“Jadi ada tekanan tertentu yang diberikan oleh pimpinan DPR ke Menteri Keuangan?” kata Najwa Shihab.
“Ya,” ujar Wa Ode Nurhayati, anggota Badan Anggaran DPR dan anggota Komisi Energi dan Lingkungan Hidup DPR dari Fraksi PAN.
“Saya ingin minta lagi ketegasan. Khusus kasus ini, penjahatnya pimpinan DPR, pimpinan Banggar, Menteri Keuangan, atau siapa?”
“Kalau….tiga-tiganya kayaknya, Mbak.”
“Tiga-tiganya penjahat…Jadi yang banyak bermain itu pimpinan?”
“Ya.”
Percakapan di atas muncul di Mata Najwa edisi 25 Mei 2011 di Metro TV. Dua hari kemudian, Ketua DPR Marzuki Alie melaporkan Wa Ode Nurhayati ke Badan Kehormatan DPR. Marzuki merasa tersinggung dengan ucapan Wa Ode.
“Saya meminta yang bersangkutan (Wa Ode) dipanggil, diperiksa untuk membuktikan statement-nya,” kata Marzuki melalui pesan singkat kepada para wartawan, “Bila yang bersangkutan tidak bisa membuktikan ucapannya, maka saya minta agar diberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Ini bisa dikategorikan kejahatan IT.”
Pada awal Juli 2011, Badan Kehormatan DPR bergerak. Wa Ode diperiksa. Seusai diperiksa BK, Kamis, 7 Juli, Wa Ode mengatakan, “Mungkin saksi-saksi akan dipanggil, termasuk Mbak Najwa karena ini terkait kalimat penjahat kan,” ujarnya. Dalam pemeriksaan hari itu, politisi PAN ini menegaskan kepada anggota BK bahwa bukan dirinya yang mengucapkan frase “penjahat anggaran” yang kemudian membuat pimpinan DPR berang.
Pada sebuah siang, di sebuah kafe di Senayan City, Jakarta, saya bertanya ke Najwa, ““Soal kata penjahat, itu disengaja?”
“Saya sengaja memilih diksi ‘penjahat’…kita terlalu bermanis-manis dengan white collar crime. Padahal mereka memang melakukan kejahatan anggaran. Angle wawancara juga ingin memperlihatkan betapa bobroknya sistem anggaran di DPR.”
Saat itu, Najwa mengenakan kardigan hitam dan blus coklat. Ia baru saja menyelesaikan makan siang: seporsi salad. Wajahnya nyaris tanpa pulasan kosmetik.
***
Pada 2008, Metro TV mulai mendorong para presenter senior untuk membuat program acara dengan mengusung nama dan karakteristik diri sendiri. Ini tak lepas dari keberhasilan Kick Andy yang dikelola Andy F. Noya. Najwa juga salah satu yang diminta. Namun, saat itu, ia harus berangkat ke Australia untuk meraih gelar master bidang hukum di Universitas Melbourne. Saat ia kembali, suhu politik mulai memanas seiring kian dekatnya pemilihan presiden 2009. Najwa menjadi salah satu andalan dalam acar-acara terkait momen tersebut. Program miliknya kembali tertunda.
Nama Mata Najwa diusulkan Sjaichu, produser Todays Dialogue. “Saya sebenarnya gak pede dengan nama itu,” kata Najwa. Lalu, dibuat beberapa focus group discussion (FGD) untuk dengan sejumlah pihak untuk menimba masukan. Untuk menghindari bias, Najwa tak hadir. Saat ditanyakan: apa yang langsung teringat dari seorang Najwa Shihab? Beberapa menjawab: matanya. Nama itu pun disepakati dan edisi perdana mengudara pada Rabu, 25 November 2010.
Terkait karakter acara, program talk show ini tak beranjak jauh dari politik dan hukum yang selama ini menjadi bidang liputan Najwa. “Akar saya politik, jadi lebih banyak seputar isu itulah topik Mata Najwa,” kata perempuan yang akrab disapa Nana itu.
Di awal, sempat terlintas untuk dibuat agak ringan bisa meraih atensi pemirsa muda. Maka, ada segmen parodi dengan mengundang penulis dan komedian, Raditya Dika. Tapi, setelah beberapa episode, dirasakan tidak cocok. Orang merasa, ini bukan Najwa. Sejak itu, program ini diberi watak “serius.”
Meski sejatinya disiapkan untuk mengangkat isu-isu actual, Mata Najwa juga kerap diisi dengan episode bernafas sejarah. “Ini untuk variasi tema dan kepentingan stok tema. Juga selama ini di Indonesia belum ada documentary talk show,“ ujar Najwa. Tema sejarah yang dipilih selalu dikaitkan dengan situsi terkini. Misalnya, saat meruyak pro-kontra mengenai gaji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selama tujuh tahun terakhir tidak pernah naik, Mata Najwa mengangkat persoalan serupa di masa lalu pada edisi “Sang Negarawan,” 2 Februari 2011. Diundang untuk bicara putri Bung Hatta, Halida; putri Bung Karno Sukmawati; sejarawan Bonnie Triyana, dan jurnalis TEMPO Arif Zulkifli.
Jabatan Najwa adalah program owner atau executive produser. Ia membawahi tujuh anggota tim: dua produser, dua reporter, dua staf produksi, dan satu reporter.
Salah satu ciri khas Mata Najwa adalah kehadiran “Catatan Najwa” yang merupakan komentar atau perspektif dari Najwa selaku program owner terhadap topik yang diangkat pada akhir acara. Segmen ini muncul dalam bentuk narasi Najwa disertai running text. “Ini semacam editorial kecil. Terkadang saya yang nulis atau produser. Tapi, sentuhan akhir di tangan saya,” kata Najwa. Satu hal yang gampang diingat: “Catatan Najwa” ditulis dengan kepekaan bahasa untuk juga enak didengar.
Sebagai sampel, mari simak “Catatan Najwa” episode “Mesin Kuasa,” Rabu 20 Juli 2011:
DI ERA REFORMASI/ PARTAI LAMA MATI SURI/ DI TENGAH KEMISKINAN IDEOLOGI/ SERTA GELAPNYA DINDING NURANI POLITISI//
PARTAI/ AGEN TUNGGAL POLITIK FORMAL/ TERGUSUR OLEH HUKUM BESI OLIGARKI// POLITIK ELIT MEMBELENGGU PARTAI/ SEBATAS ARENA DAGANG SAPI/ DAN LADANG KORUPSI//
BUKAN HANYA POLITISI/ TAPI PARTAI JUGA GAGAL KOREKSI DIRI// PATRONASE SEBANGUN DENGAN POLITIK UANG/ KONSTAN MEMBUAT MANDEG KOMPETISI DAN REGENERASI//
PATRONASE DAN PERSONALISASI FIGUR/ MEMBENAM PARTAI MAKIN JAUH DARI TRANSPARAN DAN PEMERINTAHAN YANG BISA DIPERTANGGUNGJAWABKAN//
KALAU BETUL DEMIKIAN/ VOX DEI/ VOX POLITISI// SUARA RAKYAT/ VOX POPULI/ SUDAH TAK NYARING LAGI/
Sudah berbilang episode digelar, salah yang paling berkesan adalah “Jakarta Menagih Janji, 13 Oktober 2010. “Saya dapat kritikan dan pujian saat mewawancarai Foke. Saya agak keras di sana,” Alkisah, sudah tiga tahun Fauzi Bowo alias Foke duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun, persoalan klasik ibukota seperti kemacetan dan banjir tak kunjung tertanggulangi.
Beberapa pekan dibutuhkan untuk membujuk Foke agar mau datang ke Mata Najwa. Sambil menunggu, Najwa melakukan riset sangat serius—lebih serius ketimbang episode lain. Bahkan, ia juga memelototi sejumlah peraturan daerah DKI Jakarta. “Sejak awal, saya mau berperan sebagai devil’s advocate. Rasa frustrasi orang Jakarta mau saya sampaikan,” kata Najwa
Menjelang pilkada DI Jakarta 2007, Najwa memandu debat kandidat Gubernur DKI Jakarta yang mempertemukan pasangan Foke-Priyanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Diselenggarakan oleh KPUD DKI Jakarta, acara itu disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan Jak TV. Najwa terpilih sebagai pemandu setelah menyisihkan sejumlah presenter lain yang diseleksi KPUD DKI Jakarta.
Najwa langsung tancap gas sejak awal, “Kami menuntut…menagih janji Anda. Ketika kampanye tiga tahun lalu, Anda mengklaim sebagai ahlinya. Setelah tiga tahun berlalu, tidak ada gebrakan nyata yang dilakukan Anda sebagai gubernur. Kami menuntut janji Anda, Pak Gubernur.”
“Saya tidak pernah mengklaim bahwa saya ahli segala-galanya. Tidak ada dalam statement saya. Sedikit pun. Yang jelas, saya sebagai pimpinan, harus mengusahakan ahli yang terbaik untuk menyelesaikan masalah yang ada di Jakarta,” kata Foke dengan tenang.
“Saya ingin kita fokus ke masalah kemacetan Jakarta yan semakin menggila, Pak Gubernur. Ada yang menilai, apa yang Anda lakukan baru sebatas rancangan konsep, baru sebatas melakukan pengkajian tapi belum ada yang betul-betul terlihat nyata hasilnya.”
“Jakarta ini, kita tahu, memang sebagai kota…ibaratnya sebagai pasien yang sakit. Dan, sakit itu bukan dimulai saat saya menjadi gubernur. Tapi sudah sakit sejak beberapa saat yang lalu. Contoh yang Anda sebut tadi, yaitu kemacetan, adalah symptom yang secara kasat mata dirasakan seluruh masyarakat Jakarta. Bukan hanya orang Jakarta di luar rumah saya. Anak saya pun ngomel mengenai masalah kemacetan ini…”
Usai acara, salah seorang staf Foke menelepon dan marah-marah. Rupanya ia tak terima sang bos dicecar sedemikian rupa. Foke sendiri tak mengajukan protes atau keberatan.
“Anda memang sering eksplisit menyatakan keberpihakan, ya?” kejar saya.
“Tak ada yang salah dengan keberpihakan. Apalagi jika menyangkut kebijakan publik. Kalau tidak, what do you stand up for? Sebagai jurnalis, kita mengetahui demikian banyak fakta. Mustahil gak punya opini. Selama tetap memberikan kesempatan bicara pada pihak yang berbeda, itu sah-sah,” kata Najwa.
Terkait respons pemirsa, salah satu episode yang banyak memantik reaksi adalah “Tafsir Poligami. Di episode itu, Mata Najwa menghadirkan pelaku-pelaku poligami di Indonesia. Salah satunya adalah Puspo Wardoyo, pengusaha kuliner yang juga pelaku poligami dengan empat istri dan menjabat Presiden Poligami Indonesia.
Situs salingsilang.com mencatat, linimasa Twitter pada Rabu, 23 November 2011 malam, ramai membahas poligami. Pemicunya adalah tayangan Mata Najwa di tanggal tersebut. Salingsilang.com adalah sebuah situs yang menyajikan informasi terkini tentang apa yang tengah ramai diperbincangkan di Internet, khususnya di berbagai kanal sosial media di Indonesia. @jeckodephe, misalnya, menulis, “Nara sumber mata najwa: “kalo poligami namanya bukan cerai, tapi mengundurkan diri” lu kata jabatan wkwkwkw”. Atau, @bulanjelita yang berkicau, “geleng kepala nonton mata najwa…di poligami ada namanya reshuffle istri *senewen berat*”
Belum setahun menjumpai pemirsa, Mata Najwa telah mendulang sejumlah penghargaan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menganugerahkan KPI Award 2010 untuk episode “Separuh Jiwaku Pergi” yang tayang pada Rabu, 30 Juni 2010. Episode ini memaparkan kisah cinta mantan Presiden BJ Habibie dengan mendiang istrinya, Ainun Habibie. “Padahal episode itu bukan tipikal Mata Najwa,” kata sang mepunya program. Maksudnya, bukan mengangkat tema politik atau hukum yang sedang mencuat. Bukan pula mengusung tema sejarah.
Lau, Mata Najwa sebagai program acara diganjar penghargaan sebagai program talk show inspiratif 2011 versi Dompet Dhuafa. Penyerahan penghargaan berlangsung di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 13 Agustus 2011. Organisasi nirlaba itu menilai, “Program ini menyajikan “gaya” yang berbeda dari program talk show lainnya. Mengangkat tema-tema yang unik di bidang sosial, politik, kemasyarakatan. Sebagai sebuah tayangan, “Mata Najwa” yang dipandu oleh Najwa Shihab ini dikemas dengan santai, tak menggurui, dan menggelitik….Tayangan ini sangat menyentuh dan sangat baik sebagai wahana meningkatkan kepedulian dan sebagai penambah wawasan penonton.”
Di pengujung 2011, giliran Najwa yang memperoleh penghargaan. Ia memperoleh penghargaan dari Asian Television Awards sebagai pemenang kedua atau Highly Commended untuk kategori Best Current Affairs Presenter dalam program Mata Najwa. Penentuan pemenang pada Asian TV Awards dilakukan oleh panel juri yang beranggotakan senior TV broadcaster dari berbagai negara di Asia. Najwa bersaing dengan Bernard Lo, presenter CNBC Asia Pacific Singapore dalam program Straight Talk with Bernie Lo.
***
Pada akhir 1999, ada iklan di koran soal kesempatan magang selama tiga bulan di RCTI. Najwa yang tinggal menulis skripsi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tertarik dan mengirim lamaran. Diterima.
Di saat itu, banyak reporter yang mengambil cuti lebaran dan Natal. Konsekuensinya, reporter magang kemudian benar-benar diberdayakan. Tak biasanya reporter magang diberi tugas-tugas berat. Lazimnya hanya diminta mendampingi reporter senior. Najwa hanya diminta tandem di dua liputan pertama. Selebihnya, ia jalan sendiri—bersama juru kamera, tentu.
Ia meliput isu ekonomi, mudik, juga banjir tahunan di Jakarta. “Ada Menteri Luar Negeri Belanda datang, saya yang diminta mewawancarai,” kata Najwa. Karena pamannya, Alwi Shihab, menjadi Menteri Luar Negeri, ia pun sering ditugaskan di Departemen Luar Negeri. “Untuk memudahkan, biar punya akses,” kata Najwa, sambil tertawa. Juga meliput ke acara-acara kedutaan asing di Jakarta.
Pada saat bersamaan, Andy F. Noya juga sedang “dimagangkan” terkait rencana pendirian Metro TV. Andy nyaris hanya tahu soal media cetak. Karena itu, Surya Paloh, bos Metro TV, menitipkannya di RCTI untuk belajar cara mengelola TV. Di sana, Najwa berkenalan dengan Andy.
Selesai magang di RCTI, Najwa balik ke kampus untuk menyelesaikan skripsi. Di saat itulah, Andy menelepon, mengajaknya bergabung dengan Metro TV. Kelar skripsi, Nana mengirim lamaran ke Metro TV dan RCTI. Keduanya diterima tapi akhirnya ia Metro TV. “Kalau mau jadi reporter berita, masuklah ke TV berita, “ demikian jalan pikirannya.
Ia pun memilih jurnalisme. Suaminya, Ibrahim Assegaf, tak keberatan. Baim, panggilan akrab Ibrahim, adalah senior Najwa di Fakultas Hukum UI. Kini, Ibrahim berkarier sebagai seorang pengacara.
Saat kuliah, Najwa memilih jurusan litigasi. Ia berharap bisa menjadi hakim di pengadilan anak. Ini minoritas di Fakultas Hukum UI. Kebanyakan rekannya memilih hukum ekonomi atau corporate law. Di jurusan itu, Najwa kerap ikut lomba pengadilan semu. “Kemampuan berbicara dan berdebat di lomba itu terpakai juga saat menjadi pembawa acara talk show,” katanya.
Direkrut sebagai reporter-presenter, ia masuk ke Metro TV pada 1 Agustus 2000 dalam keadaan hamil tiga bulan. Najwa adalah generasi pertama presenter yang direkrut bersama Sandrina Malakiano dan Wianda Pusponegoro—keduanya kini sudah tak di Metro TV lagi. Sebulan pertama, ia berada di Kairo, Mesir, untuk membuat liputan Ramadhan. Saat itu, ayah Najwa, Quraish Shihab, tengah menjabat Duta Besar Republik Indonesia untuk Mesir.
Di saat hamil, sesekali ia muncul di layar. Ia benar-benar muncul beberapa bulan setelah melahirkan Izzaat pada Februari 2001. Di tahun-tahun pertama itu, ia menjadi host untuk acara Metro Hari Ini, Today’s Dialogue, dan Save Our Nation. Ia pun berkesempatan mewawancarai sejumlah tokoh, dari dalam dan luar negeri seperti Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan mantan Deputi Perdana Malaysia Anwar Ibrahim yang saat itu baru saja dibebaskan dari bui.
