yuval noah harari dan realitas ganda

Yuval Noah Harari pintar menjelaskan dengan cara sederhana. Kita, eh saya, pun gampang terpukau. Juga ketika ia memaparkan bagaimana manusia, homo sapiens, mengendalikan dunia.

Saya lagi baca Sapiens, karya Harari yang membuatnya tenar di seantero jagat. Karya ini, aslinya dalam Bahasa Ibrani, telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa lain.

Pada halaman-halaman awal, ia menulis, kendali manusia atas dunia terjadi lantaran manusia dalam jumlah sangat besar bisa bekerja sama.

“Bila Anda mengumpulkan ribuan simpanse di Lapangan Tiananmen, Wall Street, Vatikan, atau kantor pusat PBB, hasilnya adalah kekacauan,” tulis sejarawan yang kini mengajar di Hebrew University di Jerusalem tersebut. Tak bakal ada kerja sama di antara mereka.

Namun bagaimana manusia dalam jumlah sangat besar bisa bekerja sama? Jawabannya adalah karena kita menciptakan realitas fiktif.

Dengan bahasa, hewan-hewan berkomunikasi hanya untuk melukiskan realitas. Misalnya, seekor simpanse bilang ke kawanannya, “Di sana ada singa. Ayo kita lari.” Tapi, dengan perantaraan bahasa, manusia sanggup lebih jauh. Di sini, fiktif jelas bukan bermakna dusta, melainkan tak kasat mata.

Seseorang bisa berujar, kata Harari dalam sebuah video, “Lihat, ada Tuhan di langit. Bila kalian ingkar, Tuhan akan menghukum kalian di neraka.”

Mereka yang mempercayai omongan itu kemudian mengikuti nilai, norma, dan hukum yang sama. Pada gilirannya, kerja sama terselenggara.

Simpanse tidak bisa dibujuk begini: “Berilah pisang, nanti kamu akan masuk surga buat simpanse.” Para simpanse tidak akan percaya dengan propaganda ini.

Realitas fiktif itu yang, menurut Harari, membikin ratusan ribu orang bersedia pergi berperang, misalnya. Atau, menyumbang untuk pembangunan rumah ibadah.

Setiap skema kerja sama manusia mengandaikan kehadiran realitas fiktif ini. Tak hanya urusan agama. Di ranah hukum, ada konsep hak asasi manusia. Di ranah politik, terdapat konsep negara dan bangsa. Keduanya realitas fiktif juga. Tidak ada bendanya secara objektif.

sapiens

Pun perihal uang. Memang ada bendanya. Tapi sejatinya uang tak memiliki nilai objektif. Beda dengan pisang atau beras yang kuasa memusnahkan lapar. Sekeping logam atau selembar kertas itu tak bisa dimakan. Tapi bisa ditukarkan untuk memperoleh pisang atau beras.

Ya, nilai uang baru muncul ketika para “pendongeng ulung” beraksi, yaitu para bankir dan menteri keuangan. Mereka bilang, sebagai contoh, “Selembar kertas ini bisa Anda tukar dengan 10 butir telur.” Dan seterusnya.

Pada kenyataannya semua orang percaya uang. Pada konsep lain, agama misalnya, tidak demikian. Ada yang percaya Islam, ada yang memilih Hindu. Atau ada yang tidak beragama.

“Uang adalah satu-satunya konsep kepercayaan ciptaan manusia yang bisa menjembatani nyaris setiap jurang budaya, dan tidak membeda-bedakan berdasarkan agama, gender, ras, usia, atau orientasi seksual,” tulis Harari.

Homo sapiens mengontrol dunia karena hidup dalam realitas ganda. Selain di realitas objektif, terutama dalam beberapa abad terakhir, kita juga hidup di realitas fiktif.

Bahkan, realitas fiktif inilah yang menentukan realitas objektif.  Sebidang hutan (realitas objektif), misalnya, akan dijaga atau dijarah ditentukan oleh politik (realitas fiktif).

Harari memukau dan membuat hasrat baca sampai kelar bangkit. Di saat jeda, saya teringat betapa banyak kerusakan yang dipicu realitas fiktif bikinan manusia meski tak kurang berlimpah maslahat yang terbit dari kemampuan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *