malam di lesehan Blok M bersama teman-teman lain. Membuang penat, menambah asupan karbohidrat. Buat bujangan, buat apa pulang tergesa? Kami terkadang baru pulang lewat tengah malam.
Saya sempat mampir di kamar kosnya. Sempit dan apak karena tembakau. Di pintu, tertempel stiker Partai Rakyat Demokratik (PRD). “Ini diberi habis wawancara…” ujarnya. Dia menyebut nama si pemberi, tapi saya lupa apakah Andi Arief atau Budiman Sudjatmiko.
Akhirnya, kami tak sekantor lagi. Waktu berlari. Saya menikah. Kemudian, dia menyusul. Kini, kami sama-sama dianugerahi dua anak lelaki.
Kemudian, dia dinyatakan sakit. Tubuhnya kian kurus. Belakangan saya tahu seumur hidup dia harus rutin ke rumah sakit. Karena, fungsi salah satu organ vitalnya merosot drastis.
Pada ulang tahunnya di November lalu, saat dirawat di rumah sakit, dia menulis:
Di pepohonan itu, pada tiap daunnya, telah dilukis kenangan tahun-tahun tak bertepi.
Pada rantingnya tersayat rindu dari letih kaki burung-burung.
Betapa hari ini aku ingin menjadi pohon-pohon itu,
yang tetap tegak berdiri, menghadapi badai demi badai hidup.
Saya berupaya sekuat tenaga untuk membendung air mata.