in memoriam: pram


Waktu kami tiba di Buru, sebenarnya yang pertama-tama ingin saya (
Soemitro, YA) temui adalah pengarang Pramoedya Ananta Toer yang banyak dipertanyakan orang sewaktu saya di Eropa dalam perjalanan pulang dari Aljazair itu. Tapi, hari itu saya tidak bisa menemuinya. Katanya, ia sedang diisolasi, karena malam sebelumnya ia berontak dan merebut senjata. Jadi, ia dipegang dan dimasukkan ke dalam sel, diisolir.

(Ramadhan K.H., Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Sinar Harapan, 1994)

Waktu rumah saya diserbu orang, ada dua puluh naskah saya yang sudah siap untuk diterbitkan. Semua itu kini hilang,” ujar Pramudya. Di Tefaat satu-satunya bacaan yang diizinkan bagi para tapol ialah buku-buku agama, maka saya bertanya,”Baca buku apa di sini, Pram?”
“Catholic Digest,” jawabnya.
“Sudah menemukan Tuhan di sini, Pram?” tanya Mochtar Lubis tanpa tedeng aling-aling.
“Tuhan yang mana?” balik bertanya Pramudya.

(H. Rosihan Anwar, Perkisahan Nusa: Masa 1973-1986, Grafitipers, 1986)

Saja mentjoba menebak sikapnja, ketika saja kebetulan berhasil memperoleh kesempatan berbitjara dengannja tanpa pengawal sore itu di depan Barak XIX. Umurnja 44, saja ingat, tapi di bawah rambutnja jang terlalu tjepat memutih itu sorot matanja tetap seperti dulu, tjampuran keangkuhan dan kepahitan, tangkas, tjerdas, dan keras, tidak djuga redup, memandang sekitarnja tanpa senyum, tanpa ketenteraman dan dengan segaris kebimbangan.

(Goenawan Mohamad, Suatu Hari dalam Kehidupan Pramudya Ananta Toer, dimuat di Potret Seorang Penjair Muda Sebagai Si Malin Kundang, Pustaka Jaya, 1972)

seribu mil lebih sedepa


gubuk sunyi di pinggir danau

diam-diam tersenyum dipeluk mentari senja
yang juga nakal meraba-raba
ujung bunga rerumputan

lagu alam memang sunyi, sayang
apalagi sore ini:
sore ini sore sabtu, sore biasa kita berdua
membelai mentari senja
ujung jalan bandung utara

mentarinya yang ini juga, sayang
cuma jarak yang memisah kita
seribu mil lebih sedepa
seribu mil pun lebih sedepa

lagu alam memang sunyi, sayang
lagipula bukan puisi
cuma bahana yang diam-diam
lalu bangkit dari dalam hati

gubuk sunyi di pinggir danau
lagi jarak yang memisah kita
seribu mil lebih sedepa
seribu mil pun lebih sedepa

lagu dan lirik: Iwan Abdulrachman

(Abah Iwan menggelar konser hari ini, Havel. Tak banyak lagi yang ingat karya-karyanya yang puitis, mengiris-iris. Ah, nostalgia selalu mencari celah untuk menyapa. Suatu ketika, aku ingin mengajakmu mengunyah suasana Lembang dan Dago Pakar. Tentu, tanpa jarak yang memisah kita…)

tuan-tuan yang terlampau bersemangat

Havel,

Puluhan tahun silam, Bertrand Russel menyusun esai bertajuk The Recrudescence of Puritanism. Pada 1988, Mochtar Pabottingi menerjemahkannya untuk antologi karya-karya Russel yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia. Empat tahun kemudian, aku menemukannya. Di hari-hari ini, tulisan filsuf Inggris itu demikian relevan untuk dicerna kembali. Berikut nukilannya:

“Kita harus belajar untuk saling menghormati kebebasan pribadi dan tidak memaksakan kaidah-kaidah moral kita atas orang lain. Kaum Puritan membayangkan bahwa kaidah-kaidah moral mereka itulah kaidah-kaidah moral sejati. Ia tidak menyadari bahwa zaman-zaman serta negeri-negeri, bahkan kelompok-kelompok sosial lain di negeri sendiri, mempunyai kaidah-kaidah moral yang berbeda, yang juga merupakan hak mereka…..Marilah kita berharap bahwa suatu pendidikan yang lebih merata dan suatu pengetahuan yang lebih luas atas umat manusia akhirnya berangsur-angsur akan meredakan semangat tuan-tuan kita yang terlalu bajik.”

mesti berbagi

Havel,

Terkadang, kita tak bisa meraup semua. Ada kepentingan-kepentingan lain yang menuntut pula. Juga keras, bahkan mungkin lebih tegas. Pepatah itu benar belaka: rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda.

Akhirnya, negosiasi dan saling menggelontorkan konsesi menjadi solusi. Kita mesti berbagi. Kompromi. Bersikukuh mutlak-mutlakan? Maaf, itu jalan lempang menuju kehancuran kolektif. Dan, itu terlihat naif jika kita meyakini bahwa kehidupan bukan medan ilmu pasti, melainkan ajang interaksi ribuan kemungkinan.

(Tentu, ada yang tak layak dibagi. Suami, misalnya. Enak beneeeer…ente yang kagak tahan godaan, orang lain yang kudu berkorban.)

Mudah-mudahan, batu pendirian ini mendarat tak jauh dari sebuah titik samar bernama sikap rendah hati. Kesempurnaan memang hanya milik surga.

NB: ibumu mengajakku nonton “Berbagi Suami.” Kamu main dengan Deandra saja, oke?

playboy asoy geboy

Havel,

Maret di depan mata. Aku lagi menanti terbitnya Playboy Indonesia. Kepada salah seorang pengelolanya, aku pernah menyampaikan via e-mail, “Gua sih bisa dipastikan akan cari, minimal, edisi perdananya.”

Tumbuh semacam rasa penasaran. Barangkali lantaran aku tak tahu banyak tentang majalah ini. Salah satu serpihan pengetahuan yang ngumpet di benak adalah Matra mendapuk Playboy sebagai acuan, sebagaimana Tempo memosisikan Time sebagai “kiblat” di tahun-tahun pertama.

Dulu, seraya menghirup udara malam Cikapundung, aku suka berburu Matra bekas. Ya, demi wawancara-wawancara yang mencerahkan, feature-feature yang memikat, esai-esai yang menggugah, cerpen-cerpen yang menggoda. Last but not least, rubrik konsultasi seks Naek L. Tobing yang membombardirkan banyak inspirasi..he..he..

Kemarin sore, ketika menyambangi dunia maya, ada informasi baru: Hugh Hefner, pendiri Playboy, menyusun The Playboy Philosophy pada 1962. “Pledoi” itu dirilis sembilan tahun setelah majalah tersebut terbit pertama kali. Di sana, ia bukan melulu bicara tentang seks, melainkan juga hal-hal lain: kebebasan individu, sensor, represi sosial, dan agama.

Dan, ia tak tanggung-tanggung: manuskrip itu memuat kira-kira 200 ribu kata. Sekadar perbandingan, teks berita satu halaman majalah mengandung 600-700 kata.

Empat puluh tahun kemudian, saat diwawancarai CNN, Hefner, mengatakan, “I’ve never thought of Playboy, quite frankly, as a sex magazine. I always thought of it as a lifestyle magazine in which sex was one important ingredient.

Begitulah. Kapan-kapan, asyik juga mungkin jika kita ngobrol soal isi Playboy Indonesia sambil mengunyah kudapan di beranda belakang. Jangan sekarang. Benda itu belum datang…

fromm di februari


Havel,

Di Februari ini, ada baiknya sejenak kita mengenang Erich Fromm, filsuf cum psikolog yang wafat pada 1980.

Ketika aku sekolah di Bandung, pria Yahudi ini lumayan populer di kalangan aktivis mahasiswa–sebagaimana juga anggota Mazhab Frankfurt yang lain. Di kepengapan udara sosial-politik saat itu, Fromm memang inspiratif. Kritik-kritiknya atas kondisi masyarakat modern setajam pisau bedah.

