kuta dan konsekuen

Taksi menembus keramaian Kuta di sore itu. Made, pengemudinya, mengantar saya berkeliling, membunuh waktu sebelum terbang ke Jakarta.

Saya menoleh ke kanan. Ada Water Boom. Saat saya dan istri berbulan madu, kami mendapat voucher dan menikmati arena permainan air tersebut dengan gratis.

“Makin banyak saja sekarang hotel di Kuta, Bli…” Saya mengajukannya setengah iseng + setengah sok tahu. Samar-samar saya ingat soal moratorium pembangunan hotel di Bali selatan.

“Iya, Pak. Tidak boleh lihat lahan kosong, langsung dibikin penginapan,” kata Made dengan logat Bali yang khas.

Uppss…Saya mulai menangkap “tonjokan” dalam kalimat itu meski Made mengujarkannya dengan nada nyaris datar. Juga tak menaikkan volume suara.

“Jadi makin bermasalah karena beberapa dari mereka suka tutup jalan sembarangan untuk upacara keagamaan,” Made melanjutkan.

“Maksudnya, Bli?”

“Mereka tak punya halaman lagi, dibangun jadi penginapan. Tapi, tetap ingin bikin upacara keagamaan, maka jalan yang dipakai. Saya gak ngerti…”

Saya tak kuasa melanjutkan. Tak siap mental untuk otokritik sepedas ini yang berawal dari sepucuk pernyataan setengah iseng + setengah sok tahu.

Saya membatin:  soal tidak konsekuen, Kuta tak pegang monopoli, Bli. Kita ambil sebuah pilihan tapi ogah memikul risikonya. Pihak lain yang diminta menanggung secara fait accompli. Banyak persoalan muncul gara-gara kenyataan ini.

Taksi melintasi Ground Zero. Di sana, seorang perempuan pirang menundukkan kepala dengan tangan merapat di dada–mungkin berdoa. Pikiran saya melayang jauh…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *