Duh, lama juga saya menelantarkan. Berbulan-bulan tak mengirim sepucuk pun catatan ke blog ini. Tiba-tiba almanak 2012 telah masuk keranjang sampah. Datanglah tahun yang mendebarkan sebagai seorang ayah: Havel dan Kafka akan menempuh jenjang sekolah lebih tinggi.
Tapi, jauh lebih mendebarkan sesungguhnya saat harus menemui kenyataan bapak saya masuk rumah sakit, beberapa hari menjelang 2013. Terjatuh di kamar mandi. Kepalanya berdarah. Dua hari kemudian, kaki dan tangan kirinya mendadak lemah. Di usia 71 tahun ini, ia diserang stroke.
Suatu malam, ketika mengunjunginya di RS Fatmawati, mendadak mata saya hangat. Ingatan menjulur ke masa silam ketika kami berangkat di hari Minggu itu ke Bandung. Saya diterima di Unpad dan mesti lapor diri. Bapak mengantar. Malam telah matang saat kami sampai di terminal Kebon Kelapa. Tak punya kerabat, kami pun menginap di sebuah losmen sederhana di Jalan Pungkur, tak jauh dari terminal.
Pagi harinya, kami berangkat ke Kampus Dipati Ukur dengan menggunakan angkot Kebon Kelapa-Dago. Bandung belum semacet sekarang. Udaranya masih bersahabat. Factory outlet? Barang itu baru muncul bertahun-tahun kemudian.
Bapak hanya menunggu di seberang kampus. Di sebuah warung. Saya bergegas menuju tempat registrasi dengan membawa berkas-berkas. Plus mengantongi uang untuk membayar ini dan itu. Kayaknya hanya Rp 600 ribu-an.
Ya, di tahun itu, saya menjejak jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saya tak pernah tanya apakah bapak berdebar-debar ketika saya akan menempuh ujian masuk kampus negeri.
Hal yang saya tahu, bapak kesal dan kecewa karena saya masih belum serius mempersiapkan diri meski sudah kelas 3. Kerap telat pulang tanpa mengirim kabar. Terkadang memang ada urusan organisasi. Terkadang cuma nongkrong gak jelas di sekitar Bulungan, tak jauh dari sekolah.
Hubungan kami renggang tersebab hal itu. Dalam kasus saya, situasi internal bukan faktor. Saya tak punya masalah seperti, misalnya, pelukis Nashar dengan sang bapak. Dalam memoarnya, nashar oleh nashar, ia bercerita tentang sosok ayahnya yang dingin dan otoriter. “Apa saja yang akan aku lakukan selalu dimulai dengan rasa takut, takut kalau dimarahi ayah,” tulis pria eksentrik itu.
Hanya panorama eksternal yang begitu menggoda. Rumah bukan masalah, tapi “dunia luar rumah” terlihat sangat mengasyikkan untuk dijelajahi. Bapak saya yang justru pertama kali memperkenalkan “dunia luar rumah” itu. Ia mengajak saya –saat saya duduk di kelas 3 atau 4 SD– ke sekolah yang dipimpinnya. Ada perpustakaan. Saya menjenguk koleksinya. Saya masih ingat dua buku yang saya pinjam dari sana: biografi sahabat Nabi Muhammad SAW, Khalid bin Walid, dan memoar pujangga Nur Sutan Iskandar yaitu Pengalaman Masa Kecil.
Saya baru serius pada dua-tiga bulan menjelang ujian. Syukurlah belum terlambat. Pada kenyataannya, saya tak punya banyak pilihan. Saya hanya tersenyum ketika beberapa teman mengajak mendaftar Trisakti atau Unpar sebagai cadangan. Gaji PNS bapak tak akan cukup untuk membiayai sekolah di sana.
Tadi pagi, saya telepon ibu. Bapak sudah semakin membaik. Tak perlu lagi menggunakan tongkat untuk berjalan.
Tapi ia tak lagi bisa menjemput Havel ke sekolahnya dengan sepeda motor. Kami sepakat melarangnya bermotor pasca-stroke. O, iya, sesekali Havel tak bisa ikut mobil Pak Haji Munasik–mobil antarannya dari sekolah. Mungkin karena terlalu sore pulang field trip atau alasan lain. Kalau sudah begitu, bapak akan mengajak Havel ke rumah Rempoa–rumah tempat saya dan adik-adik dibesarkan. Malam harinya, saya dan atau istri menjemput.
Bahkan, ketika sudah umur segini, saya masih merepotkan bapak. Ya, terkait Havel dan sekolahnya. Mengingat hal itu, saya bersyukur. Belum tega saya melepas bocah itu naik-turun angkot menuju rumah.
RS Fatmawati telah sepi dari para pembesuk. Gerimis di luar. Kami beranjak pulang ke Cinere. Dalam hati saya bergumam, “Pak, terima kasih untuk semuanya.”