shai agassi

Havel,

Deadline tiba lagi. Beban kerja kembali menekan. Di sela-sela itu semua, tertumbuklah mata pada kutipan inspiratif ini:

This is the beauty of being human. You can have two conflicting thoughts at the same time and not go crazy.

O, iya, bukan seorang filsuf yang mengucapkannya, melainkan eksekutif di sebuah perusahaan peranti lunak ternama, SAP. Nama dia Shai Aggasi.

sebelas pekan

Havel,

Ini petikan kabar tentang adikmu. Kita memperolehnya dari pengelola situs www.bayi.us yang mengirimkan email ke ibumu.

Struktur tubuh dan organ dari bayi Anda sudah mulai berfungsi. Jari jemari tangan dan kaki bayi Anda mulai terpisah dan sudah menjadi bentuk sempurna tangan dan kaki yang juga sudah lengkap dengan kuku yang juga mulai tumbuh. Selain itu, rambutnya pun telah mulai tumbuh. Pada minggu ke 11 ini jenis kelamin bayi Anda mulai terbentuk sebagai laki-laki atau perempuan. Seiring bekerjanya organ bayi Anda, bekerja pula ginjal…dengan menghasilkan cairan amniotic yang terdiri dari air dan juga mulai menghasilkan urine. Berat bayi Anda 7-8 gram dengan tinggi 4,1-4,2 cm.

PS: Aku sedikiiiit menyuntingnya, demi kemudahan mencerna belaka.

nostalgia

Havel,

Lama bermukim di Amerika, seorang teman mudik sejenak ke Indonesia. Kami–belasan orang– lalu berhimpun, ditingkahi dentam musik dan seafood yang menggugah selera. Suasana hangat dengan gurau canda.

Bernostalgia, kami mengungkit lagi kisah-kisah semasa sekolah. Melulu nostalgia. Tapi, apa yang salah? Hari ini dan esok mustahil eksis tanpa hari kemarin. Persoalannya cuma dosis. Apa saja yang terlampau banyak tentu dekat dengan mudarat.

Dan, seorang Amir pun mesti menapaktilasi sejarah pribadinya. Di Afghanistan, negeri yang letih oleh konflik berkepanjangan itu, ia harus menghadapkan wajah ke belakang. Padahal, hanya perih dan sedih di sana. Simaklah kisahnya di The Kite Runner (Aku baru tuntas membacanya pekan lalu. O, iya, terima kasih buat Khaled Hosseini yang telah menghadirkan cerita amat menyentuh ini).

anyer, bukan pangandaran

Havel,

Kamu berguling-guling di pasir. Sementara, kami mesti menghadapi nenek penjual emping, anak muda penjaja otak-otak. Anyer, siang itu, sunyi. Barangkali kita tiba terlampau dini. Laut terhampar. Ombak menampar-nampar. Cahaya matahari membasuh. Keelokan yang utuh.

Waktu berlari, rindu pantai lagi. Sedihnya, kemarin, di pesisir Selatan, dari laut, maut datang menjemput….

menyala

Havel,

Kegembiraan bisa menyala kapan saja. Pekan ini, titik apinya adalah kedatangan Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Langit karya Bondan Winarno. Ini buku yang lama kuinginkan. Ini buku yang membuatku malu hati karena belum menyimaknya meski banyak orang menyeru: Bre-X adalah salah satu sampel terbaik praktik jurnalisme investigatif di Indonesia.

Bre-X berfokus pada dugaan skandal cadangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Berita soal Busang menghiasi koran-koran kita pada akhir 1996 sampai awal 1997. Selesai dicetak awal Juli 1997, buku yang dikerjakan hanya dalam dua bulan itu baru bisa diedarkan seusai Orde Baru makzul. Seorang pejabat memanggil Bondan dan menitahkan agar barang itu tak keluar gudang.

Buku ini tak beredar lagi di pasar. Tak juga di bursa buku seken seperti di TIM atau Kwitang. Aku memesan langsung ke penulisnya.

Kini, publik lebih mengenal Bondan sebagai pakar kuliner. Kolomnya, Jalansutra, terbit reguler di Suara Pembaruan dan Kompas Cyber Media. Beranjak dari itu, terbentuklah milis Jalansutra yang telah beranggotakan lebih dari lima ribu orang. Pria kelahiran Surabaya ini juga memandu acara kuliner di sebuah stasiun televisi.

Agaknya sedikit yang masih ingat bahwa pria yang sekolahnya berantakan ini juga cerpenis dan kolumnis manajemen. Di rumah Cinere, kita menyimpan dua jilid antologi tulisan Bondan tentang manajemen di Tempo di bawah nama Kiat pada era 1980-an. Fiuuuhh, di sana kita tak perlu cemas bakal “tersesat” di belantara teori dan angka, dengan jidat berkerut.

Kita juga mengoleksi Pada Sebuah Beranda, kumpulan cerpennya yang mengingatkanku pada Umar Kayam di Seribu Kunang-kunang di Manhattan: gaya bercerita dan latar kisah yang kebanyakan di mancanegara. Perihal cerpen-cerpen Bondan, Goenawan Mohamad pernah menulis, “Bagi saya, banyak yang dihasilkan Bondan lebih enak saya ikuti ketimbang novel-novel penuh filsafat atau cerita-cerita penuh problem sosial – yang isinya cukup berharga dan bermanfaat – tapi tak kunjung bisa memikat sejak awal.”

