Saat didera batuk dan flu, kemarin saya menonton satu episode “New Lives in The Wild” di BBC Earth. Pada episode itu, Ben Fogle, sang host, terbang dari London ke Filipina untuk menemui Neil Hoag.
Neil meninggalkan Florida, AS, untuk menjemput kehidupan baru di pedalaman Filipina. Ia menikahi Margie, perempuan setempat, dan menjadi satu-satunya pria bule di desa tersebut.
Di Florida, Neil menjadi pengemudi taksi. “Hanya sedikit lebih baik ketimbang pembersih toilet,” kata pria plontos itu kepada Ben.
Dia membangun hidup bersama Margie dan tiga anak lelaki mereka — yang lahir kemudian. Rumah mereka di puncak bukit. Bahannya kombinasi bambu dan dinding semen. Puluhan anak tangga tersusun menuju ke sana. Dari rumah itu, panorama elok terhampar.
Kepada Ben, sengaja saya tak terjemahkan, Neil mengatakan, “My life here is living the dream. People are afraid to let go of what they are familar with. You have to overcome that fear and know you can break free from the mainstream, you can break free from the herd and be captain of your own destiny.”
Di dusun itu, Neil merasa bahagia. Padahal di sana dia harus banyak melakoni aktivitas fisik. Terpencil. Jauh dari keramaian manusia. TV, telepon, dan Internet pun tiada.
Setiap tahun, selama dua bulan, Neil pulang ke Florida. Selain menemui anaknya yang lain, dia bekerja (lagi) sebagai sopir taksi. Ketika duit terkumpul, Neil balik ke Pulau Leyte untuk “mereguk nikmat” hidup.
Saya teringat cerita seorang teman yang mengundurkan diri dari kantornya. “Saya ingin punya waktu luang lebih banyak, tidak melulu bekerja atau memikirkan pekerjaan,” ujar dia.
Padahal perusahaan teman saya itu sedang bersinar dan melaju kencang. Dia justru mengelak, enggan terjebak di zona nyaman — dengan sejumlah kepastian di dalamnya.
Pindah ke mana dia? Perusahaan lain yang kelasnya jauh di bawah perusahaan terdahulu. Tapi ada di sana, dia bilang, “Saya bisa sering ketemu teman-teman, jalan-jalan. Pokoknya punya social life yang pantas.”
Sambil menahan perih radang di tenggorokan, saya membatin, teman itu telah menjadi “captain of his own destiny” seperti disarankan Neil Hoag.