catatan: di grup facebook kelas kuliah kami, Michael Dhadack Pambrastho, menyampaikan apresiasi sekaligus kritik terhadap Jurnalis Berkisah yang saya tulis. di bawah, saya salin-rekat komentar mantan demonstran di kampus itu. perihal respons saya, versi di sini lebih panjang ketimbang yang nongol di grup.
Dhadack:
puji tuhan, masih bisa menyisihkan dana buat “jurnalis berkisah”. siang tadi aku mendapatkannya. semoga nambah berkah buat havel dan kundera. baru sempet baca metta, linda dan maria. hmmm…imaji mengembang, memori berkelana dan mata sempet juga “mbrebes mili”. terima kasih untuk itu, kawan yus. tapi ada sedikit harap yang menggantung (atau mungkin tak sepenuhnya terpenuhi?) seperasaanku, yus masih terlalu faktual, kurang berani eksploratif dengan intuisi-intuisinya. kalau dalam istilah perwacanaan, mungkin teks-teksnya lebih banyak “narasi” dan “deskripsi”, kurang “argumentatif”. entahlah.
aku kurang paham kiblat jurnalisme yus belakangan ini atau pada saat menulis “jurnalis berkisah” mengenai konsep “objektivitas”. tapi meninjam ungkapan filsafat, sebenarnya, aku berharap yus lebih berani “spekulatif”. aku teringat program jurnalisme “BASIS”. kurang lebih seingatku ada ditulis begini oleh sindhunata: “fakta ada di mana-mana, Basis mengantar anda kepada makna”. pemaknaan atas berbagai fakta yang dibentangkan dalam pelbagai kisah itu mungkin yang masih terlampau minim buatku diberi oleh yus. aku rindu subyektivitas yus. …. tapi itu hanyalah opini seorang yang meski pernah belajar jurnalistik tapi terbilang orang luar, dalam dunia jurnalisme (profesional)….secara keseluruhan: terima kasih karena telah menulis sesuatu….bongkar kebekuan-kebekuan yang ada!!! masih jauh rasanya pembebasan “itu” (itu pun kalau memang ada…hehehe….). salam. tuhan memberkati….
Yus:
mas bro, terima kasih telah sudi membaca. soal gaya menulis, aku memang hanya ingin jadi pendongeng di buku ini. memang, sejak beberapa waktu lalu aku sedang coba mengakrabi karya-karya naratif. lagi ingin agak berjarak dengan karya yang sesak dengan dalil/argumentasi/petuah–terutama yang memperlihatkan penulisnya hanya “sok pintar” dan bukan benar-benar cendekia. semoga ini tak menerbitkan label anti-intelektualisme…hahaha…
bekerja sebagai pendongeng, hasilnya adalah narasi. bukan esai biografis seperti, misalnya, kita jumpai di Manusia dalam Kemelut Sejarah [masih menyimpan antologi terbitan LP3ES itu, bung?]. aku belum terpikir untuk sejauh Onghokham dalam menafsirkan kepribadian seorang Soekarno atau Romo Mangun yang menulis ulang peran Sjahrir dalam revolusi 1945 dan masa-masa awal kemerdekaan.
yang menari-nari di benak adalah tulisan semacam Ali Now karya Cal Fussman di Esquire. itu sebuah kisah yang ditulis dengan kepekaan humanistis dan kemahiran literer kelas satu. indah dan menggugah.
oke, sekarang soal subyektifitas. unsur subyektif tetap hadir, terutama di awal saat memilih siapa yang diangkat. misalnya, dengan mencomot Muhlis Suhaeri yang kerja jauh dari hiruk-pikuk Jakarta tapi menghasilkan karya jempolan. beberapa teman yang tahu di awal bereaksi, “apa nilai jual dia? siapa kenal dia?”
aku jawab: ini barang jualan tapi ngono yo ngono yen ojo ngono. buku ini juga harus lempar “pesan” lain. kalo mau murni jualan, mending angkat para jurnalis selebritis aja. jadi, kawan, mungkin di situ “proses pemaknaan” atas jagat kewartawanan berlangsung.
lanjut sedikit lagi. apakah “narasi” menghalangi munculnya elemen “subversi”? tidak juga, kawan. yuk, baca lagi bab Maria Hartiningsih, khususnya pada bagian ini:
“Suatu kali Maria sempat menyebut soal comfort zone seorang wartawan. “Comfort zone itu sebenarnya merupakan zona semu, tetapi kita tak hirau lagi karena telanjur nyaman, tak perlu kerja keras, punya banyak relasi orang besar dan bangga karena dikenal baik oleh mereka. Dan akhirnya juga posisi struktural yang baik…Saya tidak mengatakan hal itu baik atau buruk. Bagi saya semuanya adalah soal pilihan. Dan saya memilih jalan saya, tetap menjadi jurnalis lapangan,“ tulisnya dalam esai Menolak Logika Koruptif dalam Kerja Jurnalistik yang dimuat di antologi Korupsi Kemanusiaan: Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat (2006).”
ini kritik terhadap banyak jurnalis yang bercita-cita tunggal: menjadi pemimpin redaksi atau jabatan struktural satu-dua lapis di bawahnya. Maria melontarkan gugatan begini kira-kira: elu wartawan? mana karya elu? bagus, gak?
pada Tentang Kehebatan Cerita dan Penuturnya, Linda Christanty menyatakan, “Wartawan tidak menulis opini dalam reportasenya, tapi sikap kritis ditampilkan melalui adegan atau peristiwa.” aku mau tambahkan: juga melalui omongan narasumber.
demikian, kawan. sekali lagi, terima kasih. salam hangat buat keluarga di Buitenzorg.