selamat jalan, yopi

Yopi,

Aku ambil buku bersampul hitam itu. Lumayan tebal, hampir 500 halaman. Judulnya ditulis dengan tinta merah: Catatan Pinggir 4.

Selembar plastik bening melapisi, semacam ikhtiar menunda kerusakan. Buku itu milikmu, Bung. Aku meminjam dan belum juga mengembalikan. Memalukan ya? Begitulah…hehe…

Tadi malam aku mencomotnya dari rak buku. Mengelus-ngelus, merasakan debu halus di sekujur tubuhnya. Membuka-buka lagi. Sebagian kertasnya sudah mulai menguning. Menua sebagaimana kita.

Lalu aku terhenti di halaman 339. Goenawan Mohamad, penulis antologi tersebut, menghadirkan esai berjudul Universitas. Setelah lulus, dirimu memilih jalan hidup sebagai guru para mahasiswa,  jauh dari Bandung—tempat kita bertemu dan bergaul. Di Padang, kampung halamanmu.

Goenawan menulis, “Bisakah birokrasi perkuliahan memungkinkan mahasiswa menjelajah ilmu seluas-luasnya hingga melintasi batas-batas fakultas dan jurusan? Bisakah para pengajar membuktikan bahwa mereka bukan pemamah-biak teks-teks usang, bukan pembeo pendapat orang lain? dan bahkan bukan pemplagiat karya-karya tulis mahasiswa sendiri?”

Dirimu menjadi birokrat kampus. Ketua jurusan dan penggenggam beberapa jabatan lain. Namun, aku yakin, dirimu bukan birokrat yang “menyembah” kursi dan mengabaikan rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Kawan kita, Philips Vermonte, menulis tentang dirimu, “Bila umurnya dilebihkan, saya amat yakin dia akan menjadi model intelektual yang menjalani laku asketisme, sederhana, dan rendah hati.”

Ya, kini semua berakhir. Di wall-mu, berlimpah ucapan dari teman, kolega, mahasiswa, dan mantan mahasiswa. Semua memuji dan menaruh respek padamu, Bung. Juga mendoakan.

Aku petik salah satunya: “Masih teringat cara beliau mengajar di kelas membebaskan mahasiswanya untuk berfikir, dan cara khas beliau untuk memilah-milih kata yg cukup filosofis yg maknanya sangat membuka fikiran. Benar memang segala sesuatu itu terasa sangat penting dan berharga ketika sesuatu itu telah hilang meninggalkan kita.”

Sejak sama-sama lulus, kita nyaris tak pernah bertemu. Terakhir kita bercakap-cakap via telepon pada 2009. Saat itu, Padang diguncang gempa besar. Aku menghubungi dari kantor. “Kami baik-baik saja di sini,” ujarmu di ujung telepon.

Istriku, Raya, tergerak ikut memegang Catatan Pinggir 4. Ia membuka dan tampak tertegun di halaman terdepan. Di situ, ada goresan penamu, “Adakah kenikmatan lain daripada bersyukur pada-Mu?”

“Religius ya Yopi itu…” cetusnya.

Aku hanya terdiam. Menjulurkan ingatan ke masa silam, ke masa perkuliahan yang bergelora.  Selamat jalan, Yopi. Semoga damai bersama-Nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *