Rasanya baru kemarin lengan nenekmu kerap jadi korban. Saat kamu digendongnya, lengan ibuku itu kamu gigit. Terkadang sampai membiru. Mungkin gemas, mungkin juga lantaran alasan lain. Entahlah. Kamu belum bisa bercerita. Belum satu tahun usiamu.
Waktu berlari cepat. Beberapa bulan lagi statusmu sebagai siswa SD berakhir, Havel. Maka, kita harus mencari sekolah berikutnya.
Tiga hari lalu, saya dan ibumu menyusuri rute Cipete-Ragunan-Pondok Labu. Menyambangi tiga SMP negeri. Panas mendera pada siang itu. “Neraka bocoooor,” tulis seorang teman di status BBM-nya.
Di sebuah sekolah, saya memergoki papan yang memperlihatkan deretan kegiatan ekstrakurikuler. Aha, terselip juga kegiatan jurnalistik. Boleh juga. Sepak bola, karate, atau palang merah seperti lazimnya bercokol di daftar.
Berjumpa para sahibul bait. Lalu, sejumlah pertanyaan dilontarkan:
“Masuk sekolah jam berapa? Pulang jam berapa?”
“Tahun lalu, passing grade-nya berapa?”
“Kapan pendaftaran dimulai?”
Dan seterusnya…Sejatinya semua pertanyaan itu bisa ditemukan jawabnya tanpa harus berpanas-panas mengukur aspal jalan. Tapi, terkadang semacam basa-basi diperlukan. Juga peneguhan.
Kami mencari tahu pula soal transportasi sekolah-rumah. Urusan berangkat, kayaknya tetap bersama kami. Tapi, persoalan pulang, kamu mesti sendiri kalau memang bersekolah di salah satunya. Ngangkot. Tak seperti sekarang yang diantar mobil Pak Haji Munasik.
Saat di SMP dulu, saya pergi dan pulang dengan metro mini S 74. Saya nyantri di sebuah sekolah di Mayestik. Itu salah satu sekolah negeri favorit di Jakarta Selatan, bahkan sampai sekarang. Melulu anak-anak dengan nilai ujian yang cukup tinggi boleh belajar di sana. Bangga? Fiuuuhh, begitulah. Hahaha…
Cuma sementara perasaan itu bersemayam. Di kelas dua, hadir sejumlah teman pindahan. Setahun di sekolah swasta (karena nilai ujian ala kadarnya), lalu hijrah ke sekolah negeri ternama. Sekolah mereka tentu bukan se-maqam Al Azhar atau Kanisius. Agar dapat masuk, orangtua mereka menyetor sejumlah uang. Kisah ini saya dengar langsung dari mulut kedua (baca: teman-teman pindahan itu).
Rasanya inilah “perjumpaan” pertama saya dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Toh, saya tak marah saat itu. Pikiran saya terlampau belia. Lugu. Kesal sedikit, iya.
Saya tak seperti Soe Hok Gie. Saat ia duduk di kelas 2 SMP, guru Ilmu Bumi “mendiskon” nilai ulangannya: dari 8 menjadi 5. Tanpa alasan. Gie marah sekali. Ia tulis dalam buku hariannya, 4 Maret 1957: “Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu.”
Itulah “perjumpaan” pertama Gie dengan sesuatu yang menjengkelkan bernama kekuasaan. Sejauh yang tercatat. Beberapa tahun kemudian, ia menjelma seorang cendekiawan yang jejaknya tak terhapus hingga hari ini, menjadi intelektual yang kematiannya bahkan disesali seorang tukang peti mati. “Dia orang berani. Sayang dia meninggal,” katanya sambil terus menangis.
Duh, melantur jauh. Beberapa bulan lagi, Havel. Kita tak menghendaki terbit sesal yang…mengeras sebagai batu.