***
Tak selalu Najwa memperoleh penilaian positif. Hasil riset saya, pengamat jurnalisme Andreas Harsono pernah melontarkan kritik di blog-nya. Ia menulis:
Pada 8 Mei 2009, mereka (Jusuf Kalla dan Wiranto, YA) memilih untuk tampil berdua di Metro TV. Ini penampilan mereka pertama setelah menyatakan siap untuk bertanding melawan Presiden Yudhoyono. Wajar jika banyak orang, setidaknya di Jakarta, ingin tahu apa yang hendak ditawarkan Jusuf Kalla.
Alamak! Interview tersebut jadi terganggu karena kekurangsiapan Metro TV. Mereka memasang Najwa Shihab, seorang wartawan Metro TV, untuk memimpin interview. Saya terganggu karena Shihab lebih panjang bicara daripada memberi kesempatan kepada Kalla dan Wiranto. Mungkin kesimpulan saya salah.
Maka saya menuangkan pikiran tersebut ke dalam Facebook. Ini sebuah media sosial dimana ketika interview berlangsung, ternyata tanggapan orang beruntun masuk ke dalam wall saya. Tanggapan datang dari cukup banyak wartawan. Mereka kebanyakan setuju dengan saya. Najwa Shihab bicara lebih banyak daripada nara sumbernya.
Di lain kesempatan, justru yang “terdesak” oleh narasumber, yaitu Yusril Ihza Mahendra. Pada Mei 2007, ia diberhentikan di tengah jalan dari jabatannya sebagai Menteri Hukum dan HAM oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak lama setelah itu, Metro TV mendapat kesempatan untuk mewawancarainya. Najwa di studio, Yusril di rumahnya.
Alih-alih menjawab secara serius pertanyaan Najwa, pakar Hukum Tata Negara itu membelokkan pertanyaan Najwa ke hal-hal pribadi. Misalnya, Yusril berkata, “Tanya aja ke oom kamu, Pak Alwi Shihab. Dia kan pernah juga juga di-reshuffle. “
Pada 5 Desember 2005, Alwi memang diberhentikan dari jabatan Menko Kesra. Sepanjang kariernya, Najwa selalu “menolak” jika diminta mewawancarai Alwi. Supaya tidak bias. Hanya satu perkecualian, yaitu saat Metro TV membikin tayangan “Lebaran Bersama Keluarga Shihab” pada 2009. Najwa, bersama Prabu Revolusi, menjadi host-nya.
Terkait dengan rencana pasca-reshuffle, Yusril juga bergurau, “Saya mau melamar jadi penyiar Metro TV saha. Berapa sih gajinya?”
Najwa mengaku, saat itu, salah tingkah. Ia tak siap diserang secara pribadi. Ia berusaha menutupi dengan tertawa. Ketika ia ingin wawancara itu cepat berakhir, produser di master control justru ingin mengulurnya karena menganggap sebagai show yang menarik. Perbincangan berlangsung dua segmen, sekitar 14 menit. “Itu wawancara yang sulit buat saya,” kata Najwa, sembari tersenyum.
Perasaan diintimidasi juga dirasakan saat ia hendak mewawancarai salah seorang pejabat di era Orde Baru. Merasa akan “diserang” soal andil di Era Reformasi dan peran di masa Orde Baru, sebelum wawancara, ia mengatakan,”Ayah kamu juga menterinya Pak Harto, lho.” Sang pejabat, Najwa menolak menginformasikan identitasnya ke saya, seperti mengirim pesan: jangan galak-galak. Quraish Shihab pernah menjadi Menteri Agama RI (14 Maret 1998-21 Mei 1998).
***
Pada Minggu, 26 Desember 2004, Aceh dan Nias dilanda gempa dahsyat. Saat itu, Najwa adalah asisten produser di Today’s Dialogue. Baru sekitar sebulan ia di posisi tersebut. Saat terdengar Aceh gempa, namun belum tahu ada tsunami, terpikir untuk menjadikannya tema perbincangan di acara tersebut. Ia berpikir, akan lebih oke jika ada yang pergi ke lapangan. Pada Minggu malam, ia menelepon atasannya, Endah Saptorini, dan bilang, “Saya akan mengusahakan live dari Aceh.”