Dan, ia bicara pula tentang cinta dengan subtil bin memesona. Simak petikan berikut:

Respect means the concern that the other person should grow and unfold as he is. Respect, thus, implies the absence of exploitation. I want the loved person and unfold for his own sake, and in his own ways, not for the purpose of serving me…It is clear that respect is possible only if I have achieved independence, if I can stand and walk without needing crutches, without having to dominate and exploit anyone else…love is the child of freedom, never that of domination.

(Erich Fromm, The Art of Loving, Bantam Books, 1956)

rabun dekat

Havel,

Terlalu banyak amarah menyembur di hari-hari ini. Overdosis. Mengguyurkan purbasangka, meracuni pikiran waras. Ajaibnya, amarah itu mengarah pada yang “jauh”, bukan yang “dekat.” Amarah itu menyasar hal-hal “ideologis”, bukan isu-isu “pragmatis” yang lebih mendesak dan membawa kemaslahatan konkret jika ditangani serius. Pilunya, kekerasan terlalu gampang dijalani.

Kita mengidap “rabun dekat.” Bisa jadi gara-gara kepandiran. Atau, lantaran dorongan bawah-sadar untuk menampik dominasi “mereka”–yang memang kerap bersikap pongah. Tapi, inilah “sertifikat” yang menabalkan bahwa kita belum beranjak dari status pecundang.

Andai saja lebih proporsional…

NB: nak, apa saja sih produk Denmark yang beredar di sini? Biskuit-biskuitmu?

menghalau tembakau

Havel,

Sesekali, perlu juga kita melakoni sesuatu yang “berarti.” Misalnya, mengurangi konsumsi tembakau.

Biasanya, aku mengisap sebungkus rokok dalam sehari. Saat tenggat pekerjaan mendesak, bisa dua bungkus. Dua pekan ini, aku hanya mengisap tak lebih dari sebatang kretek saban hari. Itu galib terjadi usai santap siang.

Sejak kuliah, aku telah bergabung dengan puluhan juta perokok di Indonesia. Di kampus, kebanyakan teman lelakiku juga merokok. Uh, nikmat benar jika berhimpun ditemani rokok dan kopi. Lalu, kerap dengan sok pintar, kami berbusa-busa membedah politik, ekonomi, budaya, sejarah. Aku pernah mengibaratkan: rokok itu pengantin pria, kopi itu pengantin perempuan. Bersualah mereka di peraduan…(Kini, kopi pun agak kujauhi.)

Satu lagi. Dulu, di kemasan rokok selalu ada kalimat, “Peringatan pemerintah: merokok dapat mengganggu kesehatan. Setengah berseloroh, seorang teman justru menjadikannya sebagai dalih untuk terus merokok. “Aku tak suka pemerintahan Suharto. Karena itu, aku lawan peringatan mereka,” katanya. He..he..

Statistik bicara, negeri ini niscaya teramat “ramah” buat para pecandu nikotin. Nyaris di semua lokasi, kita bisa merokok. Pembatasan kadar tar nihil. Juga minus kebijakan harga yang membatasi. Tak mengherankan jika, menurut sahibul hikayat, diperkirakan konsumsi rokok Indonesia tiap tahun mencapai 199 miliar batang atau di urutan kelima setelah China (1.679 miliar batang), AS (480 miliar), Jepang (230 miliar), dan Rusia (230 miliar). Nilai uang yang dibelanjakan rakyat Indonesia untuk rokok 2,5 kali lipat ketimbang biaya yang digerojokkan untuk pendidikan dan 3,2 kali lipat ongkos kesehatan.

Tentu, deretan data itu tak relevan secara personal. Ada alasan-alasan lain yang melatarbelakangi keputusan ini. Dan, kiranya semua orang yang pernah sekolah mafhum.

Ya, sesekali, kita memang perlu melakoni sesuatu yang “berarti”…