Hmm, kegembiraan memang bisa menyala kapan saja. Boleh jadi, titik apinya adalah bacaan-bacaan yang mengasyikkan…

bowden mampir di kwitang

Havel,

Kemarin siang, ketika matahari memanggang Kwitang, aku menemukan Killing Pablo: The Hunt for the World’s Greatest Outlaw. Fisiknya masih lumayan bagus, aku membawanya pulang dengan menyerahkan selembar fulus bergambar WR Supratman.

Buku ini berkisah tentang perburuan pemerintah AS dan Kolombia atas Pablo Escobar, pemimpin kartel narkotika di Kolombia. Uniknya, di kalangan rakyat jelata negeri itu, Escobar justru banyak dikenang sebagai seorang dermawan. Tolong diingat, pada 1989, majalah Forbes meletakkan Escobar di posisi ketujuh dalam daftar orang-orang tertajir sedunia. Empat tahun kemudian, kepala Escobar tertembus peluru.

Penulis Killing Pablo adalah Mark Bowden. Beberapa tahun silam, Black Hawk Down pernah singgah ke Indonesia dalam format pita seluloid. Film itu merekam “kedunguan” pasukan AS dalam menghadapi perang kota di Somalia pada 1993. Ridley Scott, sang sineas, mengangkatnya dari kisah yang ditulis Bowden (Aku belum membaca, baru menontonnya).

Bowden menyusun Black Hawk Down sebagai cerita bersambung untuk The Philadelphia Inquirer. Menjelang pemuatan, Max King, Redaktur Eksekutif koran itu, konon pernah berujar,”Aku tak tahu apakah ini akan diterima. Jika tak seorang pun tertarik, kami bakal terlihat sebagai si tolol yang cantik dengan sebuah serial yang berjalan hari demi hari selama satu bulan… Jika sebuah kisah seperti ini tak laku, aku tak yakin ingin terlibat dalam jurnalisme lagi.”

King tak perlu pensiun dini. Kisah itu diresepsi dengan baik. Bahkan, membuat tiras The Philadelphia Inquirer sempat melonjak. Bowden, kelahiran Missouri pada 1951, lantas mulai disejajarkan dengan nama-nama harum di ranah jurnalisme naratif: John Hersey, Truman Capote, atau Gay Talese. Ketika dibukukan, Black Hawk Down pun mengalirkan banyak duit ke kocek penulis dan penerbitnya.

Pada 2001, lahir Killing Pablo. Empat tahun dibutuhkan Bowden untuk menggarapnya. Ia menyimak dokumen-dokumen rahasia, berbincang dengan puluhan narasumber, termasuk Cesar Gaviria, presiden Kolombia di momen dramatis itu. Aku baru mulai menikmatinya—barangkali sambil bermimpi bisa melakoni kerja seperti ini juga, suatu hari kelak.

Satu hal, aku yakin, Bowden tak berselera untuk menjadi pengeras suara Washington. Aku sempat mengintip paragraf terakhir. Di sana, Bowden mengutip Joe Toft, mantan kepala perwakilan DEA di Bogota. Toft berkata, “I don’t know what the lesson of the story is. I hope it’s not that the end justifies the means.”

roy dan gong

Havel,

Hangat mentari musim semi, mandikan ini
dengan cahayamu
Hangat angin selatan, hembuskan napasmu
perlahan
Dan rumput hijau di atas, tegaklah tenang
damai
Selamat malam, yang tercinta, selamat malam.

(Mark Twain)

Senantiasa tersaji puisi untuk membuka kisah Balada Si Roy. Atau deretan kalimat bijak. Atau pepatah lama. Salah satunya adalah nukilan di atas. Senantiasa memuncratkan impresi. Para lelaki seusiaku, yang menginjak masa remaja di pengujung 1980-an di Jakarta atau kota besar lain, bisa dipastikan mengenal cerita rekaan Gola Gong itu. Bahkan, konon, tak sedikit yang tersihir. Lalu, figur Roy menjadi model identifikasi diri.

Aku memergoki kembali sekeping kenangan ini di atrium Depdiknas, pekan lalu. Dan, memungutnya.

Seiring jeda, ada celah untuk mencerna ulang. Menurut seorang penulis muda, membaca Balada Si Roy adalah juga belajar tentang cara menjadi lelaki. Masalahnya, “Yang penting dari lelaki adalah menjadi berani: berani untuk memilih; berani untuk memiliki;…” tulisnya. Perempuan tidak demikian? Wow, para feminis bisa keki karena kaum lelaki mengalami mistifikasi.

Musim berganti, kisah itu tak terbit lagi. Gong juga berubah. “Setelah menikah, hidup saya sebagai lelaki sudah selesai. Kini saya sebagai suami dan ayah,” ujarnya. Karya-karyanya kini banyak menyemburkan aroma relijiusitas. Teduh dan santun. Niscaya, tak memprovokasi para remaja untuk bangga ketika tinggal kelas atau mengisap ganja–yang diakui Gong memang terjadi dan menjadi impak buruk Balada Si Roy.

Ia telah membiarkan Roy pergi.

Pergilah ke barat, anak muda,
dan tumbuhlah bersama alam

(Horace Greeley)

dalam sakit

waktu lonceng berbunyi
percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputmu berangkat berduka

di ruangan ini kita gaib dalam gema. Di luar malam hari
mengendap, kekal dalam rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi.

(Havel, suasana dalam sajak Sapardi Djoko Damono di atas jauh lebih mencekam. Sementara, aku cuma dihajar virus flu keparat ini. Terkapar memang. Ah, sesekali, tubuh boleh saja tak sehat. Namun, pikiran jangan sekali-kali berkarat…)