Najwa bergerak cepat. Mengontak beberapa teman, mencari tahu pesawat yang bisa ditumpangi karena penerbangan komersial dihentikan. Akhirnya, ia mendengar Jusuf Kalla, wakil presiden saat itu, akan berangkat ke Aceh pada Senin pagi, 27 Desember. Ia pun menelepon sekretaris JK. Tim Metro TV bisa ikut rombongan.
Ia tiba pada pukul 06.OO di Lanud Halim Perdanakusumah. Berangkat bersama seorang juru kamera, Najwa membawa pakaian ganti untuk dua atau tiga hari. Ada beberapa jurnalis lain menyertai JK. Tetap belum dengar kabar soal tsunami karena semua komunikasi putus. Mereka menyangka hanya akan menghadapi dampak gempa biasa.
Keanehan baru dirasakan Najwa saat mereka tak mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Mereka diarahkan ke sebuah lapangan terbang militer. Saat mendarat, JK tak dijemput dengan sedan mewah, melainkan oleh sebuah truk tua.
Dalam perjalanan menuju pusat kota, ia akhirnya melihat betapa hancurnya Banda Aceh. Lapangan Blang Padang, alun-alun Banda Aceh, sudah seperti pasar yang becek, jorok, dan bau. Bukan oleh tumpukan sampah, melainkan timbunan mayat manusia. Di Minggu pagi itu sedang berlangsung lomba marathon. Ada ribuan orang berkumpul. Mereka semua disapu air yang begitu deras. “Melihat ke atas, saya melihat ada jenazah tersangkut di pohon,” kata Najwa.
Yang juga bikin shock, “Saya belum pernah lihat ada orang yang begitu putus asanya,” kata Najwa. Begitu kehilangan harapan. Najwa bertemu seorang pria dengan tatapan mata yang kosong. Ia kehilangan anaknya.
Semua infrastruktur hancur, termasuk telekomunikasi. Karena itu, pada hari pertama, Najwa melaporkan hasil liputannya cuma via telepon. Laporan langsung lewat satelit baru bisa dilakukannya hari kedua.
Total lima hari Najwa di sana. Tinggal di kompleks gubernuran yang selamat dari terjangan tsunami. Tapi, birokrasi lumpuh selama beberapa hari pertama. Aparat pemerintahan lokal juga sibuk dengan keluarg masing-maisng. Masyarakat bingung ke mana harus mengadu. Mereka hanya melihat para kru televisi, termasuk Metro TV. Untuk sesaat, para jurnalis itu menjadi semacam alternatif. Ada seorang ibu yang menitipkan foto anaknya yang hilang ke Najwa. Ada juga seorang ibu yang meminta susu untuk bayinya.
“Memang kalau hari pertama atau kedua, wajar belum ada posko. Tapi, jika hari kelima dan keenam belum ada posko, keterlaluan. Laporan saya agak keras soal ini,” kata Najwa. Tak urung, laporan Najwa juga menyentil kinerja sang paman, Alwi Shihab, yang saat itu menjabat Menko Kesra. Selain keras, juga emosianal. Dalam sebuah kesempatan, Najwa menangis saat melaporkan situasi.
Pada hari terakhir 2004, JK pulang ke Jakarta. Najwa kembali ikut. Di pesawat, politisi Partai Golkar Aburizal Bakrie berkata, “Tuh, gara-gara kamu menangis saat laporan, Pak Alwi harus ke sana.” Seminggu setelah bencana, Alwi akhirnya berangkat ke Aceh dan berkantor di sana untuk beberapa lama.
Mulai hari ketiga, ada yang mulai tak beres. Najwa merasa semua beban ada dirinya. Nanti kalau ia pulang, siapa yang urus mereka, begitu ia membatin. Psikologisnya mulai bermasalah. Kerap menangis atau melampiaskan amarah. Pulang adalah solusi.
Setelah sampai Jakarta, selama beberapa hari, ia tak berani membuka telepon genggamnya. Karena, kala membuka kiriman SMS, ada banyak pihak yang meminta bantuannya. Ia memilih tak menjawab karena merasa tak akan bisa banyak menolong.
Liputan lima hari itu diapresiasi. Pada 2 Februari 2005 lalu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberi penghargaan PWI Jaya Award. Menurut sekretaris PWI Jaya Akhmad Kusaeni, liputan Najwa telah membuat Indonesia menangis. Lalu, pada Hari Pers Nasional (HPN) 2005, Najwa meraih penghargaan HPN Award. PWI pusat menilai, perempuan kelahiran 16 September 1977 ini adalah wartawan pertama yang memberi informasi tragedi tsunami secara intensif.
***
Memasuki 2009, Indonesia dibuat heboh dengan kasus yang melibatkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah. Mereka dituding menerima suap dari Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang disidik KPK.
Kabar itu pertama kali meluncur dari Ketua KPK non-aktif Antasari Azhar yang membuat testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan KPK. Ia juga mengaku pernah menemui Anggoro di Singapura. Antasari dinonaktifkan karena menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.
Pada 15 Juli 2009, Anggodo Widjojo (adik Anggoro) dan Ari Mulyadi membuat pengakuan telah menyerahkan uang Rp 5,1 miliar ke Bibit dan Chandra. Belakangan, Ari Muladi mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) itu, sekaligus menegaskan bahwa dirinya tak pernah menyerahkan uang ke Bibit dan Chandra.
Najwa adalah jurnalis pertama yang sanggup menghadirkan Ari Muladi dan membahas kontroversi itu. Wawancara itu disiarkan Metro TV pada Jumat siang, 6 November 2009. Untuk mewawancarainya, Najwa harus berjuang keras. Ari Muladi tak mau diwawancarai. “Apa untungnya buat saya,” kata Najwa menirukan penolakan Ari saat dihubungi Jawa Pos, sehari setelah tayangan tersebut. Ari masih mengkhawatirkan posisinya. Status tersangka mengharuskan ia wajib lapor ke Bareskrim Polri.
Najwa melobi pengacara Ari Muladi, Sugeng Teguh Santosa. Upaya membujuk itu berlangsung selama dua dua hari secara intensif. Ari Muladi terus menolak. Dia tak mau muncul. Namun, Najwa tak menyerah dan akhirnya dipertemukan langsung dengan Ari Muladi. Najwa menjanjikan bahwa wawancara itu akan membuat keterlibatan Ari jadi terang-benderang.
Kendati Ari Muladi sudah luluh, masalah pun belum selesai. Pasalnya, pengusaha itu tak ingin wawancara tersebut disiarkan langsung alias live. Bahkan, dia minta tempat wawancara itu dirahasiakan. Wawancara tersebut dilakukan di sebuah rumah di Jakarta Selatan. Sugeng yang menentukan tempat tersebut. “Makanya, kami pakai backdrop putih saat wawancara itu. Biar tak ketahuan lokasinya
Wawancara yang berlangsung sekitar setengah jam tersebut selesai ekitar pukul 11.00 WIB. Beberapa jam kemudian, hasil wawancara itu langsung ditayangkan. Kata Najwa, “Kami nggak pakai duit. Ini murni dia mau.”
Dalam wawancara itu, Ari Muladi menegaskan, dirinya memang telah mencabut BAP pertama yang menyatakan pernah memberi uang pada Chandra dan Bibit. Yang sebenarnya, kata Ari Muladi, uang dari Anggodo diserahkan kepada seseorang bernama Yulianto untuk diteruskan kepada pimpinan KPK . Tapi ia tidak tahu apakah uang itu sampai atau tidak.
Ari Muladi mengakui telah tidak jujur saat diperiksa oleh polisi pada 15 Juli 2009. “Saya berbohong pada BAP pertama, mengaku bahwa saya pelakunya (yang meyerahkan duit ke Bibit dan Chandara, YA) karena saya ingin menolong teman saya, Anggodo. Saya bohong, seolah-olah saya yang di depan, yang melaksanakan ” kata Ari Muladi.
“Bagaimana kita bisa yakin bahwa Pak Ari tidak sedang berbohong lagi sekarang?”
“Gimana, ya…Saya tidak pernah bertemu dengan mereka.”
“Tidak pernah bertemu Chandra, Bibit, dan Ade Raharja (pejabat KPK, YA)?”
“ Tidak pernah sekali pun.”
……….
“Secara singkat, apa yang benar? Apa yang menganggu hati nurani Pak Ari sehingga Anda mengubah keterangan? Apa yang sebenarnya?“ tanya Najwa
“Yang sebenarnya, kalau saya berpegang pada BAP pertama, berarti saya akan menzalimi orang lain, akan membuat susah orang lain….Mending saya keluarga saya yang susah daripada keluarga orang lain yang susah.”
“Anda merasa telah menzalimi Chandra dan Bibit?” kata Najwa.
“Ya, dengan BAP yang bohong itu, saya merasa (menzalimi, YA)…”
“Kalau Anda bertemu dengan Chandra dan Bibit, apa yang akan Anda sampaikan?”
“Saya akan meminta maaf ke beliau berdua, karena telah membuat nama beliau berdua tercemar dan mungkin keluarga mereka juga harus menanggung apa yang telah saya lakukan.”
Bersama sejumlah temuan lain, pernyataan Ari Muladi kian menguatkan dugaan kriminalisasi pimpinan KPK oleh sejumlah pihak—terutama di kepolisian RI. Tak ada bukti kuat, Chandra dan Bibit lepas dari jerat hukum.
***
Kami bertemu di medio Januari 2012. Najwa baru saja bisa keluar rumah setelah memulihkan diri pasca-persalinan anak keduanya, Namiya, pada 17 Desember 2011. Persalinan itu berujung duka karena Namiya meninggal dunia sekitar empat jam setelah dilahirkan. Karena alasan tertentu, operasi dilakukan saat kandungan berusia tujuh bulan. Di saat mengandung, Najwa juga beberapa kali diharuskan beristirahat. Mata Najwa jalan terus. Kala Najwa absen, posisinya digantikan Kania Sutisnawinata—yang juga terbilang senior di Metro TV.
Najwa menikah di usia muda: 20 tahun. “Saya merasa sudah menemukan pria yang tepat sebagai suami. Buat apa menunda kebahagiaan?!” kata Najwa. Bukan tanpa preseden. Kakaknya, Najeela, bahkan menikah di usia 19.
Semasa SMA ia terpilih mengikuti program American Field Service (AFS), semacam kegiatan pertukaran pelajar, selama satu tahun di negara bagian New York, Amerika Serikat. Ia memetik banyak manfaat dari program ini. Misalnya, “Saya jadi lebih berani bertemu dan berinteraksi dengan orang lain,” katanya. Maklum, hampir saban minggu, ia mesti berbicara di depan umum soal Indonesia—dalam bahasa Inggris, tentu saja.
Saat pulang, ia harus masuk kelas 3 SMA saat teman-temannya telah lulus. Di SMA 6 Jakarta itu, nilai rapor Najwa bagus. Ia pun masuk UI tanpa tes, lewat program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) yang semata melihat nilai-nilai di rapor.
Perjalanan hidupnya memang tak asing dengan penghargaan. Pada 2006, ia terpilih sebagai Jurnalis Terbaik Metro TV dan masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards. Pada tahun yang sama, bersama sejumlah wartawan dari berbagai negara, Najwa terpilih mengikuti Senior Journalist Seminar di sejumlah kota di AS dan menjadi pembicara pada Konvensi Asian American Journalist Association.
Setahun kemudian, selain kembali masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards, ia juga masuk nominasi (5 besar) ajang di tingkat Asia, yaitu Asian Television Awards untuk kategori Best Current Affairs/Talk Show presenter.
Najwa juga meraih penghargaan Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Geneva, Swiss. Penghargaan YGL setiap tahun terhadap para profesional muda berusia di bawah 40 tahun dari seluruh dunia. Ribuan kandidat diseleksi secara ketat oleh sebuah panitia seleksi yang dipimpin Ratu Rania Al Abdullah dari Yordania.
Dalam surat yang ditandatangani Executive Chairman The Forum of Young Global Leaders, Klaus Schwab dan Senior Director Head of The Forum of Young Global Leaders, David Aikman, Najwa terpilih sebagai YGL 2011 karena pencapaian profesional, komitmen terhadap masyarakat, dan kontribusinya dalam membentuk masa depan dunia.
Saat kami bertemu, Najwa masih cuti dari kantor. Mulai Februari 2012, ia akan tampil kembali di layar kaca. Muncul dengan pembukaan khas ini: “Selamat malam, selamat datang di Mata Najwa. Saya, Najwa Shihab, tuan rumah Mata Najwa.”
[Dimuat pertama kali dalam Jurnalis Berkisah, Metagraf, 